Tampilkan postingan dengan label Dharma. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dharma. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 Agustus 2013

40 Macam Objek Meditasi Samatha Bhavana

Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda), yaitu:
1. Pathavi kasina = wujud tanah
2. Apo kasina = wujud air
3. Teja kasina = wujud api
4. Vayo kasina = wujud udara atau angin
5. Nila kasina = wujud warna biru
6. Pita kasina = wujud warna kuning
7. Lohita kasina = wujud warna merah
8. Odata kasina = wujud warna putih
9. Aloka kasina = wujud cahaya
10. Akasa kasina = wujud ruangan terbatas

Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran), yaitu :
1. Uddhumataka = wujud mayat yang membengkak
2. Vinilaka = wujud mayat yang berwarna kebiru-biruan
3. Vipubbaka = wujud mayat yang bernanah
4. Vicchiddaka = wujud mayat yang terbelah di tengahnya
5. Vikkahayitaka = wujud mayat yang digerogoti binatang-binatang
6. Vikkhittaka = wujud mayat yang telah hancur lebur
7. Hatavikkhittaka = wujud mayat yang busuk dan hancur
8. Lohitaka = wujud mayat yang berlumuran darah
9. Puluvaka = wujud mayat yang dikerubungi belatung
10. Atthika = wujud tengkorak

Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan), yaitu :
1. Buddhanussati = perenungan terhadap Buddha
2. Dhammanussati = perenungan terhadap Dhamma
3. Sanghanussati = perenungan terhadap Sangha
4. Silanussati = perenungan terhadap sila
5. Caganussati = perenungan terhadap kebajikan
6. Devatanussati = perenungan terhadap makhluk-makhluk agung atau para dewa
7. Marananussati = perenungan terhadap kematian
8. Kayagatasati = perenungan terhadap badan jasmani
9. Anapanasati = perenungan terhadap pernapasan
10. Upasamanussati = perenungan terhadap Nibbana atau Nirwana

Empat appamañña (empat keadaan yang tidak terbatas), yaitu :
1. Metta = cinta kasih yang universal, tanpa pamrih
2. Karuna = belas kasihan
3. Mudita = rasa simpati
4. Upekha = keseimbangan batin

Satu aharapatikulasanna (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)

Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)

Empat arupa (empat perenungan tanpa materi), yaitu :
- Kasinugaghatimakasapaññatti = obyek ruangan yang sudah keluar dari kasina
- Akasanancayatana-citta = obyek kesadaran yang tanpa batas
- Natthibhavapaññati = obyek kekosongan
- Akincaññayatana-citta = obyek bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan


Sumber : FB Rinda Lim https://www.facebook.com/notes/rinda-lim/40-macam-objek-meditasi-samatha-bhavana/10151487019492134

Senin, 05 Agustus 2013

Nasihat Penguasaan Emosi

Ada tiga latihan yang patut kita usahakan dalam keseharian kita : " SABAR, TENANG, SENYUM "

↣ SABAR ,
Pada saat EMOSI kita sedang MENINGGI..apapun yang menjadi penyebabnya,..Janganlah kita MELEPASKAN suara atau sikap yang merupakan EKSPRESI dari KEMARAHAN..Yang mana akan menyakiti HATI orang lain atau menjadi KARMA negatif....serta MERUSAK nama baik kita sebagai orang yang tidak dapat menguasai EMOSI...

↣ TENANG ,
yaitu sikap yang selalu DATAR dan SEJUK dalam SITUASI apa pun...baik LISAN maupun GERAKAN..,KETENANGAN merupakan CERMIN kuatnya KESABARAN...Obses, resah, gelisah dan kepanikan adalah cermin tiadanya KETENANGAN...

↣ SENYUM ,
yaitu sikap BERSAHABAT serta cinta kasih yang TULUS dari lubuk HATI..Terhadap siapa saja yang bertatap muka dengan kita, bertemu dengan kita. Kita tidak perlu berlatih untuk bersikap dingin, tidak peduli dan cuek.. Karena kita sudah sangat berbakat untuk hal itu..Akan tetapi untuk TERSENYUM, PEDULI dan RAMAH..mungkin kita akan belajar sepanjang HIDUP kita...

STS (sabar, tenang, senyum) ini, akan banyak membawa KEBAHAGIAAN serta KEBAIKAN dalam HIDUP kita.


sumber : https://www.facebook.com/photo.php?fbid=491037557644710&set=a.346443935437407.81129.346439915437809&type=1&theater

Asal Usul Perayaan Cioko / Ulambana

Setiap tahun pada bulan 7 tanggal 15 (Cit Gwe Cap Go) penanggalan Imlek, Vihara-vihara atau Kelenteng banyak mengadakan Upacara Ulambana. Orang-orang pada umumnya mengenalnya dengan nama Sembahyang Rebutan (Cioko). Perayaan Ulambana ini disebut juga sebagai Hari Raya Setan (Ghost Festival).

Namun sebutan yang sebenarnya Upacara Ulambana ini adalah upacara sembahyang leluhur. Konon, pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe, adalah hari di mana Pintu Gerbang Neraka dibuka.

Untuk menghindari agar ayah ibu yang telah meninggal dunia tidak mengalami penderitaan Neraka, maka dilaksanakanlah sembahyang kepada roh-roh, dewa dan hantu secara besar-besaran, mengharap agar roh-roh halus jangan menganiaya ayah ibu yang telah meninggal tersebut.

Hari Raya Tiong Gwan Cwe, Hari Raya Ceng Beng, dan Hari Raya Tang Ce adalah 3 Hari Raya Hantu di kalangan kita orang-orang Tionghoa.

Di daerah-daerah, propinsi-propinsi di Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Macau, sangat menaruh perhatian kepada 3 Hari Raya ini. Apalagi pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, melaksanakan upacara sembahyang dengan sangat megah dan hikmat. Ini adalah perwujudan BAKTI kepada orang tua.

Versi Tiongkok

Orang sering menyamakan antara sembahyang qiyue ban 七月半 yang berkaitan dengan GuiJie 鬼节 ( festival hantu ) atau sembahyang rebutan yang merupakan tradisi "kelenteng" dengan sembahyang ulambana versi Buddha. Hal ini ada benar dan ada salahnya, tergantung darimana kita menilainya. Tapi sepanjang yang saya tahu, tradisi penyebrangan roh itu tidak terjadi begitu saja, adanya pengaruh Buddhism (disamping Taoism ) yang kemudian berkembang menjadi Buddhis Mahayana Tiongkok yang menyerap budaya setempat juga yang nantinya akan memberikan pula warna bagi tradisi sembayang rebutan di
kelenteng.

Sembahyang pada bulan tujuh ini adalah untuk memberi kesempatan bagi para arwah dan roh-roh di neraka dilepaskan ke dunia untuk mendapatkan 'liburan' dan bebas dari alam sengsara atau kita katakan saja kembali ke tempat yang layak. Oleh karena itu pada momen tersebut, orang kelenteng mengadakan upacara untuk memberi makan mereka dan upacara ritual penyebrangan arwah. Hal ini ditujukan untuk mengembangkan welas asih tidak hanya kepada sesame manusia atau binatang tetapi juga kepada mahluk-makhluk yang tak terlihat.

Tradisi ini sebetulnya sudah dikenal semenjak jaman sejarah purba Tiongkok tapi waktu perayaan tidak selalu sama, tergantung keinginan penguasa atau orang yang ingin mengadakan upacara itu.

Dalam kitab Liji 礼记 disebutkan bahwa upacara ini disebut Fuli 复礼 sedangkan maksud Fu disini adalah memanggil roh orang yang meninggal atau disebut pula Zhao Hun 招魂 . Pada upacara ini, arwah orang yang sudah meninggal, biasanya leluhur kita, diundang untuk kembali dan dihantar menuju ke tempat asal muasal leluhur tersebut berasal. Kitab Li Ji mengatakan bahwa tindakan ini adalah suatu perwujudan untuk menunjukkan rasa cinta kasih dan bakti.

Upacara ini berkembang dimasa dinasti Shang , dimana ritual ini nantinya akan dikaitkan dengan San Guan Da Di 三官大帝 ( penguasa tiga alam) : Penguasa langit yang dianggap memberi rejeki, penguasa bumi yang dianggap menebus dosa, dan penguasa air yang bertindak untuk mengatasi bencana.

Filosofi Tionghua yang berbasiskan YinYang percaya bahwa manusia hidup adalah bersifat Yang dan arwah-arwah adalah bersifat Yin. Akan tetapi arwah gentayangan atau roh-roh yang tidak memiliki keturunan untuk menyembahyanginya tidak akan kembali ke Yin murni, akan tetapi menderita di alam arwah dan bersifat Yin palsu.

Oleh karena itulah maka diadakan upacara ini, dimana pada pertengahan tahun dimana terjadi peralihan antara Yin dan Yang maka adalah suatu tempo dimana ada kesempatan agar roh-roh tersebut kembali dari dunia Yin masuk kembali ke dunia Yang untuk disembahyangi dan diseberangkan menuju alam Yin murni.

Penyeberangan itu sendiri sebenarnya adalah suatu pelimpahan jasa baik dari keturunan yang masih hidup kepada arwah leluhurnya. Jasa baik dari keturunan itu dilakukan antara lain dengan memberi makan dan ataupun bantuan lainnya kepada orang-orang kurang mampu yang tinggal disekitarnya. Oleh karena itu tidak heran, bahwa pada kesempatan acara tersebut maka di Indonesia ini pada khususnya ada kebiasaan untuk bagi-bagi beras atau makanan.

Ritual ini merupakan bagian dari ritual-ritual yang berkaitan dengan musim. Seperti kita kenal bahwa tradisi Tionghua merayakan ShangYuan 上元 (upacara capgomeh) , Zhong Yuan 中元 dan Xia Yuan 下元 Acara sembahyang rebutan ini sebetulnya adalah Zhong Yen Jie atau sering disebut GuiJie, masa peralihan dari semester awal tahun ke semester akhir tahun, dimana terjadinya perubahan Yang menjadi Yin.

Pada saat itu dipercaya bahwa dewa pintu neraka purba yaitu Shen shu 神荼 dan YuLu 郁垒 ( jangan dibaca ShenTu YuLei ), melepaskan roh-roh yang disiksa di alam bawah untuk masuk ke dunia Yang , dimana mereka memperoleh istirahat dan penghiburan, serta keringanan dosa melalui suatu upacara ZhaoHun atau sekarang sering disebut ChaoDu 超度. Perayaan ini biasanya dilakukan dalam periode 1 bulan tersebut, oleh karena itu di Singapura dan manca negara dikenal dengan Gui Jie / Ghost Month (bulan hantu).

Pada tahun sekitar 300 SM yaitu pada masa dinasti Jin, maka terjadi sinkretisme upacara ini dengan Buddhism, dimana berdasarkan kitab Buddha Mahayana Foshuo YuLanPen Jing 佛说盂兰盆经 ( Ulambana Sutra). Ada sedikit perbedaan kepercayaan tentang konsep karma pada tradisi Buddhism Mahayana dengan Buddhism Theravada, dimana dalam Theravada karma hanyalah bisa ditanggung oleh dirinya sendiri, tetapi dalam Buddhis Mahayana maka orang lain, terutama keluarga, bisa melakukan suatu upaya untuk meringankan karma dari arwah leluhurnya yang telah meninggal dengan gaya bantuan para bodhisatva.

Konsep karma dalam Buddhism Mahayana ini berkaitan dengan konsep Taoism yaitu chenfu 承负, yaitu bahwa karma dari leluhur akan menurun kepada anak cucunya, spt pada ungkapan rakyat tionghua : "Leluhur berbuat kebajikan maka anak cucu akan makmur jaya".

Secara teknis, maka upacara dari sembahyang rebutan ini biasanya dipimpin oleh seorang Daoshi (Toosu) atau kalau tidak oleh bikkhu Mahayana Tiongkok. Ciri khas uparacara ChaoDu adalah adanya pemasangan Zhao Hun Fan 招魂幡 yaitu bendera pemanggil roh dan ada simbol-simbol tertentu didalamnya. Selain itu juga terkadang ada Nai He Qiao 奈何桥 yaitu upacara utk menyeberangi sebuah jembatan sebagai suatu simbol untuk menyeberangkan dari dunia fana ke dunia baka.

Dalam upacara tersebut juga diset suatu altar persembahan makanan- makanan yang disebut GuTai 孤台 yang nantinya dalam upacara dipersembahkan melalui suatu tradisi Songjing (pembacaan keng) yang biasanya adalah kitab yang dibacakan ada kaitannya dengan TaiYi Jiuku Tianzun, yaitu Tianzun Welas Asih yang memang bertugas untuk mengurusi para arwah gelandangan dan arwah gentayangan.

Beliau dengan kekuatan hati Welas Asih yang tiada tara senantiasa mengayomi para arwah tsb. Atau dalam cara Buddhism Nahayana Tiongkok dibacakan Amitabha Sutra dan Ulambana Sutra ( CMIIW). Saya pernah mengikuti upacara Ulambana versi Mahayana Tiongkok, dan ternyata memang ada bendera, patung kertas GuiWang atau TianShi, perahu kertas untuk menyebrangkan arwah dan jembatan kertas pula.

Kebiasaan atau tradisi lainnya yang khas serta mengandung makna filsafat serta membedakan dengan tradisi lentera pada saat YuanXiao atau CapGo me adalah adanya Fang He Deng 放河灯 yaitu tradisi melepas lentera terapung di sungai yang mengalir sebagai simbolisme bahwa roh tersebut diberi sinar terang untuk menemukan jalannya menuju sang Asal yg disimbolkan dengan samudera (semua sungai menuju ke lautan).

Prinsip pelepasan lentera ini berkaitan dengan prinsip YIN palsu ( maksudnya roh yang gentayangan ) melalui YANG ( disini adalah dunia manusia ) kemudian kembali ke YIN asli ( alam kematian sesungguhnya ). Karena filsafat itulah maka tradisi FULI atau ZhaoHun atau juga yang kita sebut ChaoDu harus melalui proses setan-setan atau roh-roh gentayangan dilepas melalui alam manusia atau alam YANG agar bisa kembali ke alam YIN.

Pada tradisi Capgome yang mana bersifat merayakan perayaan bersifat Yang atau positif, maka lentera digantung. Sedangkan pada perayaan ZhongYuan atau GuiJie itu bersifat negatif, maka lentera dilepas di sungai atau danau.

Versi Buddhis Mahayana

Ada sebuah Kitab Suci Budhis yang berjudul Yi Lan Pen Jing, di dalam Kitab tersebut ada tercatat sebuah peristiwa :

Pada zaman dulu, ada seorang Bikkhu yang bernama Maha Moggalana. Ia merupakan salah seorang dari 10 Murid Utama Sang Buddha Gautama. Maha Moggalana adalah murid Sang Buddha dengan kesaktian no. 1 (di bawah Sang Buddha).

Maha Moggalana pada suatu ketika, dengan mata bathinnya melihat ibunya yang telah meninggal dunia, berjalan bersama dengan sekelompok hantu kelaparan. Dengan maksud menolong ibunya, lalu ia mengisi nasi ke dalam sebuah mangkok, untuk memberi makan ibunya. Siapa sangka, begitu nasi akan disuapkan ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api yang panas membara. Maha Moggalana dengan menggunakan kesaktiannya mencoba berkali-kali, tapi setiap kali hendak masuk ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api.

Maha Moggalana terkejut luar biasa, lalu kembali dan melapor kepada Sang Buddha Sakyamuni. Sang Buddha berkata kepadanya : "Dosa ibu kamu terlalu berat, hanya dengan kekuatan kamu 1 orang, tidak bisa membebaskan penderitaan ibu kamu!".

Lalu Maha Moggalana berlutut di lantai, memohon kepada Sang Buddha sambil berlinang air mata : Mohon Buddha memberi petunjuk, bagaimana baru bisa menolong ibu saya agar terbebas dari lautan penderitaan, dan tidak bersama dengan para hantu kelaparan itu lagi.

Melihat usaha Maha Moggalana yang bersungguh hati ingin berbakti dan membalas budi orang tuanya, maka dengan penuh Maha Maitri Karuna (Welas Asih) dan Maha Prajna (Bijaksana), Buddha Sakyamuni memberikan petunjuk kepada siswanya agar ia memberikan dana paramita kepada Para Arya Sangha dan setelah itu memohon Arya Sangha mengadakan suatu upacara guna menolong meringankan penderitaan ibundanya.

Sang Buddha menjawab : Mengenai hal ini, membutuhkan kekuatan para Bikkhu di 10 penjuru, begitu sampai Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, mewakili orang tua dari 7 generasi, dan orang tua sekarang yang berada dalam bencana /malapetaka, mempersiapkan bermacam-macam sayur dan buah-buahan, untuk dipersembahkan kepada Yang Berkebajikan di 10 penjuru, setiap orang berbuat kebajikan, di saat ini barulah bisa membebaskan penderitaan semua hantu kelaparan.

Maha Moggalana merasa amat gembira dan dengan penuh rasa bakti segera melaksanakan petunjuk Gurunya. Ia mempersembahkan dana paramita dari hasil Pindapatta-nya kepada para Sangha, dan kemudian memohon para Arya Sangha mengadakan suatu upacara penyaluran jasa untuk menolong ibundanya.

Setelah menerima dana paramita dari Arahat Moggalana, para Arya Sangha kemudian mengadakan upacara dengan membaca mantra, dharani dan ayat-ayat kitab suci, yang mana semua jasa dan pahala dari upacara ini disalurkan kepada ibunda Arahat Moggalana dan juga kepada makhluk-makhluk lain di tiga alam sengsara.

Sewaktu upacara dilaksanakan, terjadilah berbagai keajaiban, api neraka menjadi padam, segala penderitaan berubah menjadi kegembiraan dan kedamaian, makhluk-makhluk di alam Neraka setelah menerima getaran suci hasil pembacaan dharani tersebut, terbebaslah mereka dari penderitaannya.

Ibunda Maha Moggalana segera tertolong dan tumimbal lahir di alam yang lebih baik, begitu pula makhluk-makhluk di tiga alam sengsara lainnya, ikut menikmati hasil jasa dan pahala dari diadakannya upacara ini, sehingga merekapun dapat tumimbal lahir ke alam lain sesuai dengan kondisi karmanya.

Agar orang tua yang dalam penderitaan bisa memperoleh keterbebasan. Oleh karena ini, pada hari dan menjelang Hari Raya Tiong Gwan Cwe banyak orang yang bervegetarian dan bersembahyang, mewakili orang tua yang telah meninggal, terbebas dari penderitaan.

Sering orang salah pengertian bahwa upacara Pattidāna sama dengan upacara Cio Ko atau Cio Sie Kow yang dikenal sebagai sembahyang rebutan yang dilakukan di kelenteng-kelenteng Taois atau Vihara Avalokiteswara.

Upacara Cio Ko atau ”sembahyang rebutan“ berdasarkan kepercayaan dalam cerita See Yu atau perjalanan ke Barat. Upacara ini dilakukan setelah tanggal 15 Imlek bulan ke tujuh (Cit Gwee). Karena sebelum tanggal tersebut keluarga masih melakukan sembahyang leluhur di rumah atau di makam, sehingga disebut sebagai ”sembahyang kubur”. Upacara Cio Ko ditujukan untuk ”arwah” yang mendapat cuti berkunjung ke rumahnya tetapi keluarganya sudah tidak mengingat mereka lagi.

Sedangkan upacara Pattidāna berdasarkan kejadian ketika Raja Bimbisara di Rajagaha mengundang Buddha Gotama dengan para siswa-Nya santap siang. Karena sangat bahagia raja lupa untuk melimpahkan jasa kebajikan kepada para leluhurnya yang terlahir di alam peta, sehingga pada malam hari mendapat gangguan dari peta-peta tersebut. Maka keesokan harinya raja mengundang kembali Guru Agung Buddha dan melimpahkan jasanya kepada leluhurnya.

Jadi upacara Pattidāna dapat dilakukan kapan saja bila kita mendapat kesempatan berbuat baik dan pikiran sedang bahagia. Upacara Pattidāna bukan ”upacara duka”. Paritta Avamaïgala dibaca atau diulangi agar yang mendengar dan setelah tahu artinya bisa berubah pikiran dari bersedih menjadi bijaksana dan rela melepas orang yang dicintai.

Semua makhluk turut bersuka cita atas peristiwa ini. Hyang Buddha Sakyamuni menamakan upacara ini dengan nama Upacara Ullambana, yaitu suatu upacara untuk menolong makhluk-makhluk yang karena karma buruknya tumimbal lahir dan menderita di 3 alam sengsara. Selanjutnya upacara ini dilakukan tiap tahun sampai sekarang. Demikianlah asal mula diadakannya Upacara Ullambana yang tetap diperingati setiap tahun sampai sekarang.

MANTRA MEMBALAS BUDI ORANG TUA

Mantra membalas budi orang tua “Namo Miliduo Duoboyi Soha”, bila setiap hari dalam bulan cioko /7 ( lunar) membacanya 49 kali, maka dapat membalas budi jasa orang tua. Ini adalah sebuah penekunan upaya kausalya bagi perorangan, karena jika Upacara Ritual Ullambana dilakukan sendiri maka tidak semua orang yang sanggup membiayainya, namun bila dilaksanakan bersama dengan khalayak, biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit dan manfaatnya sama.

Bila keluarga miskin tidak sanggup mengikuti Upacara Ulambana, maka disarankan untuk membaca mantra ini 49 kali setiap hari, bila dalam bulan 7 dilaksanakan setiap hari, maka juga akan berhasil meyeberangkan arwah orang tua. Tiap keluarga melahirkan Buddha, pahalanya sangat besar. ini juga berlaku untuk orang tua yang masih hidup ... dapat dilihat bila orang tuanya sering sakit-sakitan dengan dibacanya mantera ini dapat mengurangi penderitaannya. Tentu saja ini hanya sebagian kecil cara untuk membalas jasa orang tua kita... yang berjodoh silakan dicoba...yang tidak percaya abaikan saja..


https://www.facebook.com/photo.php?fbid=498436703572942&set=a.451274724955807.1073741825.100002198507840&type=1&theater 

Kamis, 23 Agustus 2012

LATIHAN MEMURNIKAN PIKIRAN

CARITA, KAMMATTHANA,

DAN

MAJJHIMA PATIPADA
“ Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa “
Salam Damai dan Cinta Kasih … ,
Setiap manusia mempunyai watak / kecenderungan / karakter, yang masing-masing bersifat “unik”. Darimanakah asal watak / kecenderungan / karakter ini berasal ? Apakah karena ditakdirkan sehingga tidak bisa “disucikan” ? Bukan, watak / kecenderungan / karakter, terbentuk dari timbunan akumulasi karma ( Sanskerta ; kehendak / perbuatan ) setiap “individu” tersebut sejak kehidupan-kehidupan lampaunya, semenjak milyaran tahun kita berkelana dalam samsara. Oleh karena itu, watak tersebut dapat diubah, dimurnikan ; dan inilah salah satu tujuan dari samma-samadhi ( samadhi-benar, latihan-latihan untuk mencapai Jhana ) dan samma-sati ( latihan-latihan vipassana ). Dalam Buddhisme, karakter yang melekat pada tiap “diri” manusia ini disebut dengan “CARITA” ( Pali ).
Carita ( kecenderungan ) adalah kondisi batin setiap orang yang belum mencapai kesucian. Dengan meditasi, kita berlatih untuk “memurnikan” batin kita dari kecenderungan-kecenderungan yang “kurang-baik” tersebut. Untuk itu, sebagai seorang yogi, kita pertama-tama harus mengenali carita kita masing-masing, sebelum akhirnya kita memilih “pokok-landasan-pemusatan-perhatian” ( Kammatthana ) yang sesuai dengan carita kita tersebut, inilah kaitan antara carita dan kammatthana.
Sang Buddha mengklafisikasian kecenderungan atau watak ( carita ) ini ada enam ( 6 ), dan mengajarkan empat-puluh (40 ) landasan pemusatan perhatian ( Kammatthana ) yang sesuai dengan masing-masing watak / carita tersebut. Pertama-tama, saya akan menjelaskan mengenai carita, baru kemudian nanti saya akan menjelaskan mengenai kammatthana, dan terakhir, praktek “Jalan-Tengah” yang diajarkan oleh Guru Agung, Guru para dewa dan manusssa, ialah Sang Buddha Gotama.
Keenam klasifikasi carita menurut Sang Buddha, yaitu :
1. RAGA CARITA
Ialah karakter yang memiliki kecenderungan “bernafsu” terhadap objek-objek yang menyenangkan, suara yang merdu, wangi-wangian, sentuhan-sentuhan yang lembut dan mesra. Ini adalah khayalan yang diinginkan batin dan merupakan tempat yang sangat dicintai.
Seseorang yang memiliki raga carita, cenderung bersifat mementingkan diri sendiri, sombong, berambisi besar. Ada sisi positif yang dimiliki oleh seseorang yang memiliki raga carita, yaitu ia akan mudah kagum melihat suatu kebajikan meskipun itu kecil sekali, ia juga mudah melupakan kesalahan orang lain. Bagi anda yang memiliki raga carita, kammatthana yang sesuai adalah sepuluh asubha dan satu kayagatasati.
2. DOSA CARITA
Ialah karakter manusia yang memiliki kecenderungan mudah naik pitam, pemarah, dan kebencian yang tanpa alasan. Orang yang memiliki karakter “dosa carita” ini, bila di “senggol” dengan persoalan kecil saja, akan tersulut kemarahannya.
Ironisnya, seseorang yang berkarakter “dosa carita” ini SANGAT SUKA dengan watak pemarah ( Jawa : Getapan ) yang dimilikinya ini. Ia justru merasa bangga karena ia adalah seseorang yang berkarakter “keras”, bila ia seorang laki-laki, maka ia merasa “jantan” karena ke-“keras”-annya ini. Baginya, kebencian atau kemarahan merupakan harta yang mulia karena bila sehari saja tidak marah atau membenci terhadap orang lain , maka ada sesuatu yang “hilang” dari dirinya.
Biasanya, ada ciri-ciri / pola perilaku yang nampak dalam kehidupan sehari-hari bagi seseorang yang berkarakter “dosa carita” ini, yaitu misalnya, kalau bicara suaranya kasar, bila berjalan langkahnya selalu tergesa-gesa, bila melakukan pekerjaan biasanya kasar, perangainya kaku dan hatinya cepat panas, karena itu orang yang memiliki watak pemarah atau kebencian ini lekas tua. Orang mempunyai dosa carita juga suka iri hati, tidak suka melihat orang lain memperoleh suatu kebahagiaan dan kesejahteraan, tidak senang melihat suatu kesalahan dilakukan oleh orang lain meskipun kecil ( maunya sempurna ; perfectionist ), tak mau mengingat jasa baik orang lain walaupun besar, suka bermusuhan, memandang rendah orang lain, sangat suka mendikte dan memerintah orang lain. Bagi anda yang mempunyai dosa carita, maka kammatthana yang sesuai baginya adalah empat appamañña dan empat kasina (nila kasina, pita kasina, lohita kasina, dan odata kasina).
3. MOHA CARITA
Adalah watak / karakter yang diliputi “kebodohan batin”, yaitu ketidak-tahuan mengenai “ilusi” dari semua yang “ada” ini, baik harta dunia maupun harta surgawi.
Orang yang memiliki watak ketidahtahuan atau kebodohan beranggapan bahwa dengan menimbun harta benda maka ia akan medapatkan kebahagiaan. Karena kurangnya pengetahuan atau kebodohan ia sayang untuk melepas benda miliknya, bahkan benda yang tidak berharga sekalipun, tetapi ia sangat menginginkan barang orang lain. Bila ia diberi maka ia akan cepat-cepat menerima dengan bernafsu, sebaliknya ia sangat sukar untuk memberikan miliknya pada orang lain. Bila ia melakukan suatu pekerjaan, ia akan bekerja sama dengan orang lain, tetapi dalam menerima imbalan ia ingin lebih banyak dari yang lain. Orang yang memiliki watak “moha carita” / kebodohan batin ini lebih suka menerima daripada memberi atau berdana pada orang lain.
Orang yang mempunyai mohacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan kebodohan batin, cenderung ke arah kelemahan batin, suka bingung, suka ragu-ragu, suka khawatir, menggantungkan diri pada pendapat orang lain, pikiran ruwet, malas, pendiriannya tidak tetap, kadang-kadang kukuh memegang suatu pandangan. Bagi anda yang mempunyai mohacarita, kammatthana yang sesuai ialah anapanasati.
4. VITAKKA CARITA
Ialah watak seseorang yang tidak tegas. Seseorang yang berkarakter “vitakka carita” ini memiliki kekhawatiran atau pikiran yang tidak terkendalikan, mempunyai kebimbangan dalam hal pekerjaan mana yang lebih dulu dikerjakan, tidak memiliki keputusan yang tetap. Seseorang yang berwatak vitakka carita ini selalu melaksanakan sesuatu dengan tergesa-gesa ( karena pikirannya tidak terkendalikan ), cenderung ke arah kegugupan, sering mengalami kegagalan usaha, suka berteori, tidak suka bekerja untuk kepentingan sosial.
Orang yang memiliki watak “vitakka carita” tidak berani mengambil suatu keputusan dalam pekerjaan yang digelutinya. Watak ini kemudian kait mengait dengan gangguan saraf, terlihat wajahnya lesu, tidak bergairah, loyo, dan kelihatan lebih tua dari usia yang sebenarnya dan ia sulit mencari kebahagiaan dan ketenangan. Batinnya senantiasa diliputi kegelisahan, penuh angan-angan, kebimbangan, bahkan tak jarang “ketakutan” ( seperti misalnya takut akan nasib hidupnya, takut akan masa depannya, takut gagal, dan lain sebagainya ) dalam kadar-kadar yang tidak wajar. Bagi anda yang memiliki vitakka carita, kammatthana yang sesuai adalah Anapanasati.
5. SADDHA CARITA
Ialah watak yang mudah percaya, orang yang berwatak seperti ini tidak memiliki keteguhan hati dan mudah percaya pada orang lain tanpa mempertimbangkan dan menyelidiki terlebih dahulu. Umumnya, orang seperti ini mudah ditipu orang lain. Dalam pergaulan, acapkali rekan-rekannya seringkali “menggoda” dengan menceritakan suatu hal yang merupakan rekaan semata dan ia akan sekonyong-konyong mempercayai cerita rekan-rekannya tersebut. Juga, siapapun yang memberinya suatu saran atau nasehat akan sesuatu hal, maka ia pasti akan langsung percaya dan tidak mempertimbangkan dan menyelidiki terlebih dahulu.
Sisi positif dari seseorang yang mempunyai saddhacarita ialah, dia akan melaksanakan sesuatu berdasarkan keyakinan, cenderung ke arah rendah hati, dermawan, jujur, suka menemui orang-orang suci, suka mendengarkan Dhamma, yakin pada sesuatu yang dianggap baik. Bagi anda yang mempunyai saddhacarita, kammatthana yang sesuai ialah enam anussati (Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati, dan devatanussati).
6. BUDDHI CARITA
Ialah watak / karakter “intelek” atau “cerdas”. Pun demikian, seseorang yang mempunyai watak intelek / cerdas belum tentu selalu merupakan keuntungan bagi dirinya. Kelebihan darinya dapat menjadi suatu kerugian apabila tanpa suatu sikap batin yang pantas. Bila kecerdasan ini tidak berarah, atau meyakini sesuatu tidak berdasarkan pada pengetahuan benar, dapat menyeret seseorang ke dalam jurang pandangan-pandangan keliru yang ekstrim ( seperti misalnya, menjadi “dalang” suatu pemberontakan berdarah, menjadi “otak” suatu kelompok teroris, dan lain-lain ) . Jadi, keintelekan atau kecerdasan harus diimbangi atau disertai dengan pengetahuan benar, pengetahuan yang memberikan gambaran nyata / kasunyatan mengenai kehidupan, alam kehidupan dan semua fenomena.
Sisi positif dari seseorang yang mempunyai buddhicarita atau ñanacarita ialah, ia akan melaksanakan sesuatu dengan berhati-hati, cenderung ke arah perenungan terhadap Tiga Corak Umum (Tilakkhana), sering bermeditasi, bersedia mendengarkan omongan orang lain, mempunyai kawan-kawan yang baik. Untuk mereka yang mempunyai buddhicarita atau ñanacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah marananussati, upasamanussati, aharapatikulasañña, dan catudhatuvavatthana.
Demikianlah klasifikasi watak / karakter manusia yang belum mencapai PEMBEBASAN / PENCERAHAN. Kadangkala seseorang memiliki salah satu dari enam carita ini ada juga yang memiliki keenam watak tersebut sekaligus.
KAMMATTHANA ( Pokok Landasan Pemusatan Perhatian ) SESUAI DENGAN CARITA
Sebagaimana yang sudah kita bicarakan pada awal-awal artikel ini, untuk keperluan melatih Samma-Samadhi ( yang berisi latihan mencapai Jhana-Jhana ) maupun Sama-Sati ( yang berisi latihan-latihan vipassana ), seseorang harus mengerti watak / karakter ( carita ) –nya masing-masing.
Untuk mengetahui carita, seseorang harus bermeditasi dan dengan jujur memahami karakter dirinya sendiri. Setelah ia menemukan karakter dirinya, ia harus bertujuan membebaskan dirinya dari karakternya tersebut, yang selama rentang tumimbal lahirnya berjalan bersamanya.
Sang Buddha mengajarkan, ada empat puluh (40 ) objek yang dapat dijadikan pokok landasan dalam latihan meditasi ketenangan / samatha ( Samatha Kamathana ). Keempat puluh pokok landasan pemusatan perhatian tersebut adalah sebagai berikut :

A. SEPULUH (10) KASINA ( Wujud Benda ), yaitu =
1. Pathavi kasina = wujud tanah
2. Apo kasina = wujud air
3. Teja kasina = wujud api
4. Vayo kasina = wujud udara atau angina
5. Nila kasina = wujud warna biru
6. Pita kasina = wujud warna kuning
7. Lohita kasina = wujud warna merah
8. Odata kasina = wujud warna putih
9. Aloka kasina = wujud cahaya
10.Akasa kasina = wujud ruangan terbatas

B. SEPULUH (10) ASUBHA ( Wujud Kekotoran ), yaitu :

1. Uddhumataka = wujud mayat yang membengkak
2. Vinilaka = wujud mayat yang berwarna kebiru-biruan
3. Vipubbaka = wujud mayat yang bernanah
4. Vicchiddaka = wujud mayat yang terbelah di tengahnya
5. Vikkahayitaka = wujud mayat yang digerogoti binatang-binatang
6. Vikkhittaka = wujud mayat yang telah hancur lebur
7. Hatavikkhittaka = wujud mayat yang busuk dan hancur
8. Lohitaka = wujud mayat yang berlumuran darah
9. Puluvaka = wujud mayat yang dikerubungi belatung
10.Atthika = wujud tengkorak
C. SEPULUH (10) ANUSSATI ( Sepuluh macam perenungan ), yaitu :

1. Buddhanussati = perenungan terhadap Buddha
2. Dhammanussati = perenungan terhadap Dhamma
3. Sanghanussati = perenungan terhadap Sangha
4. Silanussati = perenungan terhadap sila
5. Caganussati = perenungan terhadap kebajikan
6. Devatanussati = perenungan terhadap makhluk-makhluk agung atau para dewa
7. Marananussati = perenungan terhadap kematian
8. Kayagatasati = perenungan terhadap badan jasmani
9. Anapanasati = perenungan terhadap pernapasan
10. Upasamanussati = perenungan terhadap Nibbana atau Nirwana
D. EMPAT (4) APPAMANNA ( Empat Keadaan Yang tidak terbatas ),yaitu :

1. Metta = cinta kasih yang universal, tanpa pamrih
2. Karuna = belas kasihan
3. Mudita = perasaan simpati
4. Upekkha = keseimbangan batin
E. SATU (1) AHARAPATIKULASANNA
(satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)
F. SATU CATUDHATUVAVATTHANA
(satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani)
G. EMPAT (4) ARUPA (empat perenungan tanpa materi), yaitu :

1. Kasinugaghatimakasapaññatti = obyek ruangan yang sudah keluar dari kasina
2. Akasanancayatana-citta = obyek kesadaran yang tanpa batas
3. Natthibhavapaññati = obyek kekosongan
4. Akincaññayatana-citta = obyek bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan
Sebagai suatu catatan, diantara empat-puluh (40) Kammatthana tersebut diatas, terdapat beberapa kammatthana yang dapat dijadikan objek meditasi oleh para yogi tanpa memperhatikan caritanya. Kammatthana tersebut ialah :
1. EMPAT MAHABHUTA , yaitu =
a. Pathavi kasina ( wujud tanah )
b. Apo kasina ( wujud air )
c. Tejo kasina ( wujud api )
d. Vayo kasina ( wujud angin / udara )
2. EMPAT ARUPA, yaitu =
a. Kasinugaghatimakasapaññatti ; obyek ruangan yang sudah keluar dari kasina
b. Akasanancayatana-citta ; obyek kesadaran yang tanpa batas
c. Natthibhavapaññati ; obyek kekosongan
d. Akincaññayatana-citta ; obyek bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan
3. ALO KASINA ; ialah objek meditasi berupa sinar atau cahaya.
4. AKASA KASINA ; ialah objek meditasi berupa angkasa.

MAJJHIMA PATIPADA
Majjhima patipada ialah praktek “Jalan-Tengah” yang diajarkan oleh Sang Buddha. Hingga saat ini, dikenal tiga macam praktek / “Jalan”, dan salah satu diantaranya adalah majjhima-patipada yang diajarkan oleh Sang Buddha, sebagai suatu solusi dari dua jalan yang bersifat ekstrim.Penjelasan mengenai majjhima-patipada dan kedua jalan lain yang bersifat ekstrim adalah sebagai berikut :
1. Atthakiramatanuyoga, ialah praktek dengan penyiksaan diri yang keras. Praktisi di jalan ini akan mengekang diri dengan sangat keras, misalnya makan dengan porsi sangat sedikit, tidur sedikit, praktek sepanjang hari, kadang-kadang tidak makan (puasa) selama tujuh hari, atau hingga empat-puluh hari. Praktisi di jalan ini juga ada yang menahan napas sekuat ia bertahan, setelah cukup lama baru ia akan menarik napas kembali; berulang kali ia akan melakukan hal itu dengan maksud agar cepat mencapai kesucian dan pembebasan. Sang Buddha sangat tidak menganjurkan praktek ini, karena praktek ini tidak bermanfaat bagi pembebasan, malah hanya akan menghasilkan pernderitaan baik fisik maupun batin. Sang Buddha sendiri pernah melakukan praktek tersebut, menahan nafas hingga keluar suara mendesis dari telinganya, puasa selama empat-puluh hari, menutup telinga hingga tidak mendengar suara dari luar. Dan kemudian Sang Buddha meninggalkan praktek ekstrim tersebut.
2. Kamas ukhanikanuyoga. Praktisi di jalan ini berkebalikan dengan praktisi di jalan sebelumnya, sebab praktisi di jalan ini justru mengumbar pikirannya sedemikian rupa sehingga sangat melekat kepada kenikmatan indriya. Praktisi di jalan ini menggunakan perumpamaan gelas yang diisi dengan air terus-menerus hingga akhirnya air tersebut tumpah-ruah, dan air di dalam gelas menjadi bersih. Praktik keliru ini masih banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengatasnamakan diri berjalan di jalan “Tantra”, yaitu praktek yoga melalui “pengumbaran” hubungan seksual ; meskipun demikian, praktek ini tidak menggambarkan “Tantrayana” yang sejati.
3. Majjhima Patipada. Ini adalah “Jalan-Tengah” yang diajarkan oleh Sang Buddha. Sebelum kemunculan beliau, jalan ini tidak dikenal, di belahan bumi manapun juga. Sang Buddha, melalui majjhima-patipada, mengajarkan para siswa untuk menghindari kedua ekstrim tersebut diatas, yaitu ekstrim penyiksaan diri di satu sisi, dan ekstrim pengumbaran hawa nafsu di sisi lain. Majjhima patipada mengajarkan kita untuk : Jangan terlalu menderita, jangan terlalu berbahagia, jangan malas, jangan terlalu duduk lama ( kalau lelah beristirahatlah ), jangan terlalu lama berdiri ( kalau lelah berjalanlah ). Praktek “pensucian-diri” ini haruslah disesuaikan dengan kondisi tubuh dan tergantung kilesa ( kekotoran batin ) kita masing-masing. Yang penting dari “jalan” menuju Nibbana ini adalah, tersingkirnya kilesa dari diri kita masing-masing. Siksaan yang hebat tidak berarti kekotoran batin dengan sendirinya tersingkirkan, apalagi pemuasan hawa nafsu dan berbagai kemelekatan indria. Menurut majjhima-patipada, kita tidak perlu menyiksa diri dengan tidak makan selama berpuluh-puluh hari, karena ini hanya akan membuat tubuh tidak berdaya; makanlah sesuai dengan kebutuhan jasmani, tetapi hati-hati akan makanan yang dapat menimbulkan ketagihan dan kemelekatan, karena akan mempertebal kilesa ( kekotoran batin ). Sebaiknya kita juga memutuskan pergaulan dengan orang yang tidak sesuai dengan kita, misalnya orang-orang yang suka mabuk-mabukan, suka bicara kasar, suka hal-hal pornografi, dan lain-lain hal yang bersifat pengumbaran nafsu indriya, sebab ini akan mengacaukan praktek kita. Tinggallah dalam tempat yang sunyi, jangan membuang waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi kesucian, senantiasa pikirkan dan renungkan dhamma. Praktek yang baik akan mendatangkan hasil ( phala ) paling rendah sampai Jhana-samapati dan yang paling tinggi sampai tujuan akhir ; NIBBANA ( Sanskrit : Nirvana ).
Terakhir, sebelum anda memulai praktik, ada hal yang ingin saya ingatka. Saat bermeditasi, kita akan mendapat halangan. Halangan tersebut berupa “Panca-Nivarana” dan “Dasa Palibodha”. Panca-nivarana sudah pernah saya terangkan sebelumnya. Pada kesempatan ini, saya akan menjelaskan mengenai “Dasa Palibodha”.
Sepuluh macam palibodha
Palibodha berarti gangguan dalam meditasi yang menyebabkan batin gelisah dan tidak mampu memusatkan pikiran pada obyek. Palibodha ini ada sepuluh macam, yaitu :

1. Avasa (tempat tinggal)
2. Kula (pembantu dan orang yang bertanggung jawab)
3. Labha (keuntungan)
4. Gana (murid dan teman)
5. Kamma (pekerjaan)
6. Addhana (perjalanan)
7. Ñati (orangtua, keluarga, dan saudara)
8. Abadha (penyakit)
9. Gantha (pelajaran)
10.Iddhi (kekuatan gaib)
Ketika melaksanakan meditasi, para yogi sering mendapat gangguan yang disebut palibodha. Contoh konkrit dari palibodha ini adalah : Ia merasa khawatir akan tempat tinggalnya, terikat dengan rumahnya , ia merasa khawatir akan pembantunya dan orang yang bertanggung jawab atas harta bendanya, Ia merasa khawatir akan persoalannya, apakah meditasi ini akan membawa keuntungan baginya, ia merasa khawatir akan murid-murid dan teman-temannya, ia merasa khawatir akan pekerjaannya yang belum selesai, ia merasa khawatir akan perjalanan jauh yang harus ditempuhnya, ia merasa khawatir akan orang tuanya, keluarganya, dan saudara-saudaranya, ia merasa khawatir akan kemungkinan timbulnya penyakit, ia merasa khawatir akan pelajaran yang ditinggalkannya, ia merasa khawatir akan bermacam-macam kekuatan magis yang dipertunjukkan, takut akan kemerosotan kekuatan magis yang telah dimilikinya. Palibodha tersebut harus dibasmi, agar kita dapat memusatkan pikiran dengan baik.
Demikianlah wacana ini saya sajikan untuk anda semua, semoga bermanfaat bagi perkembangan batin kita semua.

“ Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta!”
( Semoga Semua Makhluk Hidup Berbahagia! )
Sadhu… Sadhu… Sadhu… .
– RATANA KUMARO / RATNA KUMARA / RATYA MARDIKA –
Semarang Barat, Minggu Pon, 25 Januari 2009

SAMADHI-BENAR

SAMADHI-BENAR

( Samma-Samadhi )
“ Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
Salam Damai dan Cinta Kasih … ,
SILA –> SAMADHI –> PANNA
TRITUNGGAL-JALAN-PEMBEBASAN
Ajaran Sang Buddha sesungguhnya terangkum dalam : SILA, SAMADHI, dan PANNA. Tritunggal-Pengetahuan inilah Jalan-Pembebasan, menuju berakhirnya ratap-tangis, berakhirnya dukkha, akhir perjalanan samsara semua makhluk alam semesta, merupakan satu-satunya jalan menuju “Nibbana”.
Ketiga-tiganya ini adalah Satu, artinya kita harus menempuh ketiganya, tidak bisa salah satu diantaranya. Inilah mengapa SILA, SAMADHI, dan PANNA merupakan “TRITUNGGAL”.
SILA yang sempurna, akan menghasilkan Konsentrasi sempurna yang berguna bagi pencapaian kesuksesan (samapati) SAMADHI, yaitu berupa empat Rupa-Jhana dan empat Arupa-Jhana dan vipassanannana ( pandangan-terang ), dan Samadhi-Sempurna ini akan menghasilkan pengetahuan tertinggi, Kebijaksanaan-Sempurna ; PANNA.
Melatih Samadhi tujuan utamanya adalah mengembangkan sifat-sifat mulia dan demi pembebasan dari samsara. Seseorang yang mempraktekkan Samadhi haruslah mempunyai keteguhan hati ( ajjhasaya ), tidak mempunyai sifat kasar serta tanpa ‘kehausan’ ( kehausan akan keindriyaan ).
Seorang yogi harus memiliki SILA / moralitas yang sempurna tanpa noda. SILA ini adalah ‘akar’ bagi kehidupan Samadhi yang benar. Dengan memiliki SILA yang sempurna, batin seorang Yogi akan menjadi tenang dan damai. Ia tidak akan mempunyai peraaan resah-gelisah, pikiran-pikiran yang kacau, takut, dan lain-lain. Apalagi yang harus ditakuti bila kita telah bertindak benar dan bajik ? Tidak akan ada orang yang menghujat kita karena kita menjadi seorang pembohong, tidak akan ada debt-collector yang mengejar-ngejar kita karena kita melarikan sejumlah uang, dan lain-lain ‘mimpi-buruk’. Bagi seorang yang memegang teguh SILA, batinnya akan jauh dari ketakutan-ketakutan tersebut. Bila seseorang tidak memiliki SILA atau mengurangi SILA jangan pernah berharap ia akan berhasil mencapai ‘kesuksesan’ dalam samadhinya.
Seorang yogi yang telah memiliki sila yang sempurna dan belum mencapai tingkat Arahat harus mempraktekkan vipassana-bhavana untuk mencapai pembebasan ; Arahat ( catatan ; tingkat kesucian Arahat hanya bisa dicapai dengan hidup sebagai seorang petapa yang melepaskan keduniawian ( dalam terminology Buddhis disebut : ke-bhikkhu-an ), sedang tiga tingkatan dibawahnya : Sotapanna, Sakadagami, Anagami, bisa dicapai oleh ummat non-Bhikkhu. Saat seseorang mencapai Arahat, tetapi tidak hidup mem-Bhikkhu, maka ia akan ‘meninggal’, karena batin yang ‘halus’ menuntut tubuh / cara hidup yang halus pula ).
Bila seseorang yang baru menempuh ‘kehidupan’ Samadhi dan ingin mempraktekkan ‘vipassana’ ( Samadhi ‘pandangan-terangan’ ), maka ia harus bisa mencapai ketenangan pertama (Jhana I). Kekuatan vipassana ini dapat memotong hawa-nafsu dan segala bentuk kekotoran batin. Jika seorang siswa / yogi belum mencapai Jhana I maka ia belum berhasil dalam Samadhi, ini merupakan hukum mutlak.

Jalan Pembebasan
Ada dua ( 2 ) jalan menuju kesucian, yaitu :
1. Sukha-vipassako.
2. Melalui pencapaian Jhana dari Jhana I hingga Jhana VIII kemudian turun tahap demi tahap sampai Jhana I untuk kemudian masuk ke vipassana bhavana.
Cara yang kedua tersebut dipakai untuk membuktikan adanya ‘kesaktian’, atau ditempuh oleh Yogi yang memang ingin mempunyai kesaktian.
Sukha vipassako adalah ajaran khusus yang diberikan Sang Buddha bagi orang-orang yang kesulitan mencapai Jhana yang disebabkan oleh karena kurangnya atau tidak adanya jasa paramita dari orang tersebut pada kehidupan yang lampau. Tidak semua orang bisa mencapai Jhana hingga Jhana IV ( empat Rupa-Jhana ) apalagi hingga Jhana VIII ( empat Arupa-Jhana ).
Sukha vipassako adalah praktek yang mudah untuk menuju pembebasan dan seorang yogi yang melaksanakan sukha-vipassako tidak tertarik pada ‘kesaktian’. Seandainya ia mencapai Jhana, hanya Jhana I saja.
Dalam mempraktekkan vipassana ( pandangan terang ), sukha-vipassako menggunakan pencapaian ketenangan ( Jhana-samapati ) sebagai dasar untuk mengetahui ketenangan yang muncul dalam batin atau dapat dikembangkan menuju vipassana bila batin (citta) ini menuju Samadhi-tetangga ( upacara-samadhi ).
Hal mendasar yang perlu diketahui dalam praktek sukha-vipassako yaitu :
1. Menjaga sila dengan baik.
2. Melaksanakan ‘vipassana-samadhi’ dengan dasar Jhana pertama.
Orang yang melaksanakan Samadhi ( baik sukha-vipassako maupun yang melalui proses Jhana hingga Jhana VIII ) harus berdisiplin tinggi sehingga ia akan mencapai Kebebasan. Seorang yogi yang mempraktekkan sukha-vipassako akan mencapai kebebasan tanpa ‘kekuatan batin istimewa’. Ia hanya akan menjadi seorang Arahat, orang yang telah sempurna.
Pada kesempatan ini saya akan membahas Jhana-Jhana dan keistimewaan yang dihasilkan olehnya, yaitu yang berupa ‘kekuatan-batin’ / kesaktian.

Enam ( 6 ) Kekuatan Batin ( Abhinna )
Enam kekuatan batin ( abhinna ) merupakan dhamma yang istimewa, bagi para yogi yang melatih diri secara khusus untuk memperolehnya. Lima kekuatan batin yang pertama diperoleh dari hasil praktik ‘Rupa-Jhana’, yaitu Jhana I hingga Jhana IV. Kelima kekuatan batin tersebut adalah sebagai berikut :
1. Iddhividdhi : Berbagai jenis kekuatan batin , seperti : menciptakan diri sendiri menjadi banyak dalam rupa yang sama dan merubah diri kembali dari banyak menjadi satu, berjalan diatas air, berjalan di udara, melayang di udara, melunakkan batu, mendatangkan hujan di daerah tandus / kemarau panjang, menciptakan api, menciptakan sinar untuk melihat dalam gelap, melihat jarak jauh siang maupun malam, menghangatkan cuaca di tempat yang dingin, meringankan tubuh sehingga dapat mengikuti arus angin, mendatangkan angin ditempat yang ‘kurang-angin’, melihat benda-benda yang terhalang oleh sekat seperti tembok, melihat barang-barang yang ditutupi dalam suatu tempat ( penglihatan tembus ruang ), dan lain-lainnya.
2. Dibbasota : Mendengar suara dari jarak jauh, tidak terhalang batas ruang dan waktu, termasuk mendengar suara-suara dari alam lain, baik alam surga maupun neraka.
3. Cutupata Nana : Mengetahui kelahiran dan kematian semua makhluk hidup.
4. Cetopariya
Nana : Dapat membaca pikiran / hati orang dan makhluk lain.
5. Pubbenivasanu
-ssati : Mengingat kehidupan lampau.
Adapun kekuatan batin yang keenam adalah kekuatan ‘pandangan-terang’ ( vipassanannana ), yaitu kemampuan mengikis habis kekotoran batin ( asavakayanana ).

KETEGUHAN HATI ( AJJHASAYA ) =
Seseorang yang mempraktekkan Samadhi-Buddhis, menjadi seorang Yogi-Buddhis, harus mempunyai “Keteguhan-Hati”, dan tidak boleh mempunyai sifat kasar, tanpa ‘kehausan’ terhadap ‘keindriyaan’. Seperti yang sudah diterangkan pada paragraph-paragraf awal/pendahuluan, seseorang harus memiliki SILA, yang terawat sempurna dan tanpa-noda. Teguh dalam pengembangan Sila dan Samadhi, inilah sikap-mental yang harus dijaga, dirawat, dikembangkan. Kita tidak boleh tergoda oleh kesenangan-kesenangan indriya.
Setelah anda bertekun dalam Sila dan Samadhi, anda tidak akan lagi melihat keduniawian dengan penuh kemelekatan, kegiuran, karena, bagi anda, semua hal keduniawian itu tidak berarti lagi. Ini akan terjadi secara alamiah. Mengapa ? Karena anda telah menemukan yang lebih tinggi daripada itu semua.

KETEGUHAN HATI DALAM TIGA PENGETAHUAN ( AJJHASAYA TEVIJJO ) =
Ketika seseorang Yogi telah mampu mencapai Jhana IV, ia akan memiliki keteguhan hati dalam tiga pengetahuan sebagai berikut :
1. Pubbenivasanussati nana ; mengetahui kelahirannya yang lampau.
2. Cutupapata nana ; mengetahui tumimbal lahir dari makhluk2 hidup, darimana sebelum dilahirkan dan akan terlahir dimana setelah kematiannya.
3. Asavakhaya nana, mengetahui jalan melenyapkan nafsu kekotoran batin.
Orang yang memiliki tiga pengetahuan ini dapat melihat / mengetahui sebab-musabab kehidupan yang lalu dan kehidupan yang akan datang dari makhluk hidup. Ia mampu melihat sesosok makhluk ( baik itu manusia atau bukan ) dulunya terlahir dimana sebagai apa, kemudian nanti ketika meninggal akan terlahir dimana dan sebagai apa, seperti membuka dan menutup benda –benda saja, mengetahui isi-isi benda tersebut.
Setelah mengetahui dengan jelas tumimbal-lahir yang berulangkali terjadi tersebut, maka timbul rasa bosan dan jenuh mengenai kelahiran dan kematian yang berulang-ulang. Setelah memahami dan menyadari dan memahaminya, maka ia akan berusaha berhenti dari kelahiran yang berulang-ulang dan berusaha menuju pembebasan.
Seorang Yogi yang memiliki tiga pengetahuan ini dapat mengetahui segala sesuatu dengan alamiah / otomatis, karena ia dapat membuktikannya. Yogi tersebut lebih suka membuktikan bukan HANYA-PERCAYA saja.

DISIPLIN DIRI UNTUK MENCAPAI TIGA PENGETAHUAN ( TEVIJJO )
Bagaimanakah cara untuk mencapai tevijjo ? Berikut adalah langkah-langkah yang perlu diambil untuk bisa memperoleh ‘tevijjo’ tersebut :
1. Menjaga SILA dengan baik ( Bagi ummat perumah-tangga, maka PANCASILA yang harus dijaganya, namun bisa dan alangkah lebih baik jika meningkatkan disiplin dengan mendapatkan, menjaga dan merawat ATTHASILA ( Delapan Sila ). Bagi seorang Yogi Buddhis, prinsip “Lebih baik mati daripada melanggar Sila” sangatlah dijunjung tinggi.
2. Melatih Samadhi sampai memperoleh ketenangan dengan memakai objek kasina ( salah satu dari sepuluh objek kasina. Kasina terdiri dari 10 simbol latihan pemusatan pikiran. Enam Kasina, yang cocok untuk Saddha Carita, yaitu : Pathavi (tanah), apo (air), tejo (api), vayo (udara), akassa (angkasa), dan aloka (symbol-sinar). Empat Kasina, yang cocok bagi dosa carita, yaitu : Nila (biru kehijauan), pita (kuning), lohita (merah), dan odata (putih) ).

DIBBACAKKHU ( Mata-Dewa )
Untuk dapat memiliki “Tiga-Pengetahuan” ( Tevijjo ), anda harus mempunyai “Dibbacakkhu” / “Mata-Dewa”. Cara melatih dan memperoleh “Dibbacakkhu” adalah dengan melatih tiga objek kasina :
1. Tejo Kasina ( Objek Api ), missal nyala lilin.
2. Alo Kasina ( Objek Sinar ), missal Matahari.
3. Odata Kasina ( Objek Warna Putih ).
Diantara ketiga objek ini, yang paling efektif adalah objek-sinar ( Alo-Kasina ), demikian menurut Kitab Visudhi Magga.
Bila kita sudah mahir melatih Dibbacakkhu dan Manomayiddhi (kekuatan batin, bila seseorang telah mampu memisahkan batin dengan tubuh/jasmani, dan batin dapat ‘diajak’ pergi kemana-mana (kealam-alam lain). Manomayidhi ini termasuk salah satu abhinna pada seseorang yang telah memiliki tiga pengetahuan (tevijjo). Bila seorang Yogi telah mencapai Jhana keempat dalam meditasi dengan memakai salah satu objek kasina, maka ia dapat mencapai Manomayiddhi seperti pencapaian dibbacakkhu ) , akan memperoleh berbagai pengetahuan ( nana ) sebagai berikut :
1. Cutupata Nana : Mengetahui kehidupan dan kematian semua makhluk hidup sesuai dengan karmanya masing-masing.
2. Cetopariya Nana : Membaca pikiran orang lain dan makhluk-makhluk lain.
3. Pubbenivasa Nussati-
Nana :                         Kehidupan / tumimbal lahir yang lampau.
4. Atitansa Nana : Mengetahui masa yang lalu.
5. Anagatansa Nana : Mengetahui masa yang akan datang.
6. Paccuppannansa Nana : Mengetahui masa sekarang.
7. Yathakammuta Nana : Dapat mengetahui sebab akibat karma suatu makhluk baik itu manusia, dewa, Brahma, dan lain-lain. Karma apa yang menyebabkan mereka bahagia dan menderita.

PATISAMBHIDAPPAPATTO
Seorang Yogi yang telah sempurna pengetahuannya ( patisambhidappapatto ) jauh lebih istimewa dari seorang yogi yang memiliki tevijjo. Keistimewaannya adalah sebagai berikut :
1. Dapat mengetahui sepenuhnya Dhamma yang sempurna. Pokok-pokok Dhamma dapat diketahui dengan sempurna dan dapat menguraikannya seperti yang diajarkan Sang Buddha, walaupun ia baru sehari saja menjadi pengikut Sang Buddha, ia dapat mengetahui dan menguraikan Dhamma dengan sempurna. Dalam kitab suci dinyatakan bahwa orang seperti ini setelah mendengar ajaran Sang Buddha dengan langsung dapat mencapai tingkatan-tingkatan kesucian, karena mengetahui / menyelami setiap bagian yang Sang Buddha ajarkan.
2. Mahir dalam menguraikan Dhamma, seorang yang telah mencapai patisambhidappapato sanggup mengembangkan Dhamma yang Sang Buddha ajarkan. Walaupun Dhamma itu singkat, ia mampu menguraikannya menjadi panjang dan istimewa serta tidak mengubah isi ajaran tersebut. Ini akan menyebabkan pendengarnya senang dan tidak merasa bosan.
3. Pandai dalam merangkum Dhamma, seseorang yang telah mencapai patisambhidappapatto dapat merangkum ajaran Sang Buddha dengan tidak mengubah makna yang terdapat dalam Dhamma itu sendiri, rangkumannya sangat menarik dan istimewa.
4. Pandai dalam banyak bahasa. Selain dapat menggunakan bahasa manusia juga dapat menggunakan bahasa binatang, Dewa, dan bahasa makhluk-makhluk lainnya.

PATISAMBHIDANANA PATIPATTI
Patisambhidanana merupakan vijja ( pengetahuan ) yang lebih istimewa dari tiga (3) pengetahuan / ‘tevijjo’ dan enam (6) Abhinna. Untuk memperoleh patisambhidanana harus mempraktekkan Samadhi dengan objek sepuluh ( 10 ) Kasina.
Untuk mendapatkan keenam abhinna, Yogi hanya perlu mempraktekkan Samadhi dengan objek kasina hingga Jhana IV saja. Sedangkan untuk mendapatkan patisambhidanana ini bukan hanya tuntas empat ‘rupa-jhana’ saja, tapi harus sampai empat ‘arupa-jhana’ atau sampai Jhana VIII. Keempat arupa Jhana tersebut adalah :
1. Akasanancayatana : Kesadaran moral yang berada di “Ruang-yang-Tidak-Terbatas
2. Vinnanacayatana : Kesadaran moral yang berada di “Kesadaran-yang-Tidak Terbatas”
3. Akincannayatana : Kesadaran moral yang berada di “Kehampaan”
4. N’eva sanna ‘asannayatana : Kesadaran moral dimana “Tidak-ada-Pencerapan bukan pula Ada-Pencerapan “.

LIMA RINTANGAN BATIN ( PANCA-NIVARANA )
Ada lima hal yang merintangi kemajuan samadhi seorang Yogi. Jika kita telah memutuskan untuk menempuh kehidupan ‘samadhi’, demi kesuksesan pencapaian kita, maka kita seyogyanya melenyapkan kelima hal yang merintangi ini. Lima hal tersebut dikenal sebagai “Lima-Rintangan-Batin ( Panca-Nivarana ) “.
Lima rintangan batin ( Panca Nivarana ) merupakan ‘AKUSALA-DHAMMA”, yaitu Dhamma yang dapat melenyapkan Kusala Dhamma ( Dhamma yang Baik ) pencapaian tingkat Samadhi.
Lima rintangan batin ini adalah =
1. Kamacchanda, yaitu nafsu-nafsu indriya, keinginan dan kegiuran terhadap bentuk-bentuk ( tubuh, material ( rupa ) ), suara, bau-bauan, rasa, sentuhan, dan bentuk-bentuk pikiran. Nafsu sexual, kesenangan pada tontonan-tontonan ( seperti acara TV, pertunjukan musik, drama, tari, dan lain-lain termasuk kamacchanda yang seyogyanya dilenyapkan. Jika anda perumah-tangga dan sulit melenyapkan kamacchanda ini, sebaiknya dilemahkan, dikurangi ‘kegiuran’nya ).
2. Byapada, yaitu keinginan jahat atau itikad jahat / dendam. Jika kita membawa dendam dari masa lampau, ini pun akan menghalangi kesuksesan pencapaian samadhi kita. Dendam dan keinginan jahat akan selalu menghalang-halangi pemusatan batin kita pada objek samadhi.
3. Thinamiddha, yaitu kemalasan dan kelambanan. Seringkali kita malas untuk bersamadhi, merasa lebih baik jalan-jalan ke mall, kumpul dengan teman-teman, atau bercumbu dengan kekasih. Kemalasan, dan juga kelambanan kita dalam mempraktekkan samadhi, juga merupakan penghalang tercapainya pemusatan batin pada objek samadhi.
4. Uddhaccakukkucca, yaitu kegelisahan atau kekhawatiran. Sering timbul dalam batin kita perasaan gelisah dan khawatir ketika kita sedang bersamadhi. Apalagi bila kita bersamadhi dalam ketiga tempat yang dianjurkan oleh Sang Buddha = didalam hutan, dibawah pohon besar, atau didalam rumah kosong yang sudah lama tidak ditempati. Maka akan timbul perasaan takut, gelisah, khawatir, yang luar biasa hebatnya. Perasaan-perasaan ini harus kita lenyapkan. Ini akan menghalangi pemusatan batin kita pada objek samadhi.
5. Vicikiccha, yaitu keragu-raguan. Pada tengah perjalanan kita sebagai seorang Yogi, bila kita merasakan tidak menemukan kemajuan-kemajuan yang berarti, terutama dalam pencapaian Jhana I hingga VIII, maka akan mulai timbul keragu-raguan. Apakah aku mampu ? Apakah ini Jalan yang benar ? Keragu-raguan ini merupakan bentuk halus dari kekotoran batin. Karena, hasil dari keragu-raguan yang kuat, anda akan melepaskan kehidupan samadhi anda dan anda akan menempuh jalan lain, atau paling parah anda akan kembali lagi menempuh hidup keduniawian, tanpa seberkas kerohanian sedikitpun.
Kelima rintangan batin ini sesungguhnya merupakan ‘teman-teman’ dekat kita selama rentang pengembaraan kita dalam samsara ini. Jhana akan mengatasi nivarana sementara waktu dan jhana merupakan teman baru bagi kita. Sifat teman baru ini sangat halus dan baik, bertentangan dengan teman lama kita, panca nivarana. Sebagai umumnya teman dekat, ia akan berusaha menghalang-halangi kedekatan kita dengan teman baru kita, Jhana.
Yang menyebabkan kita tidak dapat mencapai ketenangan dan memegang objek adalah karena kita selalu ingin ‘berjumpa’ dengan ‘teman-teman-lama’ kita tadi ; panca-nivarana. Hal ini merupakan corak hukum alam.
Bila kita telah mencapai Jhana I maka kita harus rajin berlatih hingga mahir, supaya batin tidak goyah, jangan mundur dalam melatih Jhana dari latihan satu jam, dua jam, satu hari, dua hari, sampai dapat berlatih selama tujuh hari, dengan demikian kita dapat memegang Jhana dengan kuat.

PENCAPAIAN / KESUKSESAN SAMADHI ( SAMAPATI )

1. Kanika Samadhi
Artinya adalah ‘sedikit-perhatian’. Seringkali seseorang yang praktek samadhi dengan menggunakan salah satu objek, saat batin menjadi tenang, tiba-tiba pikiran mengembara kesana-kemari, kadang-kadang mengkhayal, tidak terlalu lama kemudian tenang kembali. Timbul rasa kegiuran terhadap objek samadhi, timbul kebahagiaan, tapi ia akan mengkhayal lagi, dan seterusnya. Kadang-kadang juga timbul rasa malas, singkatnya batin belum mantap. Kualitas samadhi yang seperti inilah yang disebut kanika-samadhi, bukan samapati, bukan merupakan suatu pencapaian kesuksesan samadhi. Intinya, anda belum mencapai apapun dalam samadhi anda.

2. Jhana
Jhana berarti terpusatnya pikiran dengan objek. Kaitannya dengan samapati, Jhana kesatu disebut Pathama-samapati, Jhana kedua disebut Dutiya-Samapati, Jhana ketiga disebut Tatiya-Samapati, demikian seterusnya sampai dengan Jhana VIII, yang disebut “Nevasannana sannayatana samapati”.

MEMASUKI JHANA

Upacara Samadhi ( Meditasi Tetangga )

Setelah perjuangan hebat kita, kita akan melalui masa-masa anda bergulat dalam ‘kanika-samadhi’. Kemudian anda mulai tenang, mulai bisa mencerap objek samadhi, saat inilah anda mulai memasuki Upacara Samadhi.
Upacara Samadhi ini disebut juga Upacara Jhana. Upacara Jhana adalah samadhi yang sudah mantap karena mendekati Jhana Pertama. Dalam tingkat Upacara Jhana ini seseorang sudah dapat memegang objek dalam waktu cukup lama, batin tenang dan merupakan dasar untuk melatih dibbacakkhu ( mata-dewa ). Ciri-ciri Upacara samadhi adalah terdapatnya unsur-unsur berikut ini :
1. Vitaka, yaitu saat dimana batin kita berusaha memegang objek meditasi. Bila objek meditasi kita adalah napas, misalnya, maka kita dapat memegang objek ini cukup lama dan pikiran tidak mengembara lagi kesana dan kesini.
2. Vicara, yaitu saat batin kita semakin dalam memegang / mencerap objek meditasi. Biasanya disini muncul gambaran-gambaran batin ( nimitta ) dari objek meditasi kita. Nimitta berubah-ubah atau muncul warna yang dapat menjadi besar atau kecil dan sebagainya tergantung dari nimitta kita. Bagaimana bentuk nimitta itu, tinggi atau rendahnya gambaran nimitta, batin tetap mengetahuinya, dan tidak terlepas dari kesadaran meditasi. Pada saat kita mengetahui dalam kasina atau mengetahui napas panjang dan napas pendek itulah yang disebut vitaka.
3. Piti, atau kegiuran batin. Batin tergiur dalam kesenangan, kegembiraan, batin kita merasa tenang dan menemukan kepuasan, seolah-olah batin menjadi terang, tubuh terasa ringan dan gembira. Kadang-kadang kita melihat warna yang muncul sepintas-sepintas atau kilat yang tidak begitu lama. Tanda-tanda ‘piti’ ada lima (5) macam =
1. Bulu roma kita berdiri ( merinding )
2. Keluar air mata tanpa sebab.
3. Tubuh menjadi seperti bergoncang.
4. Tubuh seperti melayang-layang terangkat naik, bahkan kadang-kadang bisa benar-benar terbang / melayang.
5. Kadang-kadang tubuh serasa menjadi besar, kecil, tinggi dan tubuh terasa ‘kosong’.
Salah satu dari kelima tanda tersebut dapat menjadi ciri-ciri piti. Saat muncul piti, meditasi kita akan semakin mantap.
4. Sukha, yaitu kebahagiaan yang dalam , kebahagiaan yang halus dan sukar ditemukan dalam kehidupan biasa dan tidak menimbulkan penderitaan. Kebahagiaan ini tidak disebabkan oleh sesuatu yang pernah kita alami, seperti misalnya kenangan-kenangan bersama orang yang dicintai, melainkan kebahagiaan tanpa penderitaan yang merupakan hasil dari meditasi, hasil dari tenang dan damainya batin kita yang telah mencerap objek samadhi dengan mantap.
Keempat hal diatas tersebut merupakan ciri bahwa kita telah mencapai ‘upacara-samadhi’.
Tingkat upacara samadhi ini adalah tingkat sebelum kita memasuki Jhana pertama. Dalam upacara-samadhi, kita hampir memasuki Jhana, telah tiba di pintu gerbang Jhana. Namun ini belum bisa disebut Jhana, karena belum lengkap untuk memenuhi syarat-syarat Jhana.

PATHAMA JHANA / PATHAMA SAMAPATI
Jhana I / Pathama-Jhana dapat kita ketahui dari tanda-tandanya sebagai berikut :
1. Vitaka, berusaha memegang objek. Semisal objek kita adalah napas, maka kita berusaha mencerap objek. Kita menyadari ‘ana’ dan ‘apana’; ‘nafas-masuk’ dan ‘nafas-keluar’.
2. Vicara, telah memegang objek dengan kuat. Adalah saat kita telah benar-benar memegang objek samadhi kita dengan kuat. Batin tidak lagi lari kesana-kemari. Anda telah menyadari ‘nafas-yang-indah’. Saat ini mulai muncul nimitta, atau ‘lambang’ dalam batin, berupa sinar-sinar, dan lain-lain. Tapi lambang itu bukan hasil pikiran yang melamun, tetapi karena kita semakin mantap berdiam dalam objek.
3. Piti, kegiuran. Yaitu perasaan senang pada objek, tergiur untuk lebih dalam mencerap objek. Batin kita tidak mau pergi kemana-mana, selain mencerap objek.
4. Sukha, kebahagiaan yang dalam. Ini adalah perasaan kebahagiaan yang timbul dari ketiga langkah pertama. Setelah muncul kegiuran batin, akan muncul kebahagiaan yang sangat dalam.
5. Ekagatta, pikiran yang telah terpusat. Batin kita telah terpusat sepenuhnya, mutlak, tidak bergeming sedetikpun dari objek samadhi kita. Tidak ada lagi lamunan-lamunan, tidak lagi memikirkan posisi duduk samadhi, kaki yang ngilu, punggung yang kaku, kejadian-kejadian di kantor, di kampung, dan lain-lain hal diluar objek samadhi kita.
Pada waktu memasuki Jhana Pertama kita masih dapat mendengar suara dari luar tetapi tetap masih dapat memegang objek dengan mantap, tidak goyah. Suara tersebut tidak dapat mengganggu meditasi sekalipun kita mendengarnya, batin bekerja dengan wajar seperti biasa.
Bila meditasi telah mencapai tingkat ini disebut telah mencapai Jhana I, yang artinya telah dapat memegang objek dengan kuat dan tidak terpengaruh suara-suara dari luar. Guru-guru meditasi menyatakan hal itu berarti bahwa batin dan jasmani telah mulai dapat dipisahkan.
Kebiasaan batin adalah menganalisa tubuh, misalnya pada waktu kita mendengar suara, maka batin ini ingin mengetahui suara apakah itu dan dari manakah suara itu. Pada tingkat Jhana I ini batin tidak ingin mengetahui tubuh, tetapi batin menjadi diam, batin hanya memegang satu objek, inilah yang disebut Jhana Pertama.
Kelima tanda-tanda / ciri-ciri Jhana I tersebut diatas muncul bersama-sama dalam pikiran atau batin kita, tetapi batin kita tetap dapat menguasainya. Apa saja yangmuncul dari kelima ciri-ciri tersebut dapat kita ketahui. Misal muncul vitaka, kita mengetahuinya sebagai vitaka, muncul vicara, kita mengetahuinya sebagai vicara, dan seterusnya.

RINTANGAN JHANA PERTAMA
Rintangan atau musuh yang berbahaya dalam Jhana pertama atau pathama samapati adalah suara, bila seseorang yang praktek meditasi dapat memegang objek, suara dari luar masih dapat didengar tetapi suara itu tidak dapat mengganggu konsentrasinya, maka ia telah masuk Jhana Pertama.
Tetapi kita jangan lupa, bahwa Jhana pertama ini adalah Jhana yang masih rendah, yang baru tahap awal berhasil kita capai. Jhana pertama ini mudah merosot atau hilang, bila batin kita dimabukkan oleh salah satu nivarana. Bila kita dapat menghalau nivarana maka Jhana akan muncul kembali.
Berkembang dan merosotnya Jhana tergantung bagaimana kita menghadapi rintangan batin (nivarana). Bila nivarana tidak muncul, maka batin menjadi sunyi dan tenang, sebaliknya jika nivarana muncul, maka Jhana akan lenyap.
Keadaan semacam ini juga berlaku bagi Jhana-jhana yang lain, yaitu dari Jhana kedua hingga Jhana kedelapan. Bila nivarana itu muncul dalam salah satu tingkat Jhana maka Jhana itu akan turun dan lenyap, oleh karena itu kita harus senantiasa penuh perhatian (sati) bilamana nivarana itu muncul dan menggoyahkan kemantapan samadhi kita.

DUTIYA JHANA / DUTIYA SAMAPATI
Jhana kedua ini memiliki tiga tanda-tanda sebagai berikut :
1. Piti, atau Kegiuran.
2. Sukha, atau Kegembiraan yang amat dalam.
3. Ekagatta, atau pikiran yang terpusat, batin seimbang.
Jhana kedua ini lanjutan Jhana pertama. Dalam Jhana ini telah dihilangkan vitaka dan vicara, yang ada hanyalah piti, sukha, dan ekagatta.
Seorang yogi yang telah memasuki Jhana kedua tidak dapat lagi merenungkan vitakka dan vicara. Bila ia masih dapat merenungkan vitakka dan vicara berarti masih pada Jhana kesatu.
Beberapa guru meditasi menyatakan untuk masuk Jhana kedua kita harus memotong vitaka dan vicara, tapi ini teorinya. Prakteknya sepertinya berbeda-beda, tergantung kemampuan masing-masing.

LENYAPNYA VITAKKA DAN VICARA
Menurut para yogi yang telah berpraktek, lenyapnya vitakka dan vicara yang benar bukanlah dilupakan atau tidak dipikirkan, tetapi yang memotong adalah hasil praktek hingga mencapai dutiya Jhana. Jika vitakka dan vicara ini lenyap tapi pikiran kita ‘mengembara’ kesana-kemari, itu bukannya telah mencapai Jhana II, tapi justru kita telah turun dari Jhana I ke ‘Kanika-Samadhi’,yaitu saat kita belum pula mencapai ‘upacara-samadhi’.
Para guru meditasi mengatakan bahwa orang yang akan meditasi hendaknya memilih salah satu objek. Objek itu sebagai batin kita agar batin kita menjadi pulau bagi pikiran, supaya pikiran tidak kemana-mana. Seperti melafalkan “ Bud – Dha “ disebut sebagai “PARIKAMMABHAVANA” ( pengembangan batin tingkat pendahuluan ), pada waktu melafalkan itu batin kita diikat oleh lafal “Bud – Dha”, hal ini dinamakan : VITAKKA. Bila batin kita mulai merenungkan lafal “Bud – Dha” yang kita ucapkan itu sudah benar atau masih salah, sudah sesuaikah dengan yang diajarkan Guru meditasi kita, maka hal ini disebut : VICARA.
Sedangkan dutiya Jhana ini memotong vitakka dan vicara dari Jhana pertama secara otomatis, sehingga yang ada adalah piti, sukha, dan ekagatta. Pikiran jadi terpusat dan tidak lari kemana-mana, melainkan merasa piti, sukha, dan menjaga objek dengan mantap. Jadi, objek meditasi masih tetap ada! Bedanya, kita sudah tidak berusaha mencerap dan mencerap terus-menerus, tapi sudah mantap tercerap dalam batin kita, sudah tidak ada usaha lagi. Nafas akan terasa pelan sekali, halus dan jelas tidak lagi mendengar suara dari luar, seperti sunyi kadang-kadang seseorang tidak lagi merasa bernafas atau tidak memiliki nafas padahal ia masih bernafas. Itulah ciri-ciri atau corak dari Jhana kedua.

RINTANGAN JHANA KEDUA ( DUTIYA JHANA )
Rintangan dalam Jhana kedua adalah vitaka dan vicara. Pada saat batin kita dalam samadhi tingkat dutiya Jhana itu, kadang2 kita merasa khawatir apakah sudah masuk dutiya Jhana atau belum, dengan demikian batin akan turun dan masuk Jhana kesatu yang masih merenungkan objek ( vicara ). Jangan melepaskan perhatian ( sati ). Kita harus memegang dutiya Jhana dengan mantap. Berlatihlah memegang Jhana dengan kuat hingga ahli betul.

HASIL DARI JHANA KEDUA
Semua Jhana diatas merupakan hasil dari meditasi, menjadikan pikiran kita memiliki sati sampajanna dengan sempurna. Disaat bekerja kita jadi memiliki ingatan yang baik, tidak ada keragu-raguan lagi dalam batin, merupakan objek yang terbaik untuk memeriksa saraf. Selain itu pada waktu hampir meninggal dunia masih memiliki sati sampajanna yang baik tidak akan merasa bingung.
Bila seorang Yogi meninggal didalam Jhana ia akan memperoleh hasil sebagai berikut :
1. Dutiya Jhana yang masih Kasar, bila meninggal dunia akan terlahir kembali dialam Brahma tingkat IV.
2. Dutiya Jhana menengah, bila meninggal dunia ia akan terlahir dialam Brahma tingkat V.
3. Dutiya Jhana yang halus / tinggi, bila meninggal dunia ia akan terlahir di alam Brahma tingkat VI.
Bila dapat memegang objek dutiya Jhana itu maka akan dapat digunakan dalam vipassana Jhana, dapat menghancurkan nafsu dengan lebih cepat dibanding dengan Jhana pertama yang masih mudah ‘goyah’. Bila dikembangkan dapat diharapkan menjadi seorang Brahmacari dalam kehidupan sekarang, tentunya kalau memiliki semangat yang baik mempraktekkan ajaran Sang Buddha dengan benar dan mempraktekkan Jalan-Tengah.

JHANA KETIGA ( TATIYA-JHANA / TATIYA SAMAPATI )
Ciri-ciri Jhana ketiga yaitu terdapatnya ( dan hanya terdapatnya ) faktor-faktor berikut ini :
1. Sukha, atau kegembiraan yang dalam tanpa kegiuran.
2. Ekagatta, pikiran yang terpusat kuat, batin dan jasmani dapat dibedakan.
Corak Jhana ketiga ini adalah batin yang sudah melepaskan piti dari Jhana kedua. Bila batin sudah masuk Jhana ketiga ini sudah tidak lagi merasakan bulu roma berdiri, mengeluarkan air mata, tubuh terasa ringan, tubuh bergoyang tetapi rasanya seperti diikat dengan kuat, seperti kayu yang ditancapkan ke tanah dengan kuat dan tidak tergoyahkan. Kita harus ahli dalam Jhana kedua, dengan tanpa merenungkan lagi.
Bila kita masih mendengar suara dari luar dan terpengaruh maka kita belum mencapai Jhana ketiga, melainkan masih dalam Jhana kesatu.
Dalam Jhana kedua suara hampir tidak kedengaran lagi, karena batin tidak menerima suara itu dan nafas terasa halus sekali.
Dalam Jhana ketiga kita masih mengetahui nafas tapi nafas itu halus sekali hampir tidak ada nafas, objek yang ada lebih mantap dari Jhana kedua. Ciri-ciri seperti ini adalah ciri-ciri Jhana ketiga.
Setelah kita berhasil sampai pada Jhana ketiga kita harus berlatih terus-menerus sehingga menjadi ahli dalam keluar-masuknya Jhana.

RINTANGAN DALAM JHANA KETIGA
Kegiuran pada objek (piti) adalah musuh yang berbahaya bagi Jhana ketiga, karena pada Jhana ketiga piti ini harus sudah tidak ada. Bila kita masih merasakan piti berarti batin turun pada Jhana kedua. Dalam Jhana ketiga kita harus memegang sati-sampajanna dengan kuat, jangan sampai tergoyah oleh Jhana lain karena hal ini membahayakan Jhana ketiga.

HASIL JHANA KETIGA
Bila kita bisa memegang Jhana ketiga sampai saat kematian tubuh kita, kita tidak akan lagi merasakan kebingungan, ingatan kita menjadi kuat, kita tidak akan pernah lagi menjadi pelupa.
Kita akan selalu bergembira setiap saat seakan tidak ada lagi penderitaan dalam hidup kita, dan wajah kita akan senantiasa terlihat cerah. Sesudah mati Jhana ini akan menolong kelahiran kembali di alam Brahma.
1. Jhana ketiga yang masih kasar, bila meninggal dunia akan terlahir kembali di alam Brahma tingkat tujuh.
2. Jhana ketiga ‘tingkat-menengah’, yang semakin halus, bila kita meninggal dunia akan bertumimbal lahir di alam Brahma tingkat delapan.
3. Jhana ketiga yang sudah halus, bila kita meninggal dunia akan terlahir kembali di alam Brahma tingkat sembilan.
Jhana ketiga ini masih merupakan lokiya-Jhana, juga dapat digunakan untuk vipassanannana. Jhana ketiga ini akan menjadi kekuatan dalam vipassanannana untuk menghancurkan nafsu, dapat mencapai kesuksesan tertinggi dalam hidup ini. Ini adalah hasil dari Jhana ketiga yang kita terima baik dalam kehidupan sekarang maupun dalam kehidupan mendatang.

JHANA KEEMPAT ( CATUTTHA JHANA / CATUTTHA SAMAPATI )
Jhana keempat memiliki dua ciri, yaitu :
1. Ekagatta, batin yang terpusat penuh pada objek.
2. Upekkha, Batin yang seimbang, tidak lagi goyah akan perasaan senang tidak senang, suka dan dukkha, tidak resah, gelisah, tidak takut juga tidak gembira yang meluap-luap.

CIRI-CIRI YOGI YANG MENCAPAI JHANA KEEMPAT
Bila seseorang yang mempraktekkan meditasi telah mencapai Jhana keempat maka akan muncul tanda-tanda yang dapat dirasakan sebagai berikut :
1. Tidak lagi merasakan munculnya nafas seperti keadaan dalam Jhana-Jhana lain. Dalam Jhana-jhana lain selain Jhana IV, nafas sangat halus ( semakin meningkat Jhana kita, semakin halus nafas kita ), tapi dalam Jhana IV, nafas mutlak berhenti. Dalam Visudhi Magga dikatakan bahwa tidak ada nafas, tetapi kadang-kadang para guru meditasi mengatakan masih ada nafas hanya saja nafas itu sangat halus sehingga kita tidak dapat merasakan adanya nafas. Dalam Visuddhi Magga dikatakan empat jenis orang yang tanpa nafas :
a. Orang Mati.
b. Orang yang menyelam kedalam air ( tanpa bantuan alat pernapasan ).
c. Bayi yang Masih dalam kandungan.
d. Seorang Yogi yang telah masuk dalam Jhana IV.
Dalam Jhana IV kita mutlak tidak bernapas. Bila kita merasakan telah tidak bernapas, berarti kita telah masuk dalam Jhana IV. Pada saat memegang objek dalam Jhana IV, seorang yogi tidak lagi merasakan munculnya napas. Dalam keadaan seperti ini biasanya seorang Yogi pemula akan merasa takut dan gelisah menyangka dirinya sudah mati karena tidak bernafas. Kemudian ia akan mencari nafas. Bila kita mencari nafas maka kita akan turun sedikit dari Jhana keempat kemudian kita akan merasakan nafas yang sangat halus pada hidung kita.
2. Bila kita masuk Jhana IV kita akan merasakan ketenangan yang amat dalam yang tidak disebabkan dari luar, tanpa suara, dan lepas dari sukha, telah memadamkan dukha tubuh (tidak merasa kesulitan lagi). Jhana IV ini lebih tenang dari Jhana yang lain, merasa tanpa tubuh (kaya) artinya batin seperti terpisah dengan tubuh, tetapi tetap mengetahui seandainya tubuh ini digigit nyamuk, dimakan binatang atau bahkan tubuhnya dihancurkan tetapi batin tetap pada Jhana keempat, kaya (tubuh) dan citta (batin) telah sungguh-sungguh dipisahkan. Sesungguhnya napas masih ada, tubuh ini masih bekerja sebagaimana mestinya, tubuh ini masih dapat berjalan dan sebagainya, tetapi citta tidak lagi menanggapi aktivitas tubuh ( segala rangsangan dari tubuh ).

RINTANGAN JHANA KEEMPAT
Rintangan yang paling berbahaya bagi kemantapan samadhi kita dalam Jhana IV adalah napas. Bila kita masih mengetahui atau merasa bernafas sewaktu berada dalam Jhana keempat berarti kita sudah turun dari Jhana keempat. Sebaiknya kita tidak perlu memperhatikan napas ada atau tidak ada.

HASIL JHANA KEEMPAT
Seorang Yogi yang telah berhasil mencapai Jhana keempat dalam hidupnya akan selalu berbahagia sepanjang hari. Bila ada problem dalam diri sendiri, ia akan menyelesaikannya dengan cara yang aneh atau cara yang luar biasa.
Bila kita memiliki Jhana IV kita akan memperoleh tiga ilmu, yaitu :
a. Enam Kekuatan batin ( Chalabhinna ).
b. Abhisembhidanana.
c. Patisambhidanana.

Bila kita menghendakinya akan mudah untuk mencapainya. Jhana keempat ini dapat dijadikan kekuatan dalam vipassanananna dan dapat untuk mengikis habis kekotoran batin atau nafsu-nafsu paling lama dalam waktu tujuh hari.
Bila kita mengembangkan vipassanannana, kemudian memegang Jhana IV ini dengan baik, sampai saat-saat kematiannya, akan terlahir di alam Brahma tingkat ke-10 atau tingkat ke-11.

RUPA JHANA DAN ARUPA JHANA
Jhana-Jhana tersebut diatas adalah RUPA-JHANA atau RUPA-SAMAPATI. Bila belum mencapai Magga atau Phala, maka disebut LOKIYA-JHANA atau LOKIYA-SAMAPATI. Bila kita mengembangkan vipassanannana sampai mencapai kesuksesan ( dari tingkat sotapana sampai arahat ) disebut LOKUTTARA JHANA atau LOKUTTARA SAMAPATI. Kata Lokuttara terdiri dari dua suku kata, yaitu Loka ( dunia ) dan Uttara ( mengatasi, terbebas ). Jadi, lokuttara berarti mengatasi/terbebas dari keduniawian, orang yang telah mencapai lokuttaranana berarti orang yang telah terbebas dari/mengatasi keduniawian.
Semua itu merupakan RUPA-JHANA karena ada bentuk yang menjadi objek, sesuai dengan namanya kesuksesan (samapati) maka dikatakan RUPA-SAMAPATI. Untuk ARUPA-JHANA dapat dibagi menjadi empat, yaitu :
1. Akasanancayatana-Jhana, adalah keadaan dari konsepsi ruang tanpa batas.
2. Vinnananancayatana-Jhana, adalah keadaan dari konsepsi kesadaran-tanpa-batas.
3. Akincannayatana-Jhana, adalah keadaan dari konsepsi kekosongan.
4. Nevasannanasannayatana-Jhana adalah keadaan dari konsepsi pencerapan bukan pula tanpa-pencerapan.
Empat macam Jhana ini disebut ARUPA-JHANA atau ARUPA-SAMAPATI karena dikembangkan dengan tanpa bentuk atau RUPA. Maka Jhana atau samapati ada delapan, yaitu empat Rupa-Jhana / Rupa-Samapati dan empat Arupa-Jhana / Arupa-Samapati.

HASIL SAMAPATI :

1. NIRODHA SAMAPATI
Ini merupakan kesuksesan yang sangat sulit diraih. Kita harus memiliki waktu yang tepat untuk melaksanakannya, sebab untuk masuk berdiam dalam nirodha-samapati paling sedikit selama tujuh (7) hari dan maksimal lima belas (15) hari.
Siapa saja yang memberikan dana pada seseorang yang telah keluar dari Nirodha-Samapati, hasilnya akan diterima pada saat itu juga. Misalnya yang berdana orang miskin, dalam waktu dekat akan menjadi orang kaya. Bila yang berdana adalah seseorang yang sedang dalam kesulitan atau mempunyai problem yang sulit dipecahkan, maka hari itu juga persoalan atau kesulitan dapat dipecahkan/diselesaikan.

2. BALA SAMAPATI
Khusus bagi orang suci dapat keluar dan masuk bala samapati setiap saat, tidak memerlukan waktu yang lama, siapa saja yang berdana pada orang yang baru keluar dari bala samapati akan hidup dengan lancar, artinya memperoleh berkah dalam hidupnya.
Jhana samapati, bagi orang yang berdana atau berbuat baik pada orang yang baru keluar dari Jhana samapati, maka ia akan maju atau mendapat kemajuan dalam hidupnya, tidak mengalamai kemunduran atau kemerosotan dalam hidupnya yang sekarang.
KEKUATAN (BALA) KESUKSESESAN / PENCAPAIAN (SAMAPATI)

Bala Samapati berati mencapai kesuksesan sesuai dengan hasil yang diterima dalam kesuksesan. Bala Samapati ini hanya diperuntukkan khusus bagi orang suci (ariya) dari tingkat sotapana sampai arahat. Bagi seorang ariya yang belum mencapai delapan kesuksesan, ia tidak dapat masuk berdiam dalam NIRODHA SAMAPATI. Tetapi ia dapat mencapai BALA SAMAPATI sesuai dengan tingkat kesuciannya, tetapi bukan mencapai delapan kesuksesan. Seorang Sotapana,Sakadagami, Anagami, Arahat, bila masuk/mencapai Jhana tersebut dapat diakatakan masuk/mencapai Bala Samapati.
Seorang yang bukan suci (ariya) bila mencapai / masuk Jhana atau samapati tersebut dikatakan masuk/mencapai Jhana saja.
Karena tanpa mencapai hasil, kesucian (Magga, Phala), hasil yang diperoleh orang-orang suci tidaklah sama dengan yang diperoleh orang biasa, yang belum suci. Tetapi dilihat dari sifatnya (kesucian) tetap sama. Sedangkan yang membedakan hanyalah antara “Yang-Ariya” dan bukan-Ariya.
NIRODHA SAMAPATI
Seorang yang masuk/berdiam dalam Nirodha-Samapati adalah orang yang telah mencapai kesucian ( Ariya-Puggala ) pada tingkat kesucian anagami atau arahat dan ia harus memiliki delapan tingkatan samapati (kesuksesan) dalam lokiya Jhana. Bagi orang yang telah mencapai tingkatan kesucian yang lebih rendah dari anagami tidak dapat masuk/berdiam dalam nirodha samapati, sekalipun telah mencapai delapan tingkatan samapati. Hal ini sudah merupakan hukum alam. Seseorang yang telah mencapai kesucian dan yang dapat masuk/berdiam dalam NIRODHA SAMAPATI adalah orang suci tingkat ANAGAMI dan ARAHAT, tetapi yang tingkat kesuciannya lebih rendah dari tingkat kesucian ANAGAMI adalah yang tidak dapat berdiam dalam Nirodha Samapati.
Demikian wacana Samadhi-Benar ini telah saya paparkan. Semoga membawa manfaat bagi anda semua, yang tertarik melatih diri , menempa diri dalam ‘samadhi’.

SEMOGA SEMUA MAKHLUK BERBAHAGIA DAN TERBEBAS…
Salam Damai dan Cinta Kasih.

http://ratnakumara.wordpress.com/buddha/samadhi/