Tampilkan postingan dengan label Kebudayaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kebudayaan. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Agustus 2013

Asal Usul Perayaan Cioko / Ulambana

Setiap tahun pada bulan 7 tanggal 15 (Cit Gwe Cap Go) penanggalan Imlek, Vihara-vihara atau Kelenteng banyak mengadakan Upacara Ulambana. Orang-orang pada umumnya mengenalnya dengan nama Sembahyang Rebutan (Cioko). Perayaan Ulambana ini disebut juga sebagai Hari Raya Setan (Ghost Festival).

Namun sebutan yang sebenarnya Upacara Ulambana ini adalah upacara sembahyang leluhur. Konon, pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe, adalah hari di mana Pintu Gerbang Neraka dibuka.

Untuk menghindari agar ayah ibu yang telah meninggal dunia tidak mengalami penderitaan Neraka, maka dilaksanakanlah sembahyang kepada roh-roh, dewa dan hantu secara besar-besaran, mengharap agar roh-roh halus jangan menganiaya ayah ibu yang telah meninggal tersebut.

Hari Raya Tiong Gwan Cwe, Hari Raya Ceng Beng, dan Hari Raya Tang Ce adalah 3 Hari Raya Hantu di kalangan kita orang-orang Tionghoa.

Di daerah-daerah, propinsi-propinsi di Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Macau, sangat menaruh perhatian kepada 3 Hari Raya ini. Apalagi pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, melaksanakan upacara sembahyang dengan sangat megah dan hikmat. Ini adalah perwujudan BAKTI kepada orang tua.

Versi Tiongkok

Orang sering menyamakan antara sembahyang qiyue ban 七月半 yang berkaitan dengan GuiJie 鬼节 ( festival hantu ) atau sembahyang rebutan yang merupakan tradisi "kelenteng" dengan sembahyang ulambana versi Buddha. Hal ini ada benar dan ada salahnya, tergantung darimana kita menilainya. Tapi sepanjang yang saya tahu, tradisi penyebrangan roh itu tidak terjadi begitu saja, adanya pengaruh Buddhism (disamping Taoism ) yang kemudian berkembang menjadi Buddhis Mahayana Tiongkok yang menyerap budaya setempat juga yang nantinya akan memberikan pula warna bagi tradisi sembayang rebutan di
kelenteng.

Sembahyang pada bulan tujuh ini adalah untuk memberi kesempatan bagi para arwah dan roh-roh di neraka dilepaskan ke dunia untuk mendapatkan 'liburan' dan bebas dari alam sengsara atau kita katakan saja kembali ke tempat yang layak. Oleh karena itu pada momen tersebut, orang kelenteng mengadakan upacara untuk memberi makan mereka dan upacara ritual penyebrangan arwah. Hal ini ditujukan untuk mengembangkan welas asih tidak hanya kepada sesame manusia atau binatang tetapi juga kepada mahluk-makhluk yang tak terlihat.

Tradisi ini sebetulnya sudah dikenal semenjak jaman sejarah purba Tiongkok tapi waktu perayaan tidak selalu sama, tergantung keinginan penguasa atau orang yang ingin mengadakan upacara itu.

Dalam kitab Liji 礼记 disebutkan bahwa upacara ini disebut Fuli 复礼 sedangkan maksud Fu disini adalah memanggil roh orang yang meninggal atau disebut pula Zhao Hun 招魂 . Pada upacara ini, arwah orang yang sudah meninggal, biasanya leluhur kita, diundang untuk kembali dan dihantar menuju ke tempat asal muasal leluhur tersebut berasal. Kitab Li Ji mengatakan bahwa tindakan ini adalah suatu perwujudan untuk menunjukkan rasa cinta kasih dan bakti.

Upacara ini berkembang dimasa dinasti Shang , dimana ritual ini nantinya akan dikaitkan dengan San Guan Da Di 三官大帝 ( penguasa tiga alam) : Penguasa langit yang dianggap memberi rejeki, penguasa bumi yang dianggap menebus dosa, dan penguasa air yang bertindak untuk mengatasi bencana.

Filosofi Tionghua yang berbasiskan YinYang percaya bahwa manusia hidup adalah bersifat Yang dan arwah-arwah adalah bersifat Yin. Akan tetapi arwah gentayangan atau roh-roh yang tidak memiliki keturunan untuk menyembahyanginya tidak akan kembali ke Yin murni, akan tetapi menderita di alam arwah dan bersifat Yin palsu.

Oleh karena itulah maka diadakan upacara ini, dimana pada pertengahan tahun dimana terjadi peralihan antara Yin dan Yang maka adalah suatu tempo dimana ada kesempatan agar roh-roh tersebut kembali dari dunia Yin masuk kembali ke dunia Yang untuk disembahyangi dan diseberangkan menuju alam Yin murni.

Penyeberangan itu sendiri sebenarnya adalah suatu pelimpahan jasa baik dari keturunan yang masih hidup kepada arwah leluhurnya. Jasa baik dari keturunan itu dilakukan antara lain dengan memberi makan dan ataupun bantuan lainnya kepada orang-orang kurang mampu yang tinggal disekitarnya. Oleh karena itu tidak heran, bahwa pada kesempatan acara tersebut maka di Indonesia ini pada khususnya ada kebiasaan untuk bagi-bagi beras atau makanan.

Ritual ini merupakan bagian dari ritual-ritual yang berkaitan dengan musim. Seperti kita kenal bahwa tradisi Tionghua merayakan ShangYuan 上元 (upacara capgomeh) , Zhong Yuan 中元 dan Xia Yuan 下元 Acara sembahyang rebutan ini sebetulnya adalah Zhong Yen Jie atau sering disebut GuiJie, masa peralihan dari semester awal tahun ke semester akhir tahun, dimana terjadinya perubahan Yang menjadi Yin.

Pada saat itu dipercaya bahwa dewa pintu neraka purba yaitu Shen shu 神荼 dan YuLu 郁垒 ( jangan dibaca ShenTu YuLei ), melepaskan roh-roh yang disiksa di alam bawah untuk masuk ke dunia Yang , dimana mereka memperoleh istirahat dan penghiburan, serta keringanan dosa melalui suatu upacara ZhaoHun atau sekarang sering disebut ChaoDu 超度. Perayaan ini biasanya dilakukan dalam periode 1 bulan tersebut, oleh karena itu di Singapura dan manca negara dikenal dengan Gui Jie / Ghost Month (bulan hantu).

Pada tahun sekitar 300 SM yaitu pada masa dinasti Jin, maka terjadi sinkretisme upacara ini dengan Buddhism, dimana berdasarkan kitab Buddha Mahayana Foshuo YuLanPen Jing 佛说盂兰盆经 ( Ulambana Sutra). Ada sedikit perbedaan kepercayaan tentang konsep karma pada tradisi Buddhism Mahayana dengan Buddhism Theravada, dimana dalam Theravada karma hanyalah bisa ditanggung oleh dirinya sendiri, tetapi dalam Buddhis Mahayana maka orang lain, terutama keluarga, bisa melakukan suatu upaya untuk meringankan karma dari arwah leluhurnya yang telah meninggal dengan gaya bantuan para bodhisatva.

Konsep karma dalam Buddhism Mahayana ini berkaitan dengan konsep Taoism yaitu chenfu 承负, yaitu bahwa karma dari leluhur akan menurun kepada anak cucunya, spt pada ungkapan rakyat tionghua : "Leluhur berbuat kebajikan maka anak cucu akan makmur jaya".

Secara teknis, maka upacara dari sembahyang rebutan ini biasanya dipimpin oleh seorang Daoshi (Toosu) atau kalau tidak oleh bikkhu Mahayana Tiongkok. Ciri khas uparacara ChaoDu adalah adanya pemasangan Zhao Hun Fan 招魂幡 yaitu bendera pemanggil roh dan ada simbol-simbol tertentu didalamnya. Selain itu juga terkadang ada Nai He Qiao 奈何桥 yaitu upacara utk menyeberangi sebuah jembatan sebagai suatu simbol untuk menyeberangkan dari dunia fana ke dunia baka.

Dalam upacara tersebut juga diset suatu altar persembahan makanan- makanan yang disebut GuTai 孤台 yang nantinya dalam upacara dipersembahkan melalui suatu tradisi Songjing (pembacaan keng) yang biasanya adalah kitab yang dibacakan ada kaitannya dengan TaiYi Jiuku Tianzun, yaitu Tianzun Welas Asih yang memang bertugas untuk mengurusi para arwah gelandangan dan arwah gentayangan.

Beliau dengan kekuatan hati Welas Asih yang tiada tara senantiasa mengayomi para arwah tsb. Atau dalam cara Buddhism Nahayana Tiongkok dibacakan Amitabha Sutra dan Ulambana Sutra ( CMIIW). Saya pernah mengikuti upacara Ulambana versi Mahayana Tiongkok, dan ternyata memang ada bendera, patung kertas GuiWang atau TianShi, perahu kertas untuk menyebrangkan arwah dan jembatan kertas pula.

Kebiasaan atau tradisi lainnya yang khas serta mengandung makna filsafat serta membedakan dengan tradisi lentera pada saat YuanXiao atau CapGo me adalah adanya Fang He Deng 放河灯 yaitu tradisi melepas lentera terapung di sungai yang mengalir sebagai simbolisme bahwa roh tersebut diberi sinar terang untuk menemukan jalannya menuju sang Asal yg disimbolkan dengan samudera (semua sungai menuju ke lautan).

Prinsip pelepasan lentera ini berkaitan dengan prinsip YIN palsu ( maksudnya roh yang gentayangan ) melalui YANG ( disini adalah dunia manusia ) kemudian kembali ke YIN asli ( alam kematian sesungguhnya ). Karena filsafat itulah maka tradisi FULI atau ZhaoHun atau juga yang kita sebut ChaoDu harus melalui proses setan-setan atau roh-roh gentayangan dilepas melalui alam manusia atau alam YANG agar bisa kembali ke alam YIN.

Pada tradisi Capgome yang mana bersifat merayakan perayaan bersifat Yang atau positif, maka lentera digantung. Sedangkan pada perayaan ZhongYuan atau GuiJie itu bersifat negatif, maka lentera dilepas di sungai atau danau.

Versi Buddhis Mahayana

Ada sebuah Kitab Suci Budhis yang berjudul Yi Lan Pen Jing, di dalam Kitab tersebut ada tercatat sebuah peristiwa :

Pada zaman dulu, ada seorang Bikkhu yang bernama Maha Moggalana. Ia merupakan salah seorang dari 10 Murid Utama Sang Buddha Gautama. Maha Moggalana adalah murid Sang Buddha dengan kesaktian no. 1 (di bawah Sang Buddha).

Maha Moggalana pada suatu ketika, dengan mata bathinnya melihat ibunya yang telah meninggal dunia, berjalan bersama dengan sekelompok hantu kelaparan. Dengan maksud menolong ibunya, lalu ia mengisi nasi ke dalam sebuah mangkok, untuk memberi makan ibunya. Siapa sangka, begitu nasi akan disuapkan ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api yang panas membara. Maha Moggalana dengan menggunakan kesaktiannya mencoba berkali-kali, tapi setiap kali hendak masuk ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api.

Maha Moggalana terkejut luar biasa, lalu kembali dan melapor kepada Sang Buddha Sakyamuni. Sang Buddha berkata kepadanya : "Dosa ibu kamu terlalu berat, hanya dengan kekuatan kamu 1 orang, tidak bisa membebaskan penderitaan ibu kamu!".

Lalu Maha Moggalana berlutut di lantai, memohon kepada Sang Buddha sambil berlinang air mata : Mohon Buddha memberi petunjuk, bagaimana baru bisa menolong ibu saya agar terbebas dari lautan penderitaan, dan tidak bersama dengan para hantu kelaparan itu lagi.

Melihat usaha Maha Moggalana yang bersungguh hati ingin berbakti dan membalas budi orang tuanya, maka dengan penuh Maha Maitri Karuna (Welas Asih) dan Maha Prajna (Bijaksana), Buddha Sakyamuni memberikan petunjuk kepada siswanya agar ia memberikan dana paramita kepada Para Arya Sangha dan setelah itu memohon Arya Sangha mengadakan suatu upacara guna menolong meringankan penderitaan ibundanya.

Sang Buddha menjawab : Mengenai hal ini, membutuhkan kekuatan para Bikkhu di 10 penjuru, begitu sampai Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, mewakili orang tua dari 7 generasi, dan orang tua sekarang yang berada dalam bencana /malapetaka, mempersiapkan bermacam-macam sayur dan buah-buahan, untuk dipersembahkan kepada Yang Berkebajikan di 10 penjuru, setiap orang berbuat kebajikan, di saat ini barulah bisa membebaskan penderitaan semua hantu kelaparan.

Maha Moggalana merasa amat gembira dan dengan penuh rasa bakti segera melaksanakan petunjuk Gurunya. Ia mempersembahkan dana paramita dari hasil Pindapatta-nya kepada para Sangha, dan kemudian memohon para Arya Sangha mengadakan suatu upacara penyaluran jasa untuk menolong ibundanya.

Setelah menerima dana paramita dari Arahat Moggalana, para Arya Sangha kemudian mengadakan upacara dengan membaca mantra, dharani dan ayat-ayat kitab suci, yang mana semua jasa dan pahala dari upacara ini disalurkan kepada ibunda Arahat Moggalana dan juga kepada makhluk-makhluk lain di tiga alam sengsara.

Sewaktu upacara dilaksanakan, terjadilah berbagai keajaiban, api neraka menjadi padam, segala penderitaan berubah menjadi kegembiraan dan kedamaian, makhluk-makhluk di alam Neraka setelah menerima getaran suci hasil pembacaan dharani tersebut, terbebaslah mereka dari penderitaannya.

Ibunda Maha Moggalana segera tertolong dan tumimbal lahir di alam yang lebih baik, begitu pula makhluk-makhluk di tiga alam sengsara lainnya, ikut menikmati hasil jasa dan pahala dari diadakannya upacara ini, sehingga merekapun dapat tumimbal lahir ke alam lain sesuai dengan kondisi karmanya.

Agar orang tua yang dalam penderitaan bisa memperoleh keterbebasan. Oleh karena ini, pada hari dan menjelang Hari Raya Tiong Gwan Cwe banyak orang yang bervegetarian dan bersembahyang, mewakili orang tua yang telah meninggal, terbebas dari penderitaan.

Sering orang salah pengertian bahwa upacara Pattidāna sama dengan upacara Cio Ko atau Cio Sie Kow yang dikenal sebagai sembahyang rebutan yang dilakukan di kelenteng-kelenteng Taois atau Vihara Avalokiteswara.

Upacara Cio Ko atau ”sembahyang rebutan“ berdasarkan kepercayaan dalam cerita See Yu atau perjalanan ke Barat. Upacara ini dilakukan setelah tanggal 15 Imlek bulan ke tujuh (Cit Gwee). Karena sebelum tanggal tersebut keluarga masih melakukan sembahyang leluhur di rumah atau di makam, sehingga disebut sebagai ”sembahyang kubur”. Upacara Cio Ko ditujukan untuk ”arwah” yang mendapat cuti berkunjung ke rumahnya tetapi keluarganya sudah tidak mengingat mereka lagi.

Sedangkan upacara Pattidāna berdasarkan kejadian ketika Raja Bimbisara di Rajagaha mengundang Buddha Gotama dengan para siswa-Nya santap siang. Karena sangat bahagia raja lupa untuk melimpahkan jasa kebajikan kepada para leluhurnya yang terlahir di alam peta, sehingga pada malam hari mendapat gangguan dari peta-peta tersebut. Maka keesokan harinya raja mengundang kembali Guru Agung Buddha dan melimpahkan jasanya kepada leluhurnya.

Jadi upacara Pattidāna dapat dilakukan kapan saja bila kita mendapat kesempatan berbuat baik dan pikiran sedang bahagia. Upacara Pattidāna bukan ”upacara duka”. Paritta Avamaïgala dibaca atau diulangi agar yang mendengar dan setelah tahu artinya bisa berubah pikiran dari bersedih menjadi bijaksana dan rela melepas orang yang dicintai.

Semua makhluk turut bersuka cita atas peristiwa ini. Hyang Buddha Sakyamuni menamakan upacara ini dengan nama Upacara Ullambana, yaitu suatu upacara untuk menolong makhluk-makhluk yang karena karma buruknya tumimbal lahir dan menderita di 3 alam sengsara. Selanjutnya upacara ini dilakukan tiap tahun sampai sekarang. Demikianlah asal mula diadakannya Upacara Ullambana yang tetap diperingati setiap tahun sampai sekarang.

MANTRA MEMBALAS BUDI ORANG TUA

Mantra membalas budi orang tua “Namo Miliduo Duoboyi Soha”, bila setiap hari dalam bulan cioko /7 ( lunar) membacanya 49 kali, maka dapat membalas budi jasa orang tua. Ini adalah sebuah penekunan upaya kausalya bagi perorangan, karena jika Upacara Ritual Ullambana dilakukan sendiri maka tidak semua orang yang sanggup membiayainya, namun bila dilaksanakan bersama dengan khalayak, biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit dan manfaatnya sama.

Bila keluarga miskin tidak sanggup mengikuti Upacara Ulambana, maka disarankan untuk membaca mantra ini 49 kali setiap hari, bila dalam bulan 7 dilaksanakan setiap hari, maka juga akan berhasil meyeberangkan arwah orang tua. Tiap keluarga melahirkan Buddha, pahalanya sangat besar. ini juga berlaku untuk orang tua yang masih hidup ... dapat dilihat bila orang tuanya sering sakit-sakitan dengan dibacanya mantera ini dapat mengurangi penderitaannya. Tentu saja ini hanya sebagian kecil cara untuk membalas jasa orang tua kita... yang berjodoh silakan dicoba...yang tidak percaya abaikan saja..


https://www.facebook.com/photo.php?fbid=498436703572942&set=a.451274724955807.1073741825.100002198507840&type=1&theater 

Rabu, 17 April 2013

Hian Thian Siang Te - Dewa Langit Utara

玄天上帝 Xuan Tian Shang Di {Hok Kian = Hian Thian Siang Te} disebut juga 玄天大帝 Xuan Tian Da Di,元天大帝 Yuan Tian Da Di、北極大帝 Bei Ji Da Di、真武大帝 Zhen Wu Da Di、開天大帝 Kai Tian Da Di、玄武帝 Xuan Wu Di、真武帝 Zhen Wu Di、元武帝 Yuan Wu Di, adalah salah satu Dewa yang paling terkenal dengan wilayah penghormatan yang amat luas, dari Tiongkok Utara sampai Selatan, Taiwan, Malaysia & Indonesia. Sebagian orang menyebutnya sebagai 上帝公Shang Di Gong {Siang Te Kong}. Kedudukannya di kalangan Dewa Langit sangat tinggi, berada setingkat di bawah Yu Huang Da Di {Giok Hong Tai Te}. Merupakan salah satu dari Si Tian Shang Di (baca: Se Thian Sang Ti = Empat Maha Raja Langit), yang terdiri dari :

青天上帝 Qing Tian Shang Di di Timur.

殷天上帝 Yan Tian Shang Di di Selatan.

白天上帝 Bai Tian Shang Di di Barat.

玄天上帝 Xuan Tian Shang Di di Utara.

Hian Thian Siang Te mempunyai kekuasaan di Langit bagian Utara dan menjadi pemimpin tertinggi para Dewa di kawasan tersebut. Arcanya selalu digambarkan dengan menginjak kura-kura dan ular. Xuan Wu adalah dewa yang berkedudukan di wilayah Utara, dilambangkan sebagai ular dan kura-kura. Hian Thian Siang Te
yang disebut juga Zhen Wu Da Di {Cin Bu Tay Tee} adalah Xuan Wu. Pada zaman Dinasti Song secara resmi huruf Xuan diganti Zhen, dan sebutan Xuan Wu diganti menjadi Zhen Wu Da Di. Di sebelah kiri dan kanan Hian Thian Siang Te biasanya terdapat 2 orang pengawal yaitu Jendral Zhao dan Jendral Kang.

Penghormatan kepada Hian Thian Siang Te mulai berkembang pada masa Dinasti Ming. Dikisahkan pada masa permulaan pergerakan Zhu Yuan Zhang (pendiri Dinasti Ming), dalam suatu pertempuran pernah mengalami kekalahan besar, sehingga ia terpaksa bersembunyi di Pegunungan Wu Tang Shan {Bu Tong San}, propinsi Hu Bei, dalam sebuah Kelenteng Shang Di Miao. Berkat perlindungan Hian Thian Siang Te, Zhu Yuan Zhang dapat terhindar dari kejaran pasukan Mongol, yang mengadakan operasi penumpasan besar-besaran terhadap sisa-sisa pasukannya.

Kemudian berkat bantuan Hian Thian Siang Te pula, Zhu Yuan Zhang berhasil mengusir penjajah Mongolia dan menumbangkan Dinasti Yuan. Zhu Yuan Zhang mendirikan Dinasti Ming, setelah mengalahkan saingan-saingannya dalam mempersatukan Tiongkok.

Untuk mengenang jasa-jasa Hian Thian Siang Te dan berterima kasih atas perlindungannya, Zhu Yuan Zhang lalu mendirikan kelenteng penghormatan kepadanya di ibukota Nan Jing (Nan King) dan di Gunung Bu Tong San. Sejak itu Bu Tong San menjadi tempat suci bagi penganut Taoisme. Kemudian penghormatan kepada Hian Thian Siang Te meluas ke seluruh negeri, hampir di setiap kota besar ada kelenteng yang menghormatinya. Kelenteng Hian Thian Siang Te dengan arcanya yang terbuat dari tembaga, bisa dilihat sampai sekarang. Selain itu Hian Thian Siang Te juga diangkat sebagai Dewa Pelindung Negara.

Di Taiwan pada masa Zheng Cheng Gong berkuasa, banyak kelenteng Shang Di Gong {Siang Te Kong} didirikan. Tujuannya adalah untuk menambah wibawa pemerintah dan menjadi pusat pemujaan bersama rakyat dan tentara. Oleh karena itu, kelenteng Shang Di Miao {Siang Te Bio} tersebar di berbagai tempat. Di antaranya yang terbesar adalah di Tai Nan (Taiwan Selatan), yang dibangun pada saat Belanda berkuasa di Taiwan.

Setelah kekuasaan Zheng Cheng Gong jatuh, Dinasti Qing dari Manzhu yang berkuasa, mendiskreditkan Shang Di Gong dengan mengatakan bahwa beliau sebenarnya adalah seorang tukang jagal yang telah bertobat. Usaha ini mempunyai tujuan politik yaitu melenyapkan dan mengikis habis sisa-sisa pengikut Dinasti Ming secara moral, dengan memanfaatkan dongeng ajaran Buddha tentang seorang tukang jagal yang telah bertobat, lalu membelah perutnya sendiri, membuang seluruh isinya dan menjadi pengikut Buddha. Kura-kura dan ular yang diinjak tersebut dikatakan sebagai usus dan jeroan si tukang jagal. Oleh karena itu tingkatannya diturunkan menjadi Malaikat Pelindung Pejagalan.

Sejak itu pembangunan kelenteng-kelenteng Siang Te Bio amat berkurang. Pada masa ini pembangunan kelenteng Shang Di Miao hanya satu, yaitu Lao Gu Shi Miao di Tai Nan.

Namun sebenarnya Kaisar-Kaisar Manzhu sangat menghormati Hian Thian Siang Te, terbukti dengan dibangunnya kelenteng penghormatan khusus untuk Hian Thian Siang Te di komplek Kota Terlarang, Istana Kekaisaran di Beijing, yang dinamakan Qin An Tian. Satu kelenteng lagi dibangun di Istana Persinggahan di Cheng De.

Wu Dang Shan, gunung suci para penganut Taoisme, terletak di propinsi Hu Bei, Tiongkok Tengah. Sejak zaman Dinasti Tang, kelenteng-kelenteng sudah mulai didirikan di sana. Namun pembangunan secara besar-besaran adalah pada masa pemerintahan Kaisar Yong Le pada zaman Dinasti Ming. Hal ini tidak mengherankan karena Xuan Tian Shang Di diangkat sebagai Dewa Pelindung Kerajaan.

Di antara kelenteng-kelenteng di sana yang terkenal adalah Yu Xu Gong {Giok Hi Kiong} dengan bangunannya bergaya istana Beijing, terletak di bagian Barat Laut puncak utama Bu Tong San. Adalagi kelenteng Yu Zhen Gong yang dibangun pada tahun Yong Le ke-15, terletak di kaki Utara Bu Tong San. Di kelenteng ini terdapat penghormatan & arca Zhang San Feng {Thio Sam Hong}, pendiri perguruan silat cabang Wu Dang {Bu Tong Pay}.

Bangunan kuil yang paling lengkap adalah kelenteng Zi Xiao Gong yang terletak di puncak Timur Laut, merupakan pusat dari keseluruhan rangkaian tempat ibadah di gunung tersebut. Arca perunggu Hian Thian Siang Tee hasil pahatan Guru Ji (pemahat ulung dari Korea yang amat terkenal sampai ke manca negara) ditempatkan di sini. Di kelenteng ini dapat terlihat lambang Gunung Bu Tong San yaitu patung kura-kura dan ular. Patung logam itu menggambarkan seekor kura-kura sedang dililit erat-erat oleh seekor ular. Katanya sang ular bermaksud memaksa sang kura-kura memuntahkan semua isi perutnya.

Menurut kepercayaan, kura-kura tersebut berasal dari perut besar (lambung/maag), dan sang ular dari usus Zhen Wu yang berubah ujud. Dikisahkan bahwa suatu ketika dalam samadhinya yang tanpa makan & minum, Zhen Wu merasakan usus dan lambungnya sedang bertengkar. Rupanya rasa lapar yang amat sangat menyebabkan kedua organ tubuh tersebut saling menyalahkan. Zhen Wu menyadari kalau dibiarkan, hal ini dapat mempengaruhi ketentraman batinnya. Dalam kejengkelannya, ia membelah perutnya dan mengeluarkan kedua organ tubuh tersebut, lalu melemparkan ke rerumputan di belakangnya. Kemudian seperti tanpa terjadi sesuatu ia melanjutkan samadhinya.

Sang lambung & usus karena setiap hari mendengarkan Zhen Wu membaca ayat-ayat suci Tao, lama kelamaan memiliki tenaga gaib juga. Keduanya lalu berubah menjadi kura-kura & ular, kemudian menyelinap turun gunung untuk memakan ternak dan juga manusia. Zhen Wu yang telah menjadi Dewa, amat murka akan kejadian ini. Dengan mengendarai awan dan pedang terhunus ia turun gunung. Tebasan pedangnya di punggung kura-kura meninggalkan bekas sampai sekarang. Sejak itu di punggung kura-kura tampak guratan-guratan seperti bekas tebasan pedang. Dengan tali wasiat diikatnya leher sang ular, sehingga sejak itu leher ular menjadi lebih kecil daripada tubuhnya.

Setelah ditaklukkan, kura-kura dan ular memperoleh pangkat Er Jiang yang berarti “Dua Panglima”, dan menjadi landasan tempat duduk Zhen Wu Da Di. Tapi sang kura-kura rupanya masih belum hilang watak silumannya. Hal ini diketahui oleh Zhen Wu, beliau lalu menyuruh sang ular melilit tubuh kura-kura erat-erat, agar segala benda yang telah ditelannya dimuntahkan kembali, dan mengungkapkan semua kejahatan yang pernah dilakukannya. Patung kura-kura dan ular ini sampai sekarang masih ada di ruang belakang kelenteng Zi Xiao Gong, selanjutnya dijadikan logo yang melambangkan gunung Bu Tong San.

Masih ada 1 peninggalan penting yang ada kaitannya dengan Hian Thian Siang Tee, yaitu sebuah sumur yang dinamakan Mo Zhen Jing (Sumur tempat mengasah jarum). Konon pada waktu Zhen Wu sedang melakukan tapa di gunung ini, hatinya merasa goyah. Ia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. Sampai di tepi sumur ini ia melihat seorang wanita tua sedang mengasah alu besi. Zhen Wu merasa heran, lalu menanyakan apa maksud si nenek mengasah alu besi. Dengan tertawa si nenek berkata bahwa ia sedang mengasah alu untuk membuat jarum sulam. Mendengar jawaban ini Zhen Wu baru menyadari maksud yang terkandung di balik perkataan sang nenek. Segera ia kembali ke atas gunung untuk melanjutkan tapanya. Nama Mo Zhen Jing kemudian menjadi terkenal. Kini di dekat sumur itu dibangun rangon dan patung seorang nenek tua yang sedang mengasah alu.

Sehubungan dengan kura-kura dan ular ini, para pengusaha rakit bambu di Taiwan dan Hongkong sembahyang kepada Hian Thian Siang Tee, agar kura-kura dan ular di sungai-sungai tidak berani menimbulkan ombak dan gelombang yang mengancam usaha mereka. Selain di Taiwan dan Hongkong, persembahyangan kepada Hian Thian Siang Tee ini telah menyebar ke Asia Tenggara, terutama di Malaysia, Singapura dan Indonesia. Di Singapura, kelenteng Wak Hai Cheng Bio di Philip Street, terkenal sembahyang kepada Hian Thian Siang Tee. Di Indonesia hampir setiap kelenteng menyediakan altar untuknya.

Menurut cerita, Kelenteng Hian Thian Siang Tee yang pertama di Indonesia adalah Kelenteng Welahan, Jawa Tengah. Di Semarang, sebagian besar kelenteng ada menyediakan altar khusus untuknya. Sedangkan kelenteng yang khusus sembahyang Hian Thian Siang Tee sebagai tuan rumah adalah Kelenteng Gerajen & Bugangan.

Hian Thian Siang Tee (Zhen Wu Da Di / Cin Bu Tay Tee) ditampilkan sebagai seorang dewa yang memakai pakaian perang keemasan dengan tangan kanan menghunus pedang penakluk iblis, kedua kakinya yang tanpa sepatu menginjak kura-kura dan ular. Hari Se Jit Hian Thian Siang Te diperingati setiap tanggal 3 bulan 3 Imlek.


https://www.facebook.com/photo.php?fbid=450866591663287&set=a.283020685114546.67697.100002198507840&type=1&theater

Minggu, 19 Agustus 2012

Makam Eyang Jugo & Pesugihan Gunung Kawi Oleh : Jaka Kumara

Malang, metropuncaknews.com – Nama Eyang Jugo sangat erat kaitannya dengan Pesugihan Gunung Kawi di Malang Jawa Timur. Dapat dikatakan, Gunung Kawi termasuk lokasi pesugihan paling populer di Indonesia dan Asia Tenggara. Meskipun belum ada data valid seputar orang yang berhasil kaya setelah melakukan ritual pesugihan di sana ataupun orang yang gagal menjadi kaya setelah ritual.

Dalam hal ini, dibutuhkan kehati-hatian untuk mereka yang datang dengan tujuan ritual. Jika Anda berkunjung sebagai seorang wisatawan yang hendak menikmati keindahan panorama Gunung Kawi, tentu tidak menjadi masalah.

Di sisi lain, daun dewandaru yang menjadi harapan diri ingin kaya, juga sering menjadi permainan orang tertentu. Daun itu sengaja dilemparkan orang hingga menjadi rebutan. Jadi bukan daun yang jatuh dari pohon. Informasi ini penulis dapatkan dari orang yang pernah ke Gunung Kawi.

Sesuatu yang mungkin sudah difahami bagi orang yang berziarah ke Gunung Kawi adalah adanya sebuah Padepokan yang menjadi rumah tinggal Eyang Jugo semasa hidupnya. Padepokan itu terletak di desa Jugo, Kesamben, Blitar.
Ada banyak orang yang mengetahui Padepokan Eyang Jugo ini, namun tidak banyak peziarah yang mengunjunginya.

Dengan kata lain, para peziarah Gunung Kawi, khususnya yang bertujuan mencari pesugihan tidak serta merta mengunjungi padepokan ini di Blitar. Melainkan langsung menuju makam keramat Eyang Jugo di Gunung Kawi, Malang.
Inilah yang kemudian menjadi problematika tersendiri bagi peziarah yang datang langsung ke Gunung Kawi tanpa menyempatkan diri mengunjungi padepokan Eyang Jugo.

Sementara itu, bagi para peziarah yang pernah datang ke Padepokan Eyang Jugo justru mengaku merasa lebih mantap saat berziarah ke Gunung Kawi. Terutama menyangkut tata cara dan prasyarat ritual yang harus dipenuhi.
Betapa tidak, ada banyak cerita seputar peziarah yang kehabisan bekal hingga tidak dapat pulang ke daerahnya masing-masing. Hal ini tentu sangat menyedihkan. Semua itu terjadi disebabkan orang tersebut tidak mengetahui banyaknya calo yang menjerat dirinya dengan biaya selametan yang besar dan tidak masuk akal.

Bahkan yang lebih menyedihkan adalah upaya orang-orang tertentu yang dengan sengaja mengambil keuntungan dengan cara yang tidak wajar.Ambil contoh, adanya prasyarat hewan kambing kendit (hitam) yang di tumbalkan secara hidup-hidup. Maksudnya, seorang peziarah Gunung Kawi yang ingin mengikuti ritual pesugihan diharuskan membeli seekor kambing kendit untuk kemudian dilepas dalam keadaan hidup ke arah hutan.

Pada kenyataannya, kambing kendit tersebut disemir cat warna hitam lalu dilepas ke hutan. Jadi bukan asli kambing berwarna hitam. Ketika kambing itu dilepas ke hutan, tentu tidak berapa lama kemudian akan kembali ke kandangnya atau diambil kembali oleh pemilik kambing tersebut.Harga hewan tersebut ada yang mencapai puluhan juta rupiah per ekornya. Di atas harga pasaran yang umum berlaku.Daun Dewandaru Menjadi kaya berarti harus kejatuhan daun dewandaru. Jika tidak kejatuhan daun dewandaru, maka Anda tidak akan pernah menjadi kaya. Inilah salah satu mitos penting di Gunung Kawi.

Daun dewandaru berasal dari pohon dewandaru. Di Gunung Kawi, daun ini menjadi harapan seseorang yang ingin kaya. Dikisahkan, apabila seseorang tirakat di bawah pohon dewandaru dan kejatuhan daun dewandaru, maka dapat dipastikan dirinya akan kaya raya. Inilah mitos yang sudah berurat akar bagi para peziarah dengan tujuan pesugihan.
Akan tetapi, tidak semua orang kejatuhan daun dewandaru tersebut. Padahal mereka sudah berharap penuh kejatuhan daun tersebut. Uniknya, ada orang-orang tertentu yang dengan sengaja melemparkan daun tersebut hingga menjadi rebutan. Seolah-olah daun itu jatuh dengan sendirinya.

Kisah Singkat Daun Dewandaru
Meskipun demikian, penulis pun mendapat cerita menarik seputar daun dewandaru ini. Seorang kawan penulis bercerita seputar keunikan kisah daun dewandaru ini.
“Saya mendapat cerita ini dari ayah saya. Kisah tentang daun dewandaru yang membuat seorang perempuan menjadi kaya raya,” kata Bayan.
Bayan menceritakan bahwa saat Ayahnya berusia remaja (sekitar akhir tahun 1960-an), memiliki seorang teman sekolah yang ekonominya tergolong kaya. Keakraban Sang Ayah dengan temannya yang bernama Darto membuatnya sering bermain ke rumah Darto.
Orang tua Darto terbilang kaya pada masanya. Selain memiliki areal persawahan yang luas, penggilingan padi dan kendaraan lebih dari satu. Padahal, pada masa itu masyarakat sedang berada dalam tingkat ekonomi yang memprihatinkan.
Suatu ketika, Sang Ayah berkunjung ke rumah Darto dan bermain seperti biasanya. Ketika itu, orangtua Darto berada di rumah dan sedang berbincang dengan kerabat-kerabatnya.
“Saat itu, ayah saya mendengar ibunda Darto berbicara tentang daun dewandaru. Inilah yang membuat ayah saya tertarik dan ikut mendengarkan semua cerita ibunda Darto,” kata Bayan.
Dikisahkan, ibunda Darto hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Suaminya hanya petani biasa, sama seperti masyarakat lain di desanya. Karena itulah, perempuan ini pun pergi ke Gunung Kawi untuk mengadu peruntungan. Dia ingin mengikuti ritual pesugihan semata-mata demi meningkatkan ekonomi keluarganya.
Tentu saja niat mengubah nasib patut dipuji dan dihargai. Sebagaimana terjadi pada masa sekarang, ada banyak isteri yang mengadu nasib ke negeri orang menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI).
Ibunda Darto pun pergi ke Malang dan melakukan ritual di Gunung Kawi. Bagian penting dari ritual itu adalah tirakat di bawah pohon dewandaru. Ibunda Darto tidak sendirian berada di bawah pohon itu. Ada banyak peziarah yang juga melakukan hal yang sama. Mereka bersama-sama duduk di bawah pohon sambil menunggu jatuhnya daun dewandaru.
Entah doa apa yang dibaca Ibunda Darto di bawah pohon keramat itu. Tiba-tiba saja, dia merasa ada selembar daun dewandaru yang jatuh ke pundaknya. Tetapi, pada saat yang bersamaan, sejumlah orang yang berada di dekatnya pun melihat daun dewandaru itu jatuh di pundak Ibunda Darto.
Mereka pun berteriak,” Daun dewandaru jatuh, daun dewandaru jatuh!”
Tentu saja mereka mendekati Ibunda Darto dan berupaya merebut daun dewandaru itu. Beberapa orang, kebanyakan kaum pria, menggeledah pakaian Ibunda Darto untuk mendapatkannya.
Ibunda Darto hanya bisa menangis pilu saat pria-pria rakus itu meraba tubuhnya, membuka BH secara kasar, mengangkat gaun pakaiannya. Bahkan membuka celana dalamnya hingga nyaris telanjang bulat, seolah hendak diperkosa. Memeriksa dengan teliti dimana daun dewandaru itu berada.
Tetapi upaya pria-pria rakus itu gagal mendapatkan daun dewandaru di tubuh Ibunda Darto. Mereka pun mencari-cari di tanah di tempat Ibunda Darto duduk tirakat.
Selanjutnya, Ibunda Darto pulang ke rumahnya di Blitar sambil menangis tersedu-sedu sepanjang jalan. Dia tidak menyangka dirinya akan mendapat perlakuan tidak senonoh dari para peziarah lain yang juga sama-sama ingin menjadi kaya. Betapa beratnya dirinya menerima perlakuan semacam ini.
Lantas dimana daun dewandaru itu?
Inilah yang tidak diketahui para pria rakus itu. Setiba di rumah, Ibunda Darto masuk ke dalam kamar dan membuka celana dalamnya. Lalu dia mengambil daun dewandaru itu dari dalam vaginanya.
Rupanya, sesaat setelah daun dewandaru itu jatuh menimpa pundaknya, seketika Ibunda Darto mengambil daun dewandaru itu dan memasukkannya ke dalam kemaluannya.
Itulah sebabnya tidak seorang pun para pria rakus itu menyadarinya. Padahal, para pria jahanam itu sudah berhasil menelanjanginya


Asal Usul Pesugihan Gunung Kawi
Bayan mengisahkan bahwa pada awalnya makam Eyang Jugo di Gunung Kawi tidak dikenal sebagai tempat pesugihan hingga datangnya sosok pria dari daratan Cina bernama Tamyang
Bayan mengaku mengenal Tamyang. Tentu saja saat dirinya masih kecil. Tamyang ini biasa datang ke padepokan Eyang Jugo menemui ayahnya yang saat itu menjadi juru kunci.
Dikisahkan, Eyang Jugo pernah melakukan perjalanan ke daratan Cina. Suatu ketika, dia bertemu dengan seorang perempuan hamil yang kehilangan suaminya. Lalu Eyang Jugo membantu ekonomi janda yang hidup dalam kemiskinan ini.
Tentu saja perempuan ini sangat senang dan berterima kasih dengan bantuan Eyang Jugo. Sesuatu yang sudah menjadi tabiat Eyang Jugo dalam membantu sesama.
Ketika Eyang Jugo hendak kembali ke Pulau Jawa, dia berpesan kepada janda itu agar jika anaknya sudah besar kelak disuruh datang ke Gunung Kawi di Pulau Jawa. Anak dari janda miskin inilah yang diberi nama: Tamyang.
Pada era tahun 40-an, datanglah Tamyang ke Gunung Kawi. Tentu saja dia hanya melihat makam Eyang Jugo, sebab Eyang Jugo sudah wafat beberapa tahun sebelumnya.
Tamyang ingin membalas jasa Eyang Jugo yang telah berbuat baik kepada ibunya di daratan Cina. Itulah sebabnya, dia merawat makam itu dengan baik.
Pria Cina yang biasa berpakaian hitam-hitam mirip pendekar silat ini merawat makam Eyang Jugo dan membangun tempat berdoa dengan gaya Cina.
Sejak itulah, peziarah semakin ramai mengunjungi Gunung Kawi. Tetapi anehnya dengan tujuan mencari pesugihan dan bukan belajar bagaimana menjadi orang bijak seperti Eyang Jugo.

SHI BA LUO HAN (18 ARAHAT) by Yong Koei.



Menurut LEGENDA, Dikatakan bahwa BUDDHA memerintahkan 16 orang ARAHAT untuk menunda parinibbana-nya untuk terus membabarkan dharma dan menolong umat manusia. TEtapi dalam perkembangannya, terutama dalam kebudayaan tertentu (apalagi dengan adanya personifikasi dalam bentuk patung) kemudian muncul lagi 2 orang ARAHAT sehingga total menjadi 18 ARAHAT atau dalam tradisi Ti
ongkok disebut dengan Se Pa Lo Han (18 ARAHAT).


Menurut Nandimitrāvadāna (法住記 -Da Aluohan Nandimiduoluo Suoshuo Fazhuji )
Ditulis oleh Arahat Nandimitra, Taisho Tripitaka 2030 yang diterjemahkan oleh Bhiksu Tang Xuanzang terdapat daftar dari 16 Arahat:

1. 賓度羅跋羅惰闍 (Sk: Pindolabharadvaja)
2. 迦諾迦伐蹉 (Sk:Kanakavatsa)
3. 迦諾迦跋釐堕闍 (Sk: Kanakabharadvaja)
4. 蘇頻陀 (Sk: Subinda)
5. 諾距羅 (Sk:Nakula)
6. 跋陀羅 (Sk: Bhadra)
7. 迦哩迦 (Sk:Kalika)
8. 伐闍羅弗多羅 (Sk: Vajraputra)
9. 戌博迦 (Sk:Jivaka)
10. 半託迦 (Sk:Panthaka)
11. 羅怙羅 (Sk:Rahula)
12. 那伽犀那 (Sk:Nagasena)
13. 因掲陀 (Sk:Angaja)
14. 伐那波斯 (Sk:Vanavasin)
15. 阿氏多 (Sk:Ajita)
16. 注荼半託迦 (Sk:Chudapanthaka)

Angaja atau Angida terkadang digantikan oleh Bodhidharma (Damo Zushi).

16 Arahat pertama kali disebutkan dalam Mahayana Vataraka Shastra yang ditulis oleh Sthiramati dan diterjemahkan oleh Bhiksu Daotai ke dalam bahasa Tionghoa pada abad ke-5 M. Dalam Taiwan Wenxian (dokumen dari Taiwan) disebutkan bahwa di anatara 18 Arahat, yang tercatat dalam sutra-sutra hanayalah 16 Arahat, dua lainnya ditambahkan oleh umat Buddhis di Tiongkok. 18 Arahat dalam lukisan Guan Xiu pada tahun 891 M:

01. Rahula, Arahat Pemikir, 罗怙罗多尊者,Luo Hu Luo Duo Zun Zhe, 沉思罗汉, Chen Si Luo Han.
02. Pindola Bharadvaja, Arahat Penunggang Rusa, 宾度罗跋罗堕阇尊者,Bin Du Luo Ba Luo Duo She
Zun Zhe, 骑鹿罗汉,Qi Lu Luo Han.
03. Subinda, Arahat Pembawa Pagoda, 苏频陀尊者,Su Pin Tuo Zun Zhe, 托塔罗汉,Tuo Ta Luo Han.
04. Panthaka, Arahat Pengangkat Tangan, 半托迦尊者,Ban Tuo Jia Zun Zhe, 探手罗汉,Tan Shou Luo Han.
05. Bhadra, Arahat Pengelana, 跋陀罗尊者,Ba Tuo Luo Zun Zhe, 过江罗汉,Guo Jiang Luo Han.
06. Vanavasa, Arahat di bawah pohon pisang, 伐那婆斯尊者,Fa Na Po Si Zun Zhe, 芭蕉罗汉,Ba Jiao Luo Han.
07. Nakula, Arahat Pemeditasi, 诺距罗尊者,Nuo Ju Luo Zun Zhe, 静座罗汉,Jing Zuo Luo Han.
08. Kalika, Arahat Penunggang Gajah, 迦理迦尊者,Jia Li Jia Zun Zhe, 骑象罗汉,Qi Xiang Luo Han.
09. Chudapanthaka, Arahat Penjaga Pintu, 注茶半托迦尊者,Zhu Cha Ban Tuo Jia Zun Zhe, 看门罗汉, Kan Men
Luo Han.
10. Nandimitra, Arahat Penjinak Naga, 庆友尊者,Qing You Zun Zhe, 降龙罗汉,Jiang Long Luo Han.
11. Kanaka Bharadvaja, Arahat Pembawa Mangkok, 迦诺迦跋黎堕阇尊者, Jia Nuo Jia Ba Li Duo She Zun Zhe,
举钵罗汉,Ju Bo Luo Han.
12. Angida, Arahat Karung Besar, 布袋罗汉,Yin Jie Tuo Zun Zhe, 因揭陀尊者, Bu Dai Luo Han.
13. Asita/Ajita, Arahat dengan Alis Panjang, 阿氏多尊者,A Shi Duo Zun Zhe, 长眉罗汉,Chang Mei Luo Han.
14. Gobaka, Arahat pembuka Hati, 戌博迦尊者,Xu Bo Jia Zun Zhe, 开心罗汉,Kai Xin Luo Han.
15. Kanakavatsa, Arahat Bahagia, 迦诺迦代蹉尊,Jia Nuo Jia Dai Cuo Zun Zhe, 喜庆罗汉, Xi Qing Luo Han.
16. Nagasena, Arahat Pembersih Telinga, 那迦犀那尊者,Na Jia Xi Na Zun Zhe, 挖耳罗汉,Wa Er Luo Han.
17. Vajraputra, Arahat Singa Tertawa, 伐阇罗弗多尊者,Fa She Luo Fu Duo Zun Zhe, 笑狮罗汉,Xiao Shi Luo
Han.
18. Pindola, Arahat Penjinak Macan, 宾头庐尊者,Bin Tou Lu Zun Zhe, 伏虎罗汉, Fu Hu Luo Han.

Arahat Penunggang Rusa terkadang menunjuk pada Pindola Bharadvaja dan terkadang menunjuk pada Ajita. Mahakasyapa dengan Nandimitra juga sering tertukar-tukar.

Versi lainnya:
1. 彌勒尊者 (Mile Zunzhe) - Maitreya
2. 達摩祖師 (Damo Zushi) - Bodhidharma
3. 志公禪師 (Zhigong Chanshi) - Bhiksu Zhigong
4. 降龍尊者 (Jianglong Zunzhe) - Mahakashyapa
5. 目蓮尊者 (Mulian Zunzhe) - Maudgalyayana
6. 飛杖尊者 (Feizhang Zunzhe)
7. 開心尊者 (Kaixin Zunzhe)
8. 進花尊者 (Jinhua Zunzhe)
9. 進香尊者 (Jinxiang Zunzhe)
10.獅子尊者 (Shizi Zunzhe) / 戲獅尊者 (Xishi Zunzhe)
11.長眉尊者 (Changmei Zunzhe) - Pindola Bharadvaja
12.伏虎尊者 (Fuhu Zunzhe)
13.洗耳尊者 (Xier Zunzhe)
14.弄鈸尊者 (Longpo Zunzhe)
15.戲笠尊者 (Duoli Zunzhe) / 优婆尊者 (Youpo Zunzhe) / 道悟尊者 (Daowu Zunzhe)
16.進燈尊者 (Jindeng Zunzhe)
17.進果尊者 (Jinguo Zunzhe)
18.梁武帝尊者 (Liang Wudi Zunzhe) - Raja Liang Wudi

Jadi dua Arahat lainnya tersebut ada berbagai macam versi:

1. Manjusri Bodhisattva dan Samantabhadra Bodhisattva
2. Nandimitra (Arahat Penjinak Naga) dan Pindola (Arahat Penjinak Macan)
3. Raja Liang Wudi dan Bhiksu Zhi Gong (guru Kaisar Liang)
4. Ji Gong (Dao Ji - 濟公尊者) dan Mahamaudgalyayana (Mogallana)
5. Mahakashyapa (Arahat Penjinak Naga) dan Maitreya (Arahat Penjinak Macan)


VERSI TIONGHOA
Orang Tionghoa menamakan murid Sakyamuni Buddha, yang setingkat lebih rendah dari Boddhisatva, Luo Han, yang berarti "Arhat" atau "Arahat" atau "Arahan" yaitu "Pemusnah Nafsu" dan "yang patut dihormati", atau "Zun-zhe. ( Cun Cia - Hokkian ). para Luo Han itu diberi kekuasaan diberbagai tempat dunia ini. Ditiap tempat Luo Han yang berkuasa, di bantu oleh sekelompok Luo Han bawahan yang terdiri dari 500 sampai 1.600 orang. Mereka itu umumnya berasal dari orang - orang yang pernah berbuat kesalahan dan kemudian insyaf setelah menghayati ajaran - ajaran Buddha. Kemudian mereka - mereka itu menjadi penyebar - penyebar Dharma yang tangguh. Menurut sejarah,catatan tentang para Luo Han diperkenalkan di Tiongkok bersamaan menyebarkan agama Buddha di sana. Umumnya catatan-catatan itu diteijemahkan dan dibawa ke Tiongkok oleh musyafir Tiongkok seperti Fa Xian dan Xuan Zhang. FaXian seorang pendeta yang pergi ke India dan Ceylon pada tahun 399 Masehi, sedangkan Xuan Zhang pergi ke India pada jaman dinasti Tang pada tahun 629.

Adapun 16 Luo Han yang berasal dari India adalah sebagai berikut :


1). Bin-du-lo-ba-duo-Zun-zhe atau Pindola Bharadvaja
Pindola mempunyai wilayah kekuasaan di wilayah sebelah barat Surga Barat. menurut legenda, pada waktu usia muda, ia adalah seorang yang kejam dan sangat tidak patuh pada orang tuanya. Ia kemudian dilemparkan ke neraka dan harus memakan karang dan batu - bata sebagai santapan sehari - hari. Karena penderitaan ini badan menjadi kurus kering. Tapi kemudian ia menyesali dosa - dosanya dan menjadi penganut ajaran Buddha. Ia menjadi salah satu murid Buddha yang terkemuka dan punya Luo Han bawahan sebanyak 1.000 orang. Ia mempunyai kesaktian antara lain dapat terbang diudara dan terapung di atas air. Seringkali ia ditampilkan dengan membawa buku yang sedang terbuka di atas pahanya dan sebatang tongkat pengemisnya tersandar disampingnya.


2). Ba-tuo-luo Zun-zhe atau Badra
Ia digambarkan sebagai orang perkasa yang menaklukkan seekor harimau, sebagai lambang kesaktidan
kekuatannya dalam menaklukkan kejahatan secara umum, ia disebut Fu hu Zun-zhe (Hok Houw Cun Cia - Hokkian) atau Luo Han yang menaklukkan harimau.


3). Jia-nuo-jia-fa-she Zun-zhe atau Kanaka Vatsa.
Luo Han ini mempunyai kekuasaan di suatu tempat di Kashmir. Sesudah menjadi pengikut Buddha, ia rajin belajar dan menjadi orang yang sangat berpengetahuan. Ia mempunyai bawahan sebanyak 500 Arhat. Ia dilukiskan sebagai orang yang berparas luar biasa dan beralis panjang. Secara umum ia disebut Chang-mei Zun-zhe <Tiang Bi Cun Cia - Hokkian) atau orang terhormat yang beralis panjang.


4). Jia-li-jia Zun-zhe atau Kalika.
Juga dikenal sebagai Kala. Ia mempunyai wilayah kekuasaan dibagian Sri Lanka. Dalam legenda ia adalah Raja Kala yang mencapai tingkatan Arhad setelah melalui pengorbanan. Iamempunyai bawahan yangterdiri dari : 1.000 Arhad. Seringkali ia di - tampilkan sedang meditasi atau sedang membersihkan telinga. Sebabitu ia disebut juga Xi-er Zun-zhe atau orang terhormat yang mencuci telinga.


5). Jia-nuo-ba-li-duo Zun-zhe atau Kanaka Baridvaja
Disebut juga Pintoulosuoshe atau Pinkola yang muda. Ia bertugas di wilayah Purva Videha dibantu oleh 600 Arhad bawahan, sering digambarkan beijenggot Di Tiongkok ia disebut juga Fei-zhang Zun-zhe (Hui Tiang Cun Cia - Hokkian ) atau orang suci bertongkat terbang.


6). Fa-na-bo-si Zun-zhe atau Vanavasa.
adalah penguasa pegunungan Gan Zhou, Dia membawahi 1.400 Luo Han sebagai pembantu pembantunya. Ia sering dilukiskan sebagai seorang pertapa yang sedang bersemedi dengan mata tertutup. Ia juga di sebut sebagai Long-po Zunzhe atau ( Lang-poat Cun Cia - Hokkian) atau orang suci yang memainkan kecer, sebab beliau sering ditampilkan dengan membawa kecer.


7). Su-pinduo Zun-zhe atau Subhinda
Luo Han ini biasanya ditampilkan sebagai seorang suci yang terpelajar, dengan mangkok untuk sedekah dan sebuah kitab suci ditangan kirinya. Jari-jari tangan kanannya membentuk "mudra" yang menyatakan bahwa ia akan masuk ke nirwana dalam waktu singkat. Wilayah kekuasaannya berada di negeri Kuru, dengan dibantu 800 Arhad. Secara umum ia disebut sebagai Dao-wu Zun-zhe (To Ngo Cun Cia - Hokkian) yang berarti "orang suci yang menyadari Tao".


8). Nuo-ju-luo Zun-zhe atau Nakula
disebut juga sebagai Puchulo. Ia menguasai wilayah India, mempunyai bawahan sebanyak 800 Arhad yang menjadi pembantu - pembantunya. Ia berhasil melepaskan diri dari kehidupan sesat dan memeluk ajaran Buddha pada usia 120 tahun. Seringkali ditampilkan dengan kedua tangan membuka dadanya, dan dalam rongga itu dada itu terlihat wajah sang Sakyamuni Buddha, sebab itu ia secara umum disebut Kai-xin Zun-zhe (Khay-sim Cun-cia - Hokkian ) yang berarti "orang suci yang membuka hati".


9). Fa-she-luo-fu-duo-luo Zun-zhe atau Vajra Putra.
Wilayah kekuasaannya ada di Parnadvipa dan dibantu oleh 1.100 Arhad. Secara umum ia disebut
sebagai Duo-li Zun-zhe atau (To Li Cun Cia-Hokkian) atau "orang suci yang memberikan keuntungan berlimpah".


10). Ba-tuo-jia Zun-zhe atau Pantoka, Pantha
Namanya ini berarti "melanjutkan jalan dan penyebaran agama Buddha". Pos-nya berada di sorga Troyastrimsat, dengan dibantu oleh 1.300 Arhad bawahan. Menurut legenda ia dilahirkan pada saat ibunya sedang dalam peijalanan. Ia bertemu dengan Buddha mengikuti pelajarannya, sampai akhirnya mencapai nirwana. Ia mempunyai kesaktian antara lain dapat menembus benda - benda padat dan pergi tanpa meninggalkan bekas. Secara umum disebut Bai-na Zun-zhe (Pek Lap Cun Cia- Hokkian).


11). Shu-bo-jia Zun-zhe atau Gobaka
Kedudukannya ada di pegunungan Gandhamadana. Arhad pembantunya terdiri dari 900 orang. Sering ditampilkan dalam keadaan semedi, dengan tangannya memegang kipas, Dalam bahasa Tionghoa ia sering disebut sebagai Jin-xiang Zun-zhe atau (Cin Hio Cun Cia - Hokkian) yang berarti : "Orang suci yang mempersembahkan dupa".


12). Na-jia-xi-na Zun-zhe atau Nagasina
Ia diberi kekuasaan di gunung Pandhava, wilayah Inagadha, dengan dibantu oleh 1.200 Arhad. Luo Han yang satu ini terkenal suka humor tapi cerdik. Ia seorang penceramah dan guru yang ulung dalam hal ajaran - ajaran Buddha. Nagasina sering disebut sebagai Jin-deng Zun-zhe (Cin Teng Cun Cia - Hokkian) yang berarti "orang suci yang membawa penerangan".


13). Luo-hu-luo Zun-zhe atau Rahula
Ia adalah seorang murid Buddha yang sangat rajin dan sangai. taat akan hukum - hukum Buddhisme, setelah menyadari bahwa dia hidupnya penuh kesesatan.Orang - orang percaya bahwa dia akhirnya akan kembali ke dunia sebagai putra Buddha. Sekarang ini ia bertanggungjawab atas suatu daerah yang penuh keharuman tanaman - tanaman obat, dengan dibantu oleh 1.000 Arhad pembantu. Ia biasanya ditampilkan dengan wajah luar biasa, kepala berbentuk kubah dan halis yang tebal. Secara umura ia disebut sebagai Xi-she Zun-zhe (Hi Say Cun Cia - Hokkian), sebab ia sering digambarkan dengan mempermainkan seekor singa kecil dilangannya.


14). A-she-duo Zun-zhe atau Ajita
Ajita dianggap sebagai reinkarnasi dari Maitreya (Mi-le-fo). Ia selalu digambarkan sebagai seorang pendeta yang menggendong kantong besar yang diikatkan dipunggungnya. Di dalam kantong itu terdapat banyak perampok dan Mencuri serta pembuat dosa yang lain. Menurut legenda ia hidup pada kira - kira abad ke-6 Masehi. Di Tiongkok, Luo Han ini terkenal sebagai Bu-dai Zun-zhe (Poh Tay Cun Cia - Hokkian) atau "orang suci dengan kantong dari kain".


15). Yin-he-duo Zun-zhe atau Angida.
Ia menguasai sebuah pegunungan yang disebut Guang-xie, dibantu dengan 1.300 Arhad sebagai bawahannya.Dalam patung ia sering diwujudkan sebagai seorang pendeta tua yang membawa tongkat kayu dan kitab suci. Di Tiongkok ia sering disebut sebagai Jin-hua Zun-zhe (Cin Hoa Cun Cia - Hokkian) atau "orang suci yang mempersembahkan bunga".


16). Zhu-tu-ban-duo-jia atau Pantha, Choto Panthaka
Pada waktu muda ia bebal dan sulit untuk mencerna pelajaran. Tapi dengan bantuan Sakyamuni ia menjadi rajin dan cerdas sekali. Akhirnya ia mencapai tingkatan Arhad dan masuk nirwana. Karena punya kesaktian untuk terbang, ia ditunjuk sebagai penguasa pegunungan, Ishidara dengan dibantu oleh 1.600 Arhad bawahan. Ia adalah adik kandung Pantha atau Panthoka, merupakan salah satu murid kesayangan Buddha. Ia digambarkan sebagai seorang tua yang bersandar dibatang pohon tua memegang kipas sambil mengajar Dharma. Dalam kalangan Tionghoa ia disebut juga Jin guo Zun-zhe (Cin Ko Cun Cia - Hokkian) atau "orang suci yang mempersembahkan buah".

Setelah masuk ke Tiongkok, dari ke - 16 Arhad, ini Ym-he duo digantikan oleh Boddhidharma pendiri aliran Chan (Zen Buddhisme) yang dalam bahasa Tionghoa disebut Da Mo Zu Shi (Tat Mo Couw Su - Hokkian) di tambah dengan dua tokoh lagi yaitu seorang kaisar yang hidup pada jaman dinasti Liang, Liang Wu Di (Liang Bu Te - Hokkian) yang memerintah dari tahun 502 - 549 Masehi, dan seorang pendeta jaman Tang bernama Zhi Kuan.

Kaisar Liang Wu Di giat sekali memajukan Buddhisme dan berusaha menghayati ajaran - ajarannya. Ia rajin sembahyang ke kelenteng - kelenteng dan menelaah kitab - kitab suci dan membuat pembahasannya. Dia berusaha menerapkan ajaran Sakyamuni dalam hidupnya. Sebab itu ia enggan membunuh mahluk hidup, dan melarang orang untuk membunuh semua barang yang berjiwa untuk sesajian. Bahkan orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilanpun dibebaskan dengan cucuran air matanya. Seperti Raja Acoka dari India, ia pun menjadi paderi. Sifatnya yang penyayang ini mengakibatkan ia mengabaikan pertahanan negeri. Seorang jenderal dari utara, IIou Qing, menyerbu ke kota raja dan menangkapnya. Kaisar ini meninggal dunia dalam tahanan para musuhnya. Pada masa pemerintahan Liang Wu Di inilah, Boddhidharma datang ke Tiongkok

Tentang Zhi Kuan, tidak banyak yang kita ketahui. Hanya ia adalah seorang pendeta yang pernah berbuat banyak bagi masyarakat. Ia berbuat antara lain dengan mengusir Han - ba, mahluk halus yang menjadi penyebab bencana kekeringan, demikian menurut legenda. Zhi Kuan secara umum sering disebut Zhi Gong.

Mengenai tambahan dua orang Arhad ini, memang ada banyak versi. Kecuali versi di atas, ada juga versi yang memasukkan Nandimitra dan Pindola yang muda, sebagai Arhad tambahan. Ji Gong (Ce Kong - Hokkian), itu pendeta jenaka yang berwatak eksentrik tapi ringan tangan dan suka menolong sesama orang, juga tercatat menjadi salah satu dari 18 Luo Han (tentang Ji Gong ini, lihat bab tentang Ji Gong Huo Fo).

Kamis, 09 Agustus 2012

Asal Usul Kipas Bulu Angsa Zhuge Liang


Zhuge Liang adalah ahli strategi militer dari negara Han pada zaman Tiga Negara (220-280 A.D.). Dia adalah ahli strategi yang paling cerdik dan terkenal dalam sejarah Tiongkok. Dia acapkali dilukiskan sedang memakai sebuah jubah dan memegang kipas yang terbuat dari bulu burung bangau. Ketika Zhuge Liang berumur 9 tahun, dia masih tidak dapat berbicara. Keluarganya sangat miskin. Ayahnya menyuruh dia menggembalakan domba di dekat sebuah bukit di sebuah gunung. Di atas gunung ada sebuah kuil Pendeta Tao dimana tinggal seorang Pendeta Tao tua dengan kepala penuh dengan uban. Setiap hari Pendeta Tao tersebut berjalan-jalan santai di luar kuil. Ketika ia berjumpa Zhuge Liang, dia mencoba berkomunikasi dengan anak laki-laki tersebut dengan menggunakan isyarat tangan. Zhuge Liang juga senang berkomunikasi dengan Pendeta Tao tersebut dengan isyarat tangan. Pendeta Tao itu menjadi sangat menyayangi Zhuge Liang yang pintar dan menawan itu. Dia mulai mengobati masalah kebisuan anak laki-laki itu. Tidak lama kemudian Zhuge Liang bisa berbicara!
     
     Zhuge Liang sangat gembira ketika akhirnya dia bisa bicara. Dia pergi mendaki menuju ke kuil Pendeta Tao tersebut untuk mengucapkan terima kasih. Pendeta Tao tersebut memberitahukannya, Ketika kau pulang ke rumah, katakan pada orang tuamu bahwa saya mengangkatmu sebagai murid dan saya akan mengajari kamu membaca. Saya juga akan mengajarimu seni astronomi, geografi dan menerapkan teori Ying dan Yang di dalam strategi militer. Jika orang tuamu setuju, kamu harus hadir di sekolah setiap hari dan kamu tidak boleh membolos!
Sejak saat itu, Zhuge Liang menjadi murid Pendeta Tao tua tersebut. Hujan atau terang, Zhuge Liang akan mendaki gunung untuk menerima pelajarannya. Dia adalah seorang anak yang sangat pintar dan rajin yang sangat serius dalam pelajarannya. Dia juga mempunyai daya ingat yang sangat tajam. Pendeta Tao tersebut tidak pernah harus mengajari segala sesuatunya sampai dua kali. Dengan sendirinya Pendeta Tao tersebut menjadi semakin menyayanginya.
Delapan tahun berlalu dengan cepatnya dan Zhuge Liang menjadi seorang remaja. Suatu hari ketika Zhuge Liang seperti biasanya turun gunung, dia melewati sebuah biara yang telah ditinggalkan, terletak di tengah-tengah gunung. Tiba-tiba datang hembusan angin yang sangat kuat, diikuti dengan badai petir. Zhuge Liang tiada pilihan lain selain berlari masuk ke biara yang telah ditinggalkan itu untuk menghindari badai. Di sana ada seorang wanita muda yang belum pernah dijumpai keluar untuk bertemu dengannya. Dia memiliki sepasang mata yang besar dan alis yang tipis. Dia begitu cantiknya sampai-sampai Zhuge Liang hampir salah mengiranya adalah seorang dewi. Dia segera tertarik dengan wanita muda tersebut. Ketika badai berhenti, wanita cantik itu menemui dia di depan pintu dan berkata padanya dengan tersenyum, Karena sekarang kita sudah saling berjumpa. Kamu bebas untuk mampir dan menikmati secangkir teh kapanpun kau ingin beristirahat dalam perjalananmu turun atau naik ke gunung. Begitu Zhuge Liang berjalan keluar dari biara itu, dia merasa curiga. Mengapa saya tidak mengetahui ada orang yang tinggal di biara ini sebelumnya pikirnya.

     Sejak hari itu, Zhuge Liang mulai sering mengunjungi biara tersebut. Setiap kali wanita cantik itu selalu menghiburnya dengan ramah tamah. Dia memasak makanan yang enak untuknya dan selalu membujuknya untuk tinggal lebih lama. Setelah makan malam mereka selalu berbincang-bincang dengan seru dan bermain catur. Dibandingkan dengan kuil Pendeta Tao, biara tersebut bagaikan surga. Selalu memikirkan wanita itu mengalihkan perhatiannya dari pendidikannya dan dia mulai kehilangan semangat untuk belajar. Dia semakin lama semakin kurang perhatiannya terhadap ajaran dari Pendeta Tao. Dia juga menjadi pelupa dan mengalami kesulitan dalam mempelajari buku pelajaran baru.
Pendeta Tao tua itu menemukan masalahnya. Suatu hari dia memanggil Zhuge Liang dan menarik napas panjang. Lebih mudah menghancurkan sebuah pohon daripada menanam sebuah pohon ujarnya.Saya telah menyia-nyiakan banyak tahun untuk kamu Zhuge Liang menundukan kepalanya karena malu dan berkata, Guru, saya tidak akan mengecewakan anda lagi atau menyia-nyiakan ajaran anda! Saya tidak mempercaimu,kata Pendeta Tao tua. Saya tahu kamu adalah seorang anak yang sangat cerdas, karena itu saya ingin mengobati penyakitmu dan memberimu sebuah pendidikan yang layak. Delapan tahun terakhir ini kamu telah sangat dalam pendidikanmu, jadi saya berpikir bahwa kerja keras untuk mendidikmu adalah pantas. Tetapi sekarang kamu melalaikan pendidikanmu. Bagaimanapun pandainya kamu, kamu tidak dapat kemana-mana jika kamu terus-menerus seperti ini! Sekarang kamu berjanji padaku untuk tidak akan pernah lagi mengecewakan aku. Bagaimana saya dapat mempercayai kata-katamu?

     Pendeta Tao tua melanjutkan, Semua ada penyebabnya.Kemudian dia menunjuk ke sebatang pohon yang terbungkus oleh banyak tumbuhan merambat yang tebal di halaman. Lihat pohon itu,katanya. Mengapa kamu pikir pohon itu setengah hidup dan sedang berjuang dalam setiap pertumbuhannya? Tanaman merambat yang melilit pohon menghalangi pertumbuhannya!jawab Zhuge Liang.Tepat sekali! Pohon ini mengalami kesulitan untuk tumbuh di gunung cadas dengan tanah yang sedikit ini. Tetapi dia tetap tumbuh karena dia teguh untuk mengembangkan akar dan cabangnya. Dia tidak takut udara panas maupun dingin. Tetapi, ketika tanaman merambat membungkusnya, dia tidak dapat tumbuh lebih tinggi lagi. Lucukan bagaimana tanaman merambat yang lembut itu bisa mengalahkan pohon yang tinggi dan tegap itu!

     Zhuge Liang sangat pintar, jadi dia segera memahami apa yang dimaksud oleh Gurunya. Dia bertanya, Guru, anda mengetahui kunjungan saya ke biara itu. Pendeta Tao tua berkata, Hidup di dekat air, seseorang akan mempelajari sifat alami ikan. Hidup di gunung, seseorang akan mempelajari bahasa burung. Saya telah mengamati kamu dan tingkah lakumu. Bagaimana mungkin hubungan asmaramu luput dari perhatianku?

     Dia berhenti sebentar sebelum memberitahukan muridnya dengan tatapan yang serius, Biar kuberitahu kamu kebenaran mengenai wanita cantik itu. Dia bukan manusia. Dia adalah burung bangau dewa di surga. Dia telah diusir keluar dari istana langit sebagai hukuman karena telah mencuri dan memakan buah persik Ratu Langit. Dia datang ke dunia manusia dan menjelma menjadi seorang wanita cantik. Dia adalah bangau dewa yang telah rusak moralnya yang tahunya hanya mencari kesenangan. Kamu telah terpedaya oleh penampilannya, kamu telah menyia-nyiakan tidak hanya waktumu saja. Jika kamu membiarkan dirimu kehilangan kemauanmu, kamu akan kehilangan segalanya! Selain itu, jika kamu tidak menuruti kehendaknya, akhirnya dia akan menyakitimu.  Sampai waktu itu Zhuge Liang baru menyadari keseriusan dari petualangannya. Dengan cemas dia meminta gurunya cara mengatasinya.

     Pendeta Tao tua berkata, Bangau dewa tersebut mempunyai kebiasaan pada tengah malam menjelma kembali ke bentuk semulanya dan terbang ke sungai langit untuk mandi. Ketika dia menjauhi biara, kamu harus masuk ke kamarnya dan bakar jubahnya. Dia mencuri jubah tersebut dari Istana Langit. Tanpa jubah, dia tidak akan dapat menjelma menjadi seorang wanita cantik. Zhuge Liang berjanji untuk mengikuti instruksi Gurunya. Sebelum ia pergi, Gurunya memberikan sebuah Pedang kayu dengan ukiran kepala naga di ujung atasnya. Dia memberitahu Zhuge Liang, Ketika bangau dewa tersebut mengetahui kebakaran di dalam biara, dia akan segera terbang kembali dari sungai langit. Dia akan menyadari bahwa kamu telah membakar jubahnya dan akan menyerang kamu. Ketika itu terjadi, kau harus memukulnya dengan pedang kayu ini! Sangatlah penting untuk kau ingat dan mengerjakan apa yang telah aku beritahukan kepadamu!

     Tengah malam, diam-diam Zhuge Liang pergi ke biara tersebut. Dia membuka kamar wanita itu dan menemukan jubahnya di atas ranjang. Dia segera membakar jubah tersebut. Ketika bangau dewa sedang mandi di sungai langit, tiba-tiba dia merasa jantungnya sakit. Dia melihat ke arah biara dan melihat api. Dia segera terbang ke bawah dan melihat Zhuge Liang telah membakar jubahnya. Dia menghampiri Zhuge Liang dan berusaha menyerang matanya dengan paruh. Zhuge Liang mempunyai reflek yang cepat. Dia mengangkat pedang kayunya dan memukul jatuh bangau dewa. Kemudian dia menangkap ekor bangau itu. Bangau dewa itu memberontak dan berhasil meloloskan diri, tetapi dia kehilangan bulu ekornya pada Zhuge Liang.Dia menjadi seekor bangau dengan ekor botak. Dia menjadi malu dengan penampilannya, sehingga dia berhenti mandi di sungai langit. Dia juga tidak berani memasuki Istana Langit untuk mencuri jubah lagi, jadi dia tidak punya pilihan lain selain tetap tinggal di dunia manusia selamanya dan hidup diantara bangau biasa. Untuk mengingatkan dirinya sendiri akan pelajaran ini, Zhuge Liang menyimpan bulu ekor bangau itu. Sejak hari itu, Zhuge Liang menjadi semakin rajin. Dia akan menghafal semua yang diajarkan oleh Gurunya dan semua buku pelajaran. Dia benar-benar menyerap apa yang telah dipelajarinya dan dapat menerapkannya dengan mudah. Setahun telah lewat. Tepat pada hari ia membakar jubah bangau dewa setahun yang lalu, pendeta Tao tua memberitahukannya dengan sebuah senyuman lebar, Muridku, kau telah belajar dibawah pengawasanku selama sembilan tahun. Saya telah mengajarimu semua yang harus kau pelajari dan kamu telah mempelajari semua buku pelajaran di sini. Ada sebuah pepatah, Guru membawamu ke pintu masuk, dan terserah padamu untuk berlatih kultivasi.Sekarang kamu berusia 18 tahun. Sudah saatnya kamu meninggalkan rumah dan mengembangkan karirmu!

     Ketika Zhuge Liang mendengar bahwa ia telah menyelesaikan pendidikannya, dia memohon gurunya untuk mengajarinya lagi. Guru! Semakin banyak saya belajar, saya merasa semakin rendah hati. Saya merasa masih banyak yang harus saya pelajari dari anda!
Pendidikan sejati berasal dari kehidupan nyata. Kau harus belajar menerapkan pengetahuanmu didalam kehidupan dan merancang pemecahan yang berbeda untuk situasi yang berbeda! Sebagi contoh, kau telah belajar sebuah pelajaran yang penting dari kunjunganmu dengan bangau dewa bahwa seseorang tidak seharusnya tergoda oleh nafsu atau perasaan. Ini adalah pelajaran berguna yang diperoleh dari pengalaman nyata. Dengan hal itu didalam pikiran, kamu tidak akan dibuat binggung oleh permukaan maya dari dunia ini. Berhati-hatilah dalam setiap tindakanmu. Kamu harus melihat segalanya dalam bentuk sejatinya. Ini adalah nasihat perpisahan saya kepadamu! Saya akan meninggalkanmu hari ini.Guru, kemana Anda akan pergi?dengan heran Zhuge Liang bertanya,dimana saya dapat menemuimu atau mengunjungimu di kemudian hari? Saya akan keliling dunia dan tidak akan menetap lagi.

     Tiba-tiba Zhuge Liang merasakan air mata yang hangat menetes dari matanya. Dia berkata, Guru! Sebelum anda pergi, anda harus memberikan aku kesempatan untuk bersujud kepada anda dan berterima kasih kepada anda atas pendidikan yang anda berikan padaku! Kemudian  Zhuge Liang bersujud kepada Gurunya. Ketika dia berdiri, Pendeta Tao tersebut telah menghilang. Pendeta Tao itu meninggalkannya sebuah jubah dengan gambar patkwa. Zhuge Liang sering memikirkan Gurunya; karena itu, ia sering memakai jubah dengan gambar patkwa sebab memberikannya perasaan bahwa Gurunya berada di sampingnya. Zhuge Liang tidak pernah lupa nasihat Gurunya, terutama nasihat perpisahannya. Dia membuat kipas dari bulu ekor bangau dewa untuk mengingatkan dirinya sendiri untuk sangat berhati-hati seumur hidupnya. Ini adalah cerita dibalik kipas bulu terkenal yang dibawa oleh Zhuge Liang.

Kisah CHI KUNG

Ji Gong dilahirkan dengan nama Li Xiuyuan yang merupakan anak dari Li Maochun. Li Maochun adalah seorang penasehat militer yang sangat dermawan. Hanya saja sejak menikah sampai mencapai usia setengah baya, Li Maochun belum dikaruniai seorang anak. Hal itu membuat para kenalan Li Maochun meragukan kebaikan hatinya. Istri dari Li Maochun adalah seorang yang baik hati dan taat dengan ajaran agama, menyarankan agar Li Maochun untuk menikah lagi. Tapi Li Maochun menolaknya karena merasa istrinya masih muda dan bisa memberikan keturunan. Karena ingin dikaruniai anak, maka suami istri ini merencanakan berangkat ke suatu vihara agar dikaruniai seorang anak. Bahkan sebelum berangkat sang istri sempat cia cai (vegetarian). Pada saat berdoa di ruang Lohan di vihara tersebut, salah satu patung lohan yang ada seakan2 turun ke lantai. Saat melihat hal tersebut kepala vihara menyampaikan selamat kepada Li Maochun karena akan di karuniai anak.

Tak lama kemudian Li Maochun dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Li Xiuyuan. Tak lama Li Xiuyuan lahir, Li Maochun meninggal. Sejak saat itu Li Xiuyuan diasuh oleh ibunya yang tetap setia kepada Li Maochun. Saking setianya ibu Li Xiuyuan, mencatat segala sesuatu yang dikerjakannya setiap hari dan membakarnya agar suaminya (Li Maochun) tahu apa saja yang dia kerjakan. Li Xiuyuan tumbuh menjadi anak yang pintar, bahkan sangat pintar. Saat berusia 7 tahun, Li Xiuyuan sudah dapat menghapal kitab suci dan bahkan mengalahkan teman belajarnya yang lebih tua. Saat berusia sekitar 15 tahun, ibunya meninggal dunia. Saat itu Li Xiuyuan yang sangat sedih makin giat belajar agama Buddha. Paman dari Li Xiuyuan merasa khawatir karena Li Xiuyuan selalu membaca kitab suci agama Buddha. Setelah beberapa lama, saat itu sang paman merasa Li Xiuyuan sudah cukup umur untuk menikah, maka hal ini dibicarakan dengan Li Xiuyuan. Li Xiuyuan menolaknya, tapi sang paman tetap mendesak dan akhirnya memilihkan jodoh untuknya. Saat akan menikah, Li Xiuyuan pergi dari rumah karena ingin mempelajari agama Buddha lebih mendalam dan menjadi Bhikkhu.

Setelah berjalan jauh, tibalah Li Xiuyuan di vihara Ling Yin. Setelah menceritakan kepada Bhikkhu Kepala maksudnya untuk menjadi seorang Bhikkhu, Li Xiuyuan jatuh pingsan karena kelaparan. Bhikkhu kepala yang mengetahui jati diri Li Xiuyuan adalah titisan Lohan Penakluk Naga bertubuh emas , maka sang Bhikkhu kepala mengetok dahi Li Xiuyuan sebanyak tiga kali. Li Xiuyuan tiba2 sadar dan mengetahui siapa dirinya.

Setelah menjadi Bhikkhu, Li Xiuyuan sering menganggu bhikkhu lain yang kurang melatih diri. Sering kali Li Xiuyuan mencuri jubah bhikkhu yang kurang taat dan mengadaikannya untuk membeli arak atau daging. wakil Bhikkhu kepala yang gila hormat juga jadi salah satu korbannya, dimana jubah dari Wakil Bhikkhu kepala ini digadaikan oleh Li Xiuyuan. Sang wakil sempat mengadukannya kepada Bhikkhu kepala, tapi Bhikkhu kepala mengabaikan laporan tersebut dan meminta buktinya. Oleh karena itu, Wakil Bhikkhu Kepala itu menyuruh 2 orang bhikkhu untuk mengawasi Li Xiuyuan untuk menangkap basah perbuatan Li Xiuyuan. Suatu siang, Li Xiuyuan memasuki perpustakaan untuk tidur, saat akan tidur, tiba2 Li Xiuyuan bangun dan melakukan sesuatu sehingga perutnya menjadi gendut.

Melihat hal ini, salah seorang dari bhikkhu pengawas memberitahu wakil kepala, yang kemudian mengajak Bhikkhu kepala untuk menangkap basah Li Xiuyuan. Saat itu sang Bhikkhu kepala merasa menyesal atas tindakan Li Xiuyuan karena beliau tidak bisa lagi melindunginya. Tibalah sang Bhikkhu kepala dan wakilnya serta para bhikkhu pengawas Li Xiuyuan di ruang perpustakaan. Sang Bikkhu kepala membangunkan Li Xiuyuan dan bertanya apakah Li Xiuyuan mencuri sesuatu. Li Xiuyuan menjawab dia tidak mencuri sesuatu. Sang wakil yang sudah merasa tidak suka, langsung menuduh dengan mengatakan apa yang ada di balik jubahnya. Kemudian Li Xiuyuan menjawab bukan apa2 dan membuka jubahnya, alhasil bukannya barang curian yang keluar melainkan debu dan sampah2. Pada saat itu Li Xiuyuan berkata, “saat ingin tidur, saya melihat ruangan ini sangat kotor, jadi saya membersihkannya”. Tapi karena tidak ada tempat sampah untuk sementara debu dan sampah2 tersebut dimasukkan kedalam jubahnya. Saat itu Bhikkhu kepala sangat senang dan malah menegur sang wakil untuk lebih bijaksana dan menyuruh Bhikkhu lain untuk membersihkan debu dan sampah tersebut. Setelah kejadian ini Li Xiuyuan lebih sering berada di luar vihara dan lebih dikenal sebagai Ji Gong.

Chi Kung dikenal sebagai Bhikkhu yang gemar makan daging dan minum arak. Selain itu, tindak tanduknya yang suka seenaknya sendiri menyebabkan Chi Kung dikenal sebagai Bhikkhu gila/Sinting.
Karena sering menolong orang, dan orang-orang yang ditolongnya semakin banyak, akhirnya Chi Kung mendapat julukan Chi Kung Hok Hud yang berarti Buddha Hidup Chi Kung.

27 Nasihat Suci Buddha Chi Kung
  1. Seluruh kehidupan telah diatur oleh penguasa. Apalah yang mau dimohon?
  2. Hari ini tidak tahu masalah esok. Apalah yang mau di kuatirkan?
  3. Kalaulah tidak menghormati orang tua, lalu mengormati junjungan dunia. Apalah arti penghormatan itu?
  4. Kakak adik adalah bersaudara. Apalah yang perlu diperebutkan?
  5. Anak cucu punya rezeki masing-masing. Apalah yang perlu diperebutkan?
  6. Kalau belum mendapat keberuntungan. Apalah yang perlu dipaksakan?
  7. Didunia ini sulit menemukan kebahagiaan. Mengapa harus sedih?
  8. Berpakaianlah yang sederhana dan sopan. Apalah yang mau dipamerkan?
  9. Bagaimana lezatnya makanan, hanyalah sebatas lidah. Mengapa harus rakus?
  10. Setelah meninggal tidak sesen pun yang dibawa. Mengapa harus pelit?
  11. Senior meluku, junior memetik. Apalah yang mau diperebutkan?
  12. Disatu sisi mendapatkan, disisi lain kehilangan. Mengapa harus serakah?
  13. Tiga jengkal diatas kepala ada dewa. Mengapa harus mengelabui?
  14. Kedudukan, kekayaan, kemuliaan bagaikan mekarnya bunga. Apalah yang mau diangkuhkan?
  15. Kekayaan dan kemuliaan orang telah dirintis sebelumnya. Mengapa harus iri?
  16. Kehidupan lalu tidak membina, sekarang menderita. Mengapa harus mengeluh?
  17. Orang berjudi tidak akan ada hasil yang baik. Apalah yang mau dipermainkan?
  18. Membina rumah tangga dengan rajin dan hemat melebihi memohon bantuan orang lain. Apalah yang mau diboroskan?
  19. Kalau saling membalas dendam, kapanlah akan berakhir. Mengapa harus bermusuhan?
  20. Masalah dunia bagaikan bermain catur. Apalah yang mau diperhitungkan?
  21. Orang pintar adakalanya disesatkan oleh kepintarannya? Mengapa harus licik?
  22. Berdusta akan mengikis habis rejeki seumur hidup. Mengapa harus berdusta?
  23. Segala kesalahpahaman akhirnya akan jernih juga. Apalah yang mau diperdebatkan?
  24. Tiada seorangpun juga yang bebas dari masalah. Mengapa harus menyalahkan?
  25. Goa nurani didalam hati manusia, bukan digunung. Apalah yang mau dicari?
  26. Menipu orang adalah petaka, memaklumi orang adalah berkah. Apalah yang mau diramalkan?
  27. Sekali ajal menjemput segala akan berakhir. Apalah yang terus disibukkan?
"Bagi siapa yg memperbanyak dan ikut menyebarkan ajaran welas kasih Buddha Chi Kung ini akan mendapatkan pahala yg tak terhingga"

http://octafiani-opal.blogspot.com/2011/07/ji-gong-dilahirkan-dengan-nama-li.html?spref=fb

Zhang Sam Fong



Cerita legendaris Zhang San Fong sangat banyak, meskipun penuh keajaiban, bagaimanapun juga ini telah membuktikan bahwa Beliau memang pernah hidup di Tiongkok, dan sangat populer pada masa dinasty Ming.

Ada cerita bahwa Zhang San Fong pernah hidup kembali setelah meninggal. Catatannya begini: Ketika Zhang San Fong menyebarkan ajaran Agama TAO di BAO CI CIN DAI KUAN, pernah mengatakan bahwa bebera
pa hari kemudian beliau akan meninggal, nah pas pada hari tsb, beliau meninggal, maka para muridnya memasukkan jasadnya kedalam peti dan diadakan upacara ritual,...... Ketika sampai pada hari akan dikubur, para muridnya mendengar ada suara dari dalam peti, setelah petinya dibuka, ternyata Zhang San Fong telah hidup kembali.

Setelah itu keberadaan Zhang San Fong sulit diketahui orang, karena beliau telah melakukan perjalanan kemana-mana menikmati keindahan dan keagungan alam semesta sambil menyebarkan Agama TAO dan Ilmu silat Dai Chi Juan kepada orang yang mempunyai kejodohan dengan kehadiran beliau saja, pihak kerajaan beberapa kali melakukan pencarian tapi tetap tidak bisa menemukannya. Ketika beliau nyepi di gunung Butong pernah meramal bahwa: Gunung ini akan sangat ramai kelak. Dan memang pada tahun 1412 (Yong Lok), Raja Ming Jen Cu memerintahkan untuk membangun banyak kelenteng, Tao Kuan dan bangunan2 lainnya, dan gunung Butong menjadi sangat terkenal dan ramai sampai sekarang.

Dalam Agama TAO, Zhang San Fong termasuk tokoh yang menekankan pentingnya 'ilmu Kedewaannya' (Berusaha jadi Dewa), beliau menulis banyak buku2 TAO misalnya: Zien Ci Chek Chiang; Zien Yiau Bien dll. Menurut Hwang Sik Ling (Dinasty Qing) dan Luk Shi Shing (Dinasty Ming) mengatakan bahwa Zhang San Fong merupakan pewaris Zhang Thien Zhe, jadi kalau dirunut guru2nya maka bisa diketahui bahwa guru2 beliau adalah: Huo Long (Tuan Naga Api)> Zhi Yi > Ma Yi (Tuan Berbaju Jerami) > Wen Zhe (Tuan Yi Shi) dan sampai ke LAO CE. Begitu terkenalnya Zhang San Fong ini, sampai2 beberapa raja Dinasty Ming yang berusaha mendapatkan obat awet muda, berusaha mencari beliau dengan memberikan gelar2 'Dong Wei Shien Hua Cen Ren';'Qing Shi Yen Miao Cen Cin' dsb banyak sekali, namun Zhang San Fong tetap tidak bergeming dengan rayuan keduniawian yang wah itu. Beliau tetap memilih berkelana bagaikan Dewata.

- Zhang San Fong merupakan pendiri Butongpay, beliau menurunkan ilmu pengobatan dan ilmu silatnya kepada para murid2nya, serta mengajarkan Agama TAO kepada para pengikutnya, karena itu murid2 Butongpay juga disebut sebagai TAO ZHE. Zhang San Fong juga merupakan pencipta Dai Chi Juen (Chung Hua Wu Shuk) yang telah mengharumkan nama Tiongkok. Menurut Ahli Dai Chi Juen (Go Che Qing), semua aliran2 Dai Chi Juen adalah berasal dari Zhang San Fong. Sedang Wang Yi Yang mengatakan: dari aliran2 Kung Fu yang ada, maka dapat dibagi: Sao Lim sebagai aliran Wai Chia / Tenaga Luar / Keras, sedangkan Butong Zhang San Fong sebagai aliran Nei Chia / Tenaga Dalam /Lembut. Ini membuktikan bahwa Zhang San Fong sangat berjasa dalam mengembangkan Ilmu Silat Asli Tiongkok.(Jadi nggak pake meniru-niru lho!) ....... he... he...he

Senin, 06 Agustus 2012

Silsilah Buddhis

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=12350.0
Silsilah Chan (Zen)
Dari Denkoroku, Baolin chuan, Jingde Chuandeng Lu, dan Wudeng Huiyuan:
Śākyamuni Buddha, 1. Mahakashyapa, 2. Ananda, 3. Madhyantika, 4. Sanavasa, 5. Upagupta, 6. Dhritaka, 7. Micchaka, 8. Buddhanandi, 9. Buddhamitra, 10. Bhikshu Parshva, 11. Punyayasas, 12. Asvaghosha, 13. Bhikshu Kapimala, 14. Nagarjuna, 15. Kanadeva, 16. Arya Rahulata, 17. Samghanandi, 18. Samghayasas (Gayashata), 19. Kumarata, 20. Jayata, 21. Vasubandhu, 22. Manura (Manorhita), 23. Haklenayasas, 24. Bhikshu Simha, 25. Vasasita (Basiasita), 26. Punyamitra, 27. Prajnatara, 28. Bodhidharma, 29. Dazu Huike, 30. Jianzhi Sengcan, 31. Dayi Daoxin, 32. Daman Hongren, 33. Dajian Huineng, 34. Nanyue Huairang dan Qingyuan Xingsi

Silsilah Nanyue Huairang - Linji
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Baizhang Huaihai, 3. Huangbo Xiyun, 4. Linji Yixuan

Silsilah Nanyue Huairang – Guiyang
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Baizhang Huaihai, 3. Guishan Lingyu

Silsilah Nanyue Huairang – Puhua
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Panshan Baoji, 3. Puhua 

Silsilah Qingyuan Xingsi – Caodong
Qingyuan Xingsi, 1. Shitou Xiqian, 2. Yunyan Tansheng, 3. Dongshan Liangjie, 4. Caoshan Benji

Silsilah Qingyuan Xingsi – Yunmen
Qingyuan Xingsi, 1. Shitou Xiqian, 2. Yaoshan Weiyen, 3. Tianhuang Daowu, 4. Longtan Chongxin, 5. Deshan Xuanjian, 6. Xuefeng Yicun, 7. Yunmen Wenyan

Silsilah Qingyuan Xingsi - Fayen
Qingyuan Xingsi, 1. Shitou Xiqian, 2. Yaoshan Weiyen, 3. Tianhuang Daowu, 4. Longtan Chongxin, 5. Deshan Xuanjian, 6. Xuefeng Yicun, 7. Changqing Huileng, 8. Xuansha Shibei, 9. Fayan Wenyi

Silsilah Rinzai Jepang
Linji Yixuan, 1. Xinghua Cunjiang, 2. Nanyuan Huiyong, 3. Fengxue Yanzhao, 4. Shoushan Shengnian, 5. Shishuang Qingzhu, 6. Yangzhi Fanghui, 7. Baiyun Shouduan, 8. Wuzu Fayan, 9. Yuanwu Keqin, 10. Huqiu Shaolong, 11. Yingan Tanhua, 12. Mian Xianjie, 13. Songyuan Chongyue, 14. Yunan Puyan, 15. Xutang Zhiyu, 16. Shomyo (Daio Kokushi)

Silsilah Soto Jepang

Dongshan Liangjie, 1. Yunju Daoying, 2. Tongan Daopi, 3. Tongan Guanzhi, Liangshan Yuanguan, 4. Dayang Jixuan, 5. Touzi Yiqing, 6. Furong Daokai, 7. Danxia Zichun, 8. Zhenxie Qingliao, 9. Tiantong Zongjue, 10. Xuedou Zhijian, 11. Tiantong Rujing, 12. Eihei Dogen

Silsilah Seon Korea

I. Silsilah Gunung Huiyang

Bodhidharma, 1. Dazu Huike, 2. Jianzhi Sengcan, 3. Dayi Daoxin, 4 Beomnang (Pomnang), 5. Shinaeng
II. Silsilah Gunung Gaji
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Xitang Zhizang, 3. Toui (Jilin Daoyi), 4. Chejing
III. Silsilah Gunung Seongju
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Magu Baozhe, 2. Muyeom
IV. Silsilah Gunung Silsang
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Xitang Zhizang, 3. Hongcheok (Hongshe)
V. Silsilah Gunung Dongni
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Xitang Zhizang, 3. Hyejeol
VI. Silsilah Gunung Bongnim
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Zhangjing Huaihui, 3. Weongnam
VII. Silsilah Gunung Sagul
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Yanguan Qian, 3. Beomil
Qingyuan Xingsi, 1. Shitou Xiqian, 2. Yaoshan Weiyan, 3. Beomil
VIII. Silsilah Gunung Saja
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Nanquan Puyuan, 3. Doyun
IX. Silsilah Gunung Sumi
Qingyuan Xingsi, 1. Shitou Xiqian, 2. Yunyan Tansheng, 3. Dongshan Liangjie, 4. Yunju Daoying, 5. Ieom

Silsilah Thien Vietnam
I. Dharmadeva, 1. Thich Hue Thang
II. Bodhidharma, 1. Dazu Huike, 2. Jianzhi Sengcan, 3. Vinitaruci (Ty Ni Da Lu Chi)
III. Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Baizhang Huaihai, 3. Wu Yen Tung (Vo Ngon Thong)
IV. Yunmen Wenyan, 1. Xianglin Chengyuan, 2. Xuetou Chongxian, 3. Thao Dong

-
Silsilah Tiantai (Tendai)
Dari teks Fu fazang yinyuan zhuan dan Tachih Tulun:
Śākyamuni Buddha, 1. Mahakasyapa, 2. Ananda, 3. Sanavasa, 4. Upagupta, 5. Dhrtaka, 6. Miccaka, 7. Buddhanandin, 8. Buddhamitra, 9. Parsva, 10. Punyayasas, 11. Asvaghosa, 12. Kapimala, 13. Nagarjuna, 14. Kanadeva, 15. Rahulata, 16. Sanghanandin, 17. Gayasata, 18. Kumarata, 19. Jayata, 20. Vasubandhu, 21. Manorhita, 22. Haklenayasas, 23. Simha bhiksu, 24. Huiwen, 25. Huisi, 26. Zhiyi

Silsilah Tendai Jepang
Zhiyi, 1. Guanding, 2. Fahua, 3. Tiangung, 4. Zhuoxi, 5. Zhanran, 6. Daosui, 7. Saicho (Dengyo Daishi)

Silsilah Vinaya – Luzong (Ritsu)

Dari Luzong Gangyao:
Śākyamuni Buddha, 1. Upali, 2. Mahakasyapa, 3. Ananda, 4. Sanavasin, 5. Upagupta, 6. Dharmagupta, 7. Dharmakala, 8. Fazong, 9. Daofu, 10. Huiguang, 11. Daoyun, 12. Daozhao, 13. Zhishou, 14. Daoxuan

Silsilah Ritsu Jepang
Daoxuan, 1. Hongjing, 2. Jianzhen (Ganjin)

Silsilah Tanah Suci Sukhavati (Jingtu)
Śākyamuni Buddha, 1. Manjusri Bodhisattva, 2. Ashvagosha, 3. Nagarjuna, 4. Vasubandhu, [5. Huiyuan] 5. Bodhiruci, 6. Tanluan, 7. Taocho, 8. Shantao, 9. Huaikan, 10. Shaokang

Silsilah Jodo Jepang
Tanluan, 1. Taocho, 2. Shantao, 3. Chiko, 4. Shokai, 5. Genshin, 6. Yokan, 7. Jippan, 8. Honen (Genku), 5. Bencho, Shoku dan Shinran

Silsilah Jeongto di Korea
Huiyuan, 1. Chajang, 2. Wonhyo, 3. Uisang, 4. Uijok, 5. Pobwil, 6. Hyonil

Silsilah Zhenyan (Shingon)
Silsilah Vajradhatu
Śākyamuni Buddha (Mahavairocana Buddha), 1. Vajrasattva, 2. Nagarjuna, 3. Nagabodhi, 4. Vajrabodhi, 5. Amoghavajra, 6. Huiguo, 7. Konghai (Kukai)

Silsilah Garbhadhatu

Śākyamuni Buddha (Mahavairocana Buddha), 1. Vajrasattva, 2. Nagarjuna, 3. Nagabodhi, 4. Vajrabodhi, 5. Subhakarasimha, 6. Amoghavajra, 7. Yixing, 8. Huiguo, 9. Konghai (Kukai)

Silsilah Huayan (Kegon)
Śākyamuni Buddha (Vairocana Buddha), 1. Samantabhadra Bodhisattva, 2. Manjusri Bodhisattva, 3. Ashvagosha, 4. Nagarjuna, 5. Vasubandhu, 6.Dushun, 7. Zhiyan, 8. Fazang, 9. Chengguan, 10. Guifeng Zongmi

Silsilah Hwaeom Korea

Zhiyan, 1. Fazang, 2. Wonhyo dan Uisang

Silsilah Kegon Jepang
Uisang, 1. Simsang, 2. Roben, 3. Jitchu, 4. Tojo, 5. Shoshin

-
Silsilah Jonangpa

Silsilah Shentong Madhyamika
Śākyamuni Buddha, 1. Bodhisattva Maitreya, 2. Asanga, 3. Vasubhandu, 4. Gangameti, 5. Gawa Drakpa, 6. Jungne Zhiwa, 7. Brahma Sajna, 8. Lotsawa Gaway Dorje, 9. Tsen Kawoche, Drimey Sherab, 10. Dharma Tsondru, 11. Yeshe Jungney, 12. Changchub tua, 13. Changchub muda, 14. Monlam Tsultrim, 15. Chomden Ripay Raldri, 16. Kyiton Jamyang, 
17. Kunkhyen Dolpopa Sherab Gyaltsen, 18. Nyawon Kunga Pal, 19. Chopal Gonpo, 20. Lodro Zangpo, 21. Jamgon Nyipa Drag, 22. Shakya Chogden, 23. Donyod Drubpa, 24. Jamgon Drubpa, 25. Kunga Gyaltsen, 26. Dragden Drubpa Chog, 27. Taranatha

Silsilah Dro Kalachakra
Śākyamuni Buddha (Kalachakra), 1. Suchandra, 2. Devendra, 3. Tevasjin, 4. Chandradatta, 5. Deveshvara, 6. Chitrarupa, 7. Devesha, 8. Manjusrikirti, 9. Chilupa (Kalachakrapada tua), 10. Kalachakrapada muda (Shribhadra), 11. Nalendrapa (Bodhibhadra), 12. Somanatha, 13. Dro Lotsawa Sherab Drakpa, 14. Lhaje Gompa, 15. Droton Namseg, 
16. Yumo Mikyo Dorje, 17. Dharmeshvara, 18. Namkha Odzer, 19. Machig Tulku Jobum, 20. Jamyang Sarma, 21. Choku Odzer, 22. Kunpang Tukje Tsondru, 23. Changsem Gyalwa Yeshe, 24. Yontan Gyatso, 25. Dolpopa Sherab Gyaltsen, 27. Chole Namgyal, 28. Nyawon Kunga Pal, 29. Kunga Lodro, 30. Jamyang Konchog Gyalpo, 31. Namkhai Tsenchan, 32. Namkha Palzang, 33. Lochen Ratnabhadra, 34. Jamgon Drupay Pawo, 35. Kunga Dolchog, 36. Gyatso Deje, 37. Khadrup Namtsol, 38. Taranatha 

-
Silsilah Sakyapa
Dari kumpulan karya Chogyal Phagpa:

Silsilah Margapala (Lamdre)
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Vajra Nairatmya, 2. Virupa, 3. Krishnapa, 4. Damarupa, 5. Avadhutipa, 6. Gayadhara, 7. Drogmi Lotsawa, 8. Seton Chungpa Kunrig, 9. Shangton Gonpawa Chobar, 10. Sachen Kunga Nyingpo, 11. Lobpon Sonam Tsemo, 12. Jetsun Dragpa Gyaltsen, 13. Sakya Pandita Kunga Gyaltsen, 14. Drogon Chogyal Phagpa (Lama Chokyi Gyalpo), 15. Shang Konchog Pal, 16. Dragphugpa, 17. Lama Palden Tsultrim, 18. Buddha Shri (1339-1419), 19. Ngorchen Kunga Sangpo 

Silsilah Mahamudra Tanpa Kata 
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Arya Tara, 2. Vagishvara Kirti, 3. Devakara Chandra, 4. Amoghavajra, 5. Je Drogmi, 6. Seton Chungpa Kunrig, 7. Shangton Gonpawa Chobar, 8. Sachen Kunga Nyingpo, 9. Lobpon Sonam Tsemo, 10. Jetsun Dragpa Gyaltsen, 11. Sakya Pandita Kunga Gyaltsen,. 

Silsilah Indrabhuti
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Shri Mahadeva, 2. Indrabhuti, 3. Pal Tsangwi Shap, 4. Dramze Drupai Dorje, 5. Raja Indrabhuti Barpa, 6. Acharya Godral Shap, 7. Raja Jnana Bhuti, 8. Sri Yobhuti, 9. Padmavajra, 10. Dombi Heruka, 11. Yanlag Barmi Shap, 12. Lhamo Pungwai Padma, 13. Cham Lakshmi, 14. Raja Indrabhuti Chungwa, 15. Ratna Vajra, 16. Khache Sherab Ge Ngawa, 17. Je Gayadhara, 18. Drogmi Lotsawa, 19. Seton Chungpa Kunrig, 20. Shangton Gonpawa Chobar, 21. Sachen Kunga Nyingpo, 22. Lobpon Sonam Tsemo, 23. Jetsun Dragpa Gyaltsen, 24. Sakya Pandita Kunga Gyaltsen

Silsilah Acharya Kotalipa

Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Tachog, 2. Binapata, 3. Indrabhuti, 4. Lakshmipata, 5. Gegpa Vajra, 6. Gundharipa, 7. Padmavajra, 8. Chokyi Zangpo Shap, 9. Togtsepa, 10. Bhushanapa, 11. Dharmapa, 12. Karnapa, 13. Viravajra, 14. Je Drogmi Shakya Yeshe, 15. Je Sembar Chungwa, 16. Je Shang Gonpawa, 17. Sachen Kunga Nyingpo

Silsilah Padma dan Kolam Vajra Kelahiran
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Vilasya Vajra, 2. Ananga Vajra, 3. Sararuha Vajra, Indrabhuti, 4. Cham Lakshmi, 5. Kanha, 6. Dramze Paldzin, 7. Je Gayadhara, 8. Drogmi Lotsawa, 9. Seton Chungpa Kunrig, 10. Shangton Gonpawa Chobar, 11. Sachen Kunga Nyingpo, 12. Lobpon Sonam Tsemo, 13. Jetsun Dragpa Gyaltsen, 14. Sakya Pandita Kunga Gyaltsen

Silsilah Chaitya Acarya Aryadeva

Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Sri Vajrapani, 2. Mahabrahmana Saraha, 3. Nagarjuna, 4. Aryadeva, 5. Bhikshu Kanhapada, 6. Chandrakirti, 7. Dramze Padzin, 8. Gayadhara, 9. Drogmi Lotsawa, 10. Seton Chungpa Kunrig, 11. Shangton Gonpawa Chobar, 12. Sachen Kunga Nyingpo, 13. Lobpon Sonam Tsemo, 14. Jetsun Dragpa Gyaltsen, 15. Sakya Pandita Kunga Gyaltsen

Silsilah Komentar Lili Air
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Nairatmya, 2. Virupa, 3. Dombi Heruka, 4. Alala Vajra, 5. Nagtropa, 6. Garbharipa, 7. Sonyompa, 8. Gyalwa Palkyi Yeshe, 9. Durjayachandra, 10. Bhikshu Viravajra, 11. Sherab Wangpo Dzepa, 12. Je Drogmi Shakya Yeshe, 13. Ngaripa Salwai Nyingpo, 14. Khankyi Chuwa, 15. Drabya, 16.Sachen Kunga Nyingpo

Silsilah Candali

Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Vajravarahi, 2. Jalandharapa, 3. Kanha, 4. Dramze Paldzin, 5. Gayadhara, 6. Drogmi Lotsawa, 7. Seton Chungpa Kunrig, 8. Shangton Gonpawa Chobar, 9. Sachen Kunga Nyingpo, 10. Lobpon Sonam Tsemo, 11. Jetsun Dragpa Gyaltsen, 12. Sakya Pandita Kunga Gyaltsen

Silsilah Chakrasamvara
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Vajrapani, 2. Mahabrahmana Saraha, 3. Acharya Nagarjuna, 4. Shavari, 5. Luipa, 6. Darikapa, 7. Vajra Ghantapa, 8. Kumarapada, 9. Jalandharapa, 10. Krishnapa, 11. Guhyapa, 12. Nampar Gyalwai Shap, 13. The Acharya Barmai Lobpon, 14. Tilopa, 15. Naropa, 16. Pamtingpa Kuche Nyi, 17. Lama Lokkya Sherab Tseg, 18. Lama Mal Lotsawa, 19. Sachen Kunga Nyingpo

Silsilah Gantapada
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Vajra Varahi, 2. Vajra Ghantapada, 3. Kumarapada, 4. Jalandharapa, 5. Krishnapa, 6. Guhyapa, 7. Nampar Gyalwai Shap, 8. The Acharya Barmai Lobpon, 9. Tilopa, 10. Naropa, 11. Pamtingpa Kuche Nyi, 12. Lama Lokkya Sherab Tseg, 13. Lama Mal Lotsawa, 14. Sachen Kunga Nyingpo

Silsilah Khechari Naropa
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Vajra Yogini, 2. Naropa, 3. Pamtingpa, 4. Chen Jig Medragpa, 5. Chungdu Korwa, 6. Lama Mal Lotsawa, 7. Sachen Kunga Nyingpo

Silsilah Khechari dan Dakarnava Maitripa
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Arya Vajrayogini, 2. Arya Avalokiteshvara, 3. Bodhisattva Lodro Rinchen, 4. Shavari Wangchug, 5. Acharya Maitripa, 6. Gyagar Chagna, Kamala Vajra, 7. Dzama Sena, 8. Lotsawa Dharma Yontan, 9. Lama Jetsunpa, 10. Lama Choje Pandita, 11. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Guhyasamaja (Manjuvajra) Jnanapada dan Silsilah Tara dari Nyen
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Arya Manjushri, 2. Acharya Buddha Jnana, 3. Marmedze Zangpo, 4. Shri Deva, 5. Vimala Gupta, 6. Ratna Vajra, 7. Ratna Kirti, 8. Lama Pendapa, 9. Lama Nyen Lotsawa, 10. Lama Nang Kaupa, 11. Sachen Kunga Nyingpo

Silsilah Tiga Yamari, dengan Cabangnya
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Arya Manjushri, 2. Acharya Buddha Jnana, 3. Marmedze Zangpo, 4. Paldzin, 5. Naropa, 6. Astula Vajra, 7. Lama Bharo Chagtum, 8. Je Mal Lotsawa, 9. Sachen Kunga Nyingpo

Silsilah Roda Arya Guhyasamaja
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Vajrapani, 2. Raja Indrabhuti, 3. Lho Chog Gyatsoi Lhu, 4. Lhule Jungwai Yeshe kyi Khandroma, 5. Odyana Bishi Gyalpo, 6. Vishukalpa, 7. Mahabrahmana Saraha, 8. Acharya Nagarjuna, 9. Aryadeva, 10. Acharya Dawa Dragpa, 11. Lopai Vajra, 12. Chopawa, 13. Padeva, Palwe, 14. Vidya Bhadra, 15. Devakara, 16. Lama Go Lotsawa, 17. Upa Geser, 18. Nang Khaupa Kuche, 19. Sachen Kunga Nyingpo, 20. Khau Dorje Dudjom, 21. Jetsun Chenpo, 22. Choje Pandita, 23. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Pal Chog, Mahamudra dan Cabangnya
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Vajrapani, 2. Gyalpo Rabsal Dawa, 3. Acharya Rabjor Kyang, 4. Kunga Nyingpo, 5. Sherab Kyang, 6. Shiwa Nyingpo, 7. Getsen Shenyen, 8. Shraddhakara Varman, 9. Jowo Rinchen Zangpo, 10. Drag Tengpa Yontan Tsultrim, 11. Lama Mal Lotsawa, 12. Sachen Kunga Nyingpo, 13. Nyagton Wangyal, 14. Jetsun Chenpo, 15. Choje Sakya Pandita

Silsilah Prajna Mahakala
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Dramze Chogse, 2. Naro Bulingpa, 3. Deva Vajra, 4. Shraddhakara Varman, 5. Jowo Rinchen Zangpo, 6. Drag Tengpa Yontan Tsultrim, 7. Lama Mal Lotsawa, 8. Sachen Kunga Nyingpo

Silsilah Pencapaian Mahamudra dan Cabangnya
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Vajrapani, 2. Vilasya Vajra, 3. Ananga Vajra, 4. Tsokye Vajra, 5. Indrabhuti, 6. Cham Lakshmi, 7. Darikapa, 8. Gegpa Vajra, 9. Naljor Tse, 10. Keradepa, 11. Acharya Maitripa, 12. Gyagar Chagna, 13. Lama Gyichuwa, 14. Sachen Kunga Nyingpo

Silsilah Esensi Mahamudra 

Śākyamuni Buddha, 1. Bodhisattva Lodro Rinchen, 2. Shavaripa, 3. Acharya Maitripa, 4. Gyagar Chagna, 5. Lama Gyichuwa, 6. Sachen Kunga Nyingpo

Silsilah Dharani Pancharaksa, Manjusri dan Achala
Śākyamuni Buddha, 1. Arya Manjushri, 2. Jetari Drale Nampar Gyalwa, 3. Dorje Denpa, 4. Dorje Denpa Chungwa, 5. Lama Bari Lotsawa, 6.Sachen Kunga Nyingpo

Silsilah Guhyasamaja Akshobyavajra, mandala 32 Deity, Abhiseka, Tantra dan Sadhana dengan Cabangnya
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Vajrapani, 2. Acharya Nagarjuna, 3. Aryadeva, 4. Shakya Shenyen, 5. Chandrakirti, 6. Rolpai Dorje, 7. Kalden Dragpai Odzer Jungne Dragpa, 8. Odze Deva, 9. Chokyi Jungne Shiwa, 10. Choje Panchen Shakya Shri, 11. Choje Sakya Pandita, 12. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Kalachakra, Mahamandala, Abhiseka dan Komentar Vimalaprabha dengan Cabangnya
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Vajra Garbha, 2. Vajra Dakini, 3. Vajracharya Chilupa, 4. Kalacakra the Greater, 5. Kalachakra the Lesser, 6. Anusama Rakshita, 7. Sadhuputra, 8. Dharmakara, 9. Dharmamitra, 10. Bikshata Deva, 11. Panchen Shakyashri, 12. Sakya Pandita, 13. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Vajradhatu, Mahamandala dan Abhiseka
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Gyalpo Rabsal Dawa, 2. Acharya Rabjor Kyang, 3. Kunga Nyingpo, 4. Sherab Kyang, 5. Shiwa Nyingpo, 6. Getsan Shenyen, 7. Deva Vajra, 8. Shraddhakara Varma, 9. Ngowo Rinchen Zangpo, 20. Nangpa Tsundru Gyaltsen, 21. Nyalpa Shima Sherab, 22. Nur Nyimai Odzer, 23. Nurpa Vajra Siddha, 24. Tsakyab Dragpa Gyaltsen, 25. Lama Lokkya Wangchug Dragpa, 26. Lama Ngong Sherab Pal, 27. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Tiga Yamari, Tiga Mahamandala, Abhiseka, Sadhana dan Cabangnya 

Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Jnana Dakini, 2. Acharya Lalita Vajra, 3. Amogha Vajra, 4. Yeshe Jungne Bepa, 5. Padma Vajra, 6. Dipamkara Rakshita, 7. Lama Rwa Dorje Drag, 8. Rwa Lotsawa Chorab, 9. Rwa Yeshe Senge, 10. Rwa Bum Seng, 11. Lama Lokkyapa Wangchug Dragpa, 12. Lama Ngong, 13. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Mahayana, Mahamandala, Abhiseka, Tantra Akar dengan Sadanga Yoga
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Bodhisattva Vajra Garbha, 2. Jnana Dakini, 3. Acharya Kukuripa, 4. Tsokye Vajra, 5. Dombhi Heruka, 6. Tilopa, 7. Naropa, 8. Balpo Pandita Shiwa Zangpo, 9. Lama Marpa Chokyi Lodro, 10. Ngog Chokyi Dorje, 11. Ngog Jose Dode, 12. Ngotsa Choku, 13. Ngotsa Konchog, 14. Lokkya Wangchug Dragpa, 15. Lama Ngong Ton, 16. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Chaturpita, Mahamandala, Abhiseka dan Komentar dengan Cabangnya
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Acharya Nagarjuna, 2. Aryadeva, 3. Asuri Drag Phugnag Nepai Yogini, 4. Balpo Nampar Gyalwa, 5. Pawo De, 6. Marpa Lotsawa, 7. Ngog Chokyi Dorje, 8. Ngog Dode, 9. Ngotsa Choku, 10. Ngotsa Konchog, 11. Lokkya Wangchug Dragpa, 12. Lama Ngong, 13. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Rakta Yamari, Mandala 13 Deity, dan Abhiseka
Bhagavan Yamari, 1. Acharya Brahmin Paldzin, 2. Virupa, 3. Dombi Heruka, 4. Biratipa, 5. Gambhiramati, 6. Nishkalamka, 7. Deva Revandra, 8. Prabhawa, 9. Lama Gewai Shenyen Dorje Dzinpa Chenpo Lowo Lotsawa, 10. Drogon Chogyal Phagpa

Abhiseka Tara Vajra Suci 11 Deity, Abiseka Kurukulle 15 Deity, Abhiseka Manjuvajra 19 Deity bersama dengan Cabangnya
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Jnana Dakini, 2. Acharya Luipa, 3. Acharya Tengipa, 4. Vajra Ghantapa, 5. Jalandharapa, 6. Anupama Shri, 7. Shubhakara Gupta, 8. Ananda, 9. Karagupta, 10. Pujarita, 11. Pandita Ratna Rakshita, 12. Lama Lowo Lotsawa, 13. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Rakta Yamari, Mandala Lima Deity, Abhiseka dan Sadhana dengan Cabangnya
Manjushri Yamari, 1. Jnana Dakini, 2. Acharya Virupa, 3. Dombipa, 4. Baritipa, 5. Mati Garbha, 6. Gambhira Mati, 7. Nishkalamke Devi, 8. Chal Lotsawa, 9. Gvalo, 10. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Guhyaka Manjushri, Mahamandala dan Abhiseka
Śākyamuni Buddha, 1. Acharya Jampal Shenyen, 2. Gegpai Vajra, 3. Murta Siddha, 4. Purna Siddha, 5. Deveshvara, 6. Shanti Garbha Smriti Jnana Kirti, 7. Tsong Te Ngaggi Wangchug, 8. Lama Sherab Dorje, 9. Ngog Chokyi Dorje, 10. Uyugpa Ramton Dorjei Dra, 11. Mang Karwa Karpo, 12. Drangso Kongton, 13. Lanton Sal Od, 14. Charton Sonam Zangpo, 15. Jetsun Sonam Kyab, 16. Lama Go Lungpa Chenpo, 17. Lama Lowo Lotsawa, 18. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Mahachakra Vajrapani, Mandala, Abhiseka, Sadhana dan Cabangnya
Śākyamuni Buddha, 1. Guhyapati Vajrapani, 2. Jnana Dakini Simhamukha, 3. Acharya of Yoga Shavaripa, 4. Acharya Jvaparipa, 5. Balpo Pandita Deva Purnamati, 6. Lotsawa Chokyi Zangpo, 7. Shenton Rinchen Ngodrup, 8. Mar Gangpu, 9. Khab Chokyi Gyalpo, 10. Lama Purangpa, 11. Kyiton Konchog Bar, 12. Lhaje Tonang, 13. Dampa Drupshe, 14. Yolton Padma, 15. Lama Golungpa Chenpo, 16. Lama Lowo Lotsawa, 17. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Arya Tara, Mandala, Abhiseka dan Cabangnya
Śākyamuni Buddha, 1. Arya Tara, 2. Acharya Nyima Bepa, 3. Chandra Garbha, 4. Jetari, 5. Ngaggi Wangchug Dragpa, 6. Shraddhakara Varman, 7. Tatagata Rakshita, 8. Pandita Danashri, 9. Pandita Manjushri, 10. Lama Mal Lotsawa, 11. Putse Ra Lotsawa, 12. Gewai pa Shenyen, 13. La Gowang Rin, 14. Chim Chokyi Sengge, 15. Chim Lodro Tenpa, 16. Acharya Chim Namkha Drag, 17. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Mandala, Mahamandala dan Abhiseka Mahavairochana
Śākyamuni Buddha, 1. Pupawo Bodhisattva Vajrapani, 2. Gyalpo Rabsal Dawa, 3. Dei Lobmai Chog Nga Ni, 4. Pad Kar Yeshe, 5. Jnana Vajra, 6. Gyalpo Drag Chen Dzin Zangpo, 7. Nyimai Nyingpo, 8. Gyalrig Sarapao, 9. De Nga Kai Lobma Kunga Nyingpo, 10. Tatagata Vajra, 11. Shraddhakara Varman, 12. Lotsawa Rinchen Zangpo, 13. Cholung Legpai Sherab, 14. Sumton Yeshe Bar, 15. Nyanton Tsultrim Bar, 16. Todpa Bentsa Dragpa, 17. Tsang Rong Gi Lobpon Chokyi Gonpo Pal, 18. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Vajrabhairava, 17 Deity Mandala dan Abhiseka
Śākyamuni Buddha, 1. Manjushri, 2. Jnana Dakini, 3. Lalitavajra, 4. Amoghavajra Chiwa, 5. Amoghavajra Chungwa, 6. Lama Kyo Odjung, 7. Tshang Yang Dagpar, 8. Tshang Yang Dag Dorje, 9. Ngog Dorje Gyalpo, 10. Zewa Dondrup Yeshe, 11. Acharya Khampa Shakya Dorje, 12. Acharya Sangye Bum, 13. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Mandala Tubuh Tara, Abhiseka dan Sadhana
Drupai Lobpon, 1. Nampar Nangdze Dorje, 2. Lobpon Rinpoche, 3. Jetsun Rinpoche, 4.Lama Chojepa, 5. Drogon Chogyal Phagpa

Silsilah Arya Tara, Mandala dan Cabangnya
Śākyamuni Buddha, 1. Arya Tara, 2. Dakini Vajrasana, 3. Drup pai Lobpon Saraheta, 4. Bhenibhata, 5. Khache Pandita Samgram Shri, 6. Acharya Manjuvajra, 7. Acharya Khepe Pugpa, 8. Acharya Ngonpa Wangchug Tsondru, 9. Drogon Chogyal Phagpa (Lama Chokyi Gyalpo)

Silsilah Keluarga Lharig, Khon, Sakya

Makhluk Alam Brahma Rupadhatu (Abhasvara), 1. Ciring, 2.Yuse, 3. Yuring, 4. Masang Cije, 5.Togsa Pawo Tag, 6. Tagpo Ochen, 7. Yapang Kye, 8. Khön Bar Kye, 9. Khön Jekundag, 10. Khön Lu'i Wangpo Srungwa (Bhiksu Nagendrarakshita), 11. Khön Dorje Rinchen (Ratna Vajra), 12. Khön Sherab Yontan, 13. Khön Yontan Jungne, 14. Khön Tsugtor Sherab, 15. Khön Gekyab, 16. Khön Getong, 17. Khön Balpo, 18. Khön Shakya Lodro, 19. Sherab Tsultrim, 20. Khon Konchog Gyalpo, 21. Bari Lotsawa, 22. Sachen Kunga Nyingpo, 23. Lobpon Sonam Tsemo, 24. Jetsun Dragpa Gyaltsen, 25. Sakya Pandita Kunga Gyaltsen, 26. Drogon Chogyal Phagpa (Lama Chokyi Gyalpo), 27. Chang Rinchen Gyaltsen, 28. Dharmapalarakshita, 30. Sharpa Jamyang Chenpo, 31. Zangpopa
-

Silsilah Aktivitas Luas:
Śākyamuni Buddha, 1. Maitreya, 2. Asanga, 3. Vasubandhu, 4. Namdrol De, 5. Chokgi De, 6. Dulwai De, 7. Khenpo Yangdak Namnangze, 8. Senghabhadra, 9. Rinchen Zangpo, 10. Reta Prajnapala, 11. Suvarnadvipa Guru Dharmakirti, 12. Dipamkara Shrijnana (Atisha), 13. Dromton Gyelwe Jungney, 14. Geshe Chengawa Tsultrim Bar, 15. Geshe Chya-yulwa, 
16. Gampopa

Silsilah Pandangan Mendalam:
Śākyamuni Buddha, 1. Manjushri, 2. Arya Nagarjuna, 3. Chandrakirti, 4. Rigpe Khunchuk, 5. Kusali tua (Vidyakokila tua), 6. Kusali muda (Vidyakokila muda), 7. Atisha Dipamkara Shrijnana, 8. Dromton Gyelwe Jungney, 9. Geshe Chengawa Tsultrim Bar, 10. Geshe Chya-yulwa,
 11. Gampopa

Silsilah Pengalaman Berkah Meditasi Mendalam
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Tilopa, 2. Naropa, 3. Dombhiva, 4. Atisha Dipamkara Shrijnana, 5. Geshe Tonpa, 6. Naljorpa Chenpo, 7. Geshe Nyukrumpa, 
8. Gampopa

Silsilah Lamrim Kadampa
Atisha Dipamkara Shrijnana, 1. Dromton Gyelwe Jungney, 2. Geshe Chengawa Tsultrim Bar, 
3. Gampopa, 4. Neuzurba, 5. Takmapa      

Silsilah Guhyasamaja, Samkranti-yoga dan Mayakaya-yoga
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Ratnamati, 2. Vajrapani, 3. Indrabhuti, 4. Naga-yogini, 5. Visukalpa, 6. Saraha, 7. Nagarjuna, 8. Matangipa, 
9. Tilopa, 10. Naropa

Silsilah Hevajra dan Candali-yoga
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Vajrapani (Vajragarbha), 2. Kamadevavajra, 3. Padmavajra, 4. Dakini Kalpa Bhadre, 
5. Tilopa, 6. Naropa

Silsilah Chakrasamvara dan Prabhasavara-yoga
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Vajrapani, 2. Dombipa,. 3. Vinasavajra, 4. Lavapa (Kambala), 
5. Tilopa, 6. Naropa

Silsilah Mahamaya dan Svapnadarsana-yoga

Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Jnana Dakini, 2. Kukkuripa, 3. Caryapa, 
4. Tilopa, 5. Naropa

Silsilah Enam Yoga Naropa
Naropa, 1. Marpa Chokyi Lodro, 2. Jey Milarepa, 3. Gampopa, 4. Phagmo Drupa

Silsilah Mahamudra [
Dagpo Kagyu]
Śākyamuni Buddha (Vajradhara), 1. Tilopa (Tillipa), 2. Naropa (Nandapada), 3. Marpa Chokyi Lodro, 4. Jey Milarepa, 
5. Jey Gampopa (Dagpo Rinpoche), 6. Dusum Khyenpa (Karmapa ke-1) dan Phagmo Drupa

I. Silsilah Karma Kagyu
Dusum Khyenpa (Karmapa ke-1), 1. Drogon Rechen, 2. Pomdrakpa, 3. Karma Pakshi (Karmapa ke-2), 4, Orgyenpa, 5. Rangjung Dorje (Karmapa ke-3), 5. Yungton Shikpo, 6. Rolpe Dorje (Karmapa ke-4), 7. Khacho Wangpo (Sharmapa ke-1), 8. Deshin Shegpa (Karamapa ke-5), 9. Ratnabhadra, 10. Thongwa Donden (Karmapa ke-6)

II. Silsilah Phagmo Drupa
Phagmo Drupa, 1. Jigten Sumgon, Lingrepa Pema Dorje, Taklung Thangpa Tashi Pal, Gyal Tsha Rinchen Gon, Drubthob Yeshe Tsegpa, Sharawa Kalden Yeshe Senge, Gyergom Chenpo Zhonnu Dragpa, dan Marpa Drubthob Sherab Senge
-
Silsilah Nyingmapa

Silsilah Pikiran Langsung Para Buddha 

Samantabhadra Buddha (Dharmakaya), 1. Vajrasattva, 2. Dua belas Guru Atiyoga Nirmanakaya  (Khyeu Nangwa Dampa,.Khyeu Ö Mitrukpa, Jikpa Kyob, Shyönnu Rolpa Nampar Tsewa, Dorje Chang, Shyönnu Pawo, Drangsong Tröpé Gyalpo, Ser Ö Dampa, Tsewé Rolpé Lodrö, Ösung Drepo, Ngöndzok Gyalpo, Shakyamuni Buddha) 

Silsilah Mahayoga
Śākyamuni Buddha (Samantabhadra), 1. Vajrasattva, 2. Vajrapani, 3. Licchavi Vimalakirti, 4. Raja Dza dan Kukkuraja, 5. Raja Indrabhuti, Sinharaja, Uparaja dan Putri Gomadevi

I. Silsilah Mahasukha

Raja Dza, 1. Balapada (Jalandharipa), 2. Krsnacarin, 3. Tilopa, 4. Naropa, 5. Marpa Lotsawa
II. Silsilah Karmamudra
Putri Gomadevi, 1. Raja Dza dan Kukkuraja, 2. Lilavajra, 3. Buddhasrijnana (Buddhaguhya), 4. Vimalamitra
III. Silsilah Guhyasamaja Tantra
Raja Dza, 1. Rolang Dewai Ngodrub dan Rsi Bhasita, 2. Vajrahasya dan Hungkara, 3. Vagishvarakirti, 4. Prabhahasti, 5. Shakyamitra

Silsilah Anuyoga
Śākyamuni Buddha (Samantabhadra), 1. Vajrasattva, 2. Vajrapani dan Licchavi Vimalakirti, 3. Raja Dza dan Kukkuraja, 4. Nagaputra, Guhyaputra, Shakraputra, Uparaja dan Raja Indrabhuti, 4. Lavapa, 5. Kukkuraja II dan Sinhaputra, 6. Pramodavajra (Rolang Dewa/Garab Dorje), 7. Vajrahasya, 8. Prabhahasti (Shakyaprabha I), 9. Shakyaprabha II, 10. Shakyamitra dan Padmasambhava, 11. Dhanarakshita dan Yogini Gagasiddhi, 12. Hungkara, 13. Brahmana Varanasi (Dewa Seldze), 14. Dharmabodhi, Vasundhara, Dharmaraja dan Tsuklag Palgey, 15. Chetsen Kye, 16. Nub Sangye Yeshe

Silsilah Atiyoga (Dzogchen – Semde, Longde, Men-ngakde)
Śākyamuni Buddha (Samantabhadra), 1. Vajrasattva, 2. Pramodavajra (Prahevajra), 3. Manjushrimitra, 4. Sri Simha dan Buddhasrijnana, 5. Jnanasutra, 6. Vimalamitra, Vairotsana dan. Padmasambhava, 8. Yeshe Tsogyal

Silsilah Khandro Nyingthig
Śākyamuni Buddha (Samantabhadra), 1. Vajrasattva, 2. Pramodavajra, 3. Manjushrimitra, 4. Sri Simha, 5. Padmasambhava, 6. Putri Yeshe Tsogyal dan Putri Pema Sel, 7. Pema Ledrel Tsal, 8. Gyelse Legden, 9. Longchen Rabjam (Longchenpa), 10. Dzogchen Pema Rigdzin

Silsilah Vima Nyingthig
Śākyamuni Buddha (Samantabhadra), 1. Vajrasattva, 2. Pramodavajra, 3. Manjushrimitra, 4. Sri Simha dan Buddhasrijnana, 5. Jnanasutra, 6. Vimalamitra, 7. Trisong Detsen, Nyangben Tingdzin Zangpo, Pangeran Mune Tsenpo, Kawa Paltsek dan Chokro Lui Gyaltsen, 8. Be Lodro Wangchuk, 9. Dangma Lhundrup Gyaltsen, 10. Chetsun Sengge Wangchuk, 11. Gyalwa Shyangton Tashi Dorje, 12. Khepa Nyimabum, 13. Guru Jober, 14. Trulshik Senge Gyabpa, 15. Melong Dorje, 16. Rigdzin Kumaradza, 17. Longchen Rabjam (Longchenpa)

Silsilah Longchen Nyingthig (gabungan Vima dan Khandro Nyingthig)
Śākyamuni Buddha (Samantabhadra), 1. Vajrasattva, 2. Pramodavajra, 3. Manjushrimitra, 4. Sri Simha dan Buddhasrijnana, 5. Jnanasutra, 6. Vimalamitra, Vairotsana dan Padmasambhava, 8. Yeshe Tsogyal, 9. Longchen Rabjam (Longchenpa), 10. Rigdzin Jigme Lingpa

Silsilah 21 Pandita
Śākyamuni Buddha (Samantabhadra), 1. Vajrasattva, 2. Pramodavajra (Prahevajra), 3. Manjushrimitra, 4. Dhahena Talo, 5. Pangeran Rajadeva, 6. Putri Paramita, 7. Raja Naga Takshaka, 8. Yakshini Bodhi, 9. Sarati,  10. Pelajar Kashmiri, 11. Maharaja, 12. Putri Gomadevi, 13. Aloke Atsantra, 14. Kukkuraja, 15. Rsi Paramita, 16. Purasati, 17. Nagarjuna, 18. Kukkuraja Muda (Dhahuna), 19. Manjushrimitra muda, 20. Devaraja (Bhararaja Muletsun), 21. Buddhagupta, 22. Sri Simha, 23. Bhiksuni Kungamo, 24. Vimalamitra
-
Silsilah Gelugpa
Dari Liberation In Our Hand karya Pabongkha Rinpoche:

Silsilah Aktivitas Luas
Munindra Vajradhara Śākyamuni Buddha, Maitreya, 1. Asanga, 2. Vasubandhu, 3. Arya Vimuktisena, 4. Bhadanta Vimuktisena, 5. Paramasena, 6. Vinitasena, 7. Vairochana (Shantaraks**ta), 8. Haribhadra, 9. Kusali the Elder, 10. Kusali the Younger, 11. Suvarnadvipa Guru, 12. Dipamkara Shrijnana (Atisha), 13. Dromton Gylewey Jung-ne, 
14. Gonbawa Wangchuk Gyeltsen, Potowa Rinchen Sel dan Chenga Tsultrim Bar

Silsilah Pandangan Mendalam
Munindra Vajradhara Śākyamuni Buddha, Manjughosha, 1. Arya Nagarjuna, 2. Aryadeva, 3. Buddhapalita, 4. Chandrakirti, 5. Shantideva, 6. Vidyakokila the Elder, 7. Vidyakokila the Younger, 8. Dipamkara Shrijnana, 9. Dromton Gylewey Jung-ne, 
10. Gonbawa Wangchuk Gyeltsen, Potowa Rinchen Sel dan Chenga Tsultrim Bar

Silsilah Pengikut Lamrim Kadampa
Gonbawa Wangchuk Gyeltsen, 1. Neusurba Yeshe Bar, 2. Takmapa Kawa Darseng, 3. Hlodrak Namka Sengge, 4. Khenchen Namka Gyelpo, 5. Khenchen Seng-ge Sangpo, 6. Khenchen Gyel-se Sangpo, 7. Hlodrak Drupchen Namka Gyeltsen, 
8. Je Tsongkapa, 9. Je Jampel Gyatso

Silsilah Pengikut Risalah Kadampa
Potowa Rinchen Sel, 1. Sharawa Yonten Drak, 2. Chekawa Yeshe Dorje, 3. Chilbupa Chokyi Gyeltsen, 4. Hla Lung-gi Wangchuk, 5. Hla Drowey Gonpo, 6. Sangchenpa Darma Sonam, 7. Tsonawa Sherab Sangpo, 8. Mondrapa Tsultrim Tashi, 9. Drakor Khenchen Chokyab Sangpo, 
10. Je Tsongkapa, 11. Je Jampel Gyatso 

Silsilah Pengikut Instruksi Kadampa
Chen-nga Tsultrim Bar, 1. Jayulpa Chenpo Shonu Wo, 2. Gyergom Chenpo Shonu Drakpa, 3. Sang-gye Wonton, 4 Khenchen Namka Gyelpo, 5. Khenchen Seng-ge Sangpo, 6. Khenchen Gyel-se Sangpo, 7. Hlodrak Drupchen Namka Gyeltsen, 
8. Je Tsongkapa, 9. Je Jampel Gyatso 

Silsilah Guhyasamaja
Munindra Vajradhara Śākyamuni Buddha - Guhya Samaja, 1. Ratnamati, 2. Vajrapani, 3. Indrabhuti, 4. Naga-yogini, 5. Visukalpa, 6. Saraha, 7. Nagarjuna, 8. Matangipa, 9. Telopa, 10. Naropa, 11. Marpa Chokyi Lodro, 12. Dolgyi Tsurton Wangi Dorje, 13. Konton Gebakirti, 14. Ja-gangwa Sonam Rinchen, 15. Mi-nyak Tur-hlawa Tsultrim Kyab, 16. Gyakar Tang-pewa Pakpa Kyab, 17. Serdingpa Shonu Wo, 18. Mage-dingpa Choku Woser, 19. Jo-tsowa Pakpa Wo, 20. Buton Rinchen Drup, 21. Kyungpo Hleba Shonu Sonam, 
22. Je Tsongkapa

Silsilah Vajra Bhairava
Munindra Vajradhara Śākyamuni Buddha - Vajra Bhairava, 1. Jnana Dakini, 2. Lalitavajra, 3. Amoghavajra, 4. Jnana Akara Gupta, 5. Padmavajra, 6. Dipamkara Raks**ta (the Nepalese Yampuwa Bhairochakdum), 7. Ra Lotsawa Dorjedrak, 8. Ra Chorab, 9. Ra Yeshe Seng-ge, 10. Ra Bum Seng-ge, 11. Ga Lotsawa Namgyel Dorje, 12. Rongba Sherab Seng-ge, 13. Lama Yeshe Pelwa, 14. Choje Dondrup Rinchen, 
15. Je Tsongkapa 

Silsilah Transmisi Oral Ganden
Munindra Vajradhara Śākyamuni Buddha, l. Manjughosha, 
2. Je Tsongkapa, 3. Je Jampel Gyatso 

Silsilah Chakrasamvara
Munindra Vajradhara Śākyamuni Buddha - Chakra Samvara, 1. Luipada, 2. Darikapada, 3. Ghantipada, 4. Kurmapada, 5. Jalandharapada, 6. Krishnapada, 7. Guhyapada, 8. Vijayapada, 9. Telopa, 10. Naropa, 11. The Nepalese brothers from Pamting: the elder Abhayakirti (T: 'Jigs med grags) and the younger Vagishvara (T: Ngag gi dbang phyug), 12. Lok-kya Sherab Tsek, 13. Mel Lotsawa Lodro Drak, 14. Sachen Kunga Nyingpo, 15. Lobon Sonam Tsemo, 16. Jetsun Drakpa Gyeltsen, 17. Sakya Pandita Kunga Gyeltsen, 18. Drogon Chogyel Pakpa, 19. Shangton Konchok Pel, 20. Nasa Drakpukpa, 21. Lama Dampa Sonam Gyeltsen, 
22. Je Tsongkapa 

Silsilah Kadampa 16 Tetesan
Dipamkara Shrijnana, 1. Dromton Gyelwey Jung-ne, 2. Ngok Lekbey Sherab, 3. Ngaripa Sherab Gyeltsen, 4. Puchungwa Shonu Gyeltsen, 5. Kamapa Rinchen Gyeltsen, 6. Shangton Darma Gyeltsen, 7. Tabkawa Jangchup Sangpo, 8. Tabkawa Namka Rinchen, 9. Drom Shonu Lodro, 10. Nartang Khenchen Nyima Gyeltsen, 11. Lingkapa Jangchup Rinchen, 12. Galungpa Rikyi Dakpo, 13. Galungpa Jangchup Pel, 14. Nyukbey Lobon Sonam Woser, 15. Go-ngon Chuserwa Sang-gye Sangpo, 16. Jadrelwa Sonam Sangpo, 17. Lama Peldenpa, 18. Taktsang Khenchen Namkha Woser, 19. Ngapa Chenpo Ngawang Losang Gyatso (Dalai Lama V Yang Agung)
-
Silsilah Pria (Upaya)
Śākyamuni Buddha, 1. Manjusri Bodhisattva, 2. Nagarjuna, 3. Aryadeva (Kanadeva), 4. Brahmana Aryadeva, 5. Kyoton Shakya Yeshe, 6. Sonam Lama, 7. Khupon, 
8. Machig Labdron

Silsilah Perempuan (Kebijaksanaan)
Prajnaparamita, 1. Arya Tara, 2. Dakini Sukhasiddhi, 3. brahmana Aryadeva, 5. Pa Dampa Sangye, 6. Sonam Lama, 
7. Machig Labdron

Silsilah Non-Dual

Prajnaparamita, 1. Śākyamuni Buddha, 2. Arya Tara, 3. Manjusri, 4. Aryadeva (Kanadeva), 5. brahmana Aryadeva, 6. Pa Dampa Sangye, 7. Sonam Lama, 
8. Machig Labdron.

Silsilah Kekosongan Kesadaran Persepsi Mendalam
Śākyamuni Buddha, 1. Maitreya, 2. Asanga, 3. Vasubandhu, 4. Dampa Sangye,
 5. Machig Labdron 

Silsilah Penyatuan Objek yang Dipersepsi dan Kesadaran yang Mempersepsi
Śākyamuni Buddha, 1. Manjusri, 2. Mahasiddha Virupa, 3. Dakini Sukhasiddhi, 4 brahmana Aryadeva, 5. Pa Dampa Sangye, 
6. Machig Labdron

Silsilah Praktek Persembahan dan Mandala
Śākyamuni Buddha, 1. Arya Tara, 2. Manjusri, 3. Virupa, 4. Sukhasiddhi, 5. Aryadeva, 6. Dampa Sangye, 7. Sonam Lama, 
8. Machig Labdron

Silsilah Vajrayogini
Śākyamuni Buddha (Vajradharma/ Vajradhara), 1. Vajrayogini, 2. Naropa, 3. Phamthingpa, 4. Bodhibhadra, 5. Sherab Tsegpa, 6. Mal Lotsawa Lodro Dragpa, 7. Sachen Kunga Nyingpo, 8. Lodro Sonam Tsemo, 9. Sakya Jetsun Dragpa Gyaltsen, 10. Sakya Pandita Kunga Gyaltsen, 11 Dromton Phagpa Lodro Gyaltsen, 12. Konchog Pal, 13. Naza Drugpa Sonam Pal, 14. Lama Dampa Sonam Gyaltsen

-