Kisah Petapa Sumeda
Empat
asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa yang lalu, terdapat sebuah kota yang
makmur bernama Amaravatã. Sebuah kota yang sempurna dalam segala hal.
Indah dan menyenangkan. Dikelilingi oleh pohon-pohon hijau dan taman
yang indah, memiliki persediaan makanan dan barang-barang kebutuhan yang
cukup. Kaya akan barang-barang berharga untuk dinikmati oleh
masyarakatnya. Kota ini menghangatkan hati para dewa dan manusia.
Di kota ini selalu terdengar suara-suara dari sepuluh macam suara
seperti, suara gajah, kuda, kereta, suara genderang besar, genderang
kecil, harpa, nyanyi-nyanyian, tiupan kulit kerang, tepuk tangan, dan
undangan-undangan pesta. (Di kota-kota lain penuh dengan suara yang
tidak menyenangkan, teriakan-teriakan dan tangisan yang menyakitkan).
Kota ini teranugerahi dengan semua karakteristik dari sebuah kota
metropolitan. Tidak kekurangan mata pencaharian untuk mencukupi
kebutuhan hidup seperti: berlian, emas, perak, mata kucing, mutiara,
zamrud, dan selalu didatangi oleh pengunjung-pengunjung dari luar.
Lengkap dengan segala barang-barang seperti di alam surga. Di sini
adalah alam di mana orang-orang menikmati buah dari perbuatan-perbuatan
baik.
Di kota Amaravatã ini hiduplah seorang Brahmana bernama
Sumedhà. Ibunya adalah keturunan dari keluarga Brahmana dari generasi ke
generasi, demikian pula dengan ayahnya. Sehingga, ia adalah seorang
Brahmana murni karena kelahiran, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu.
Ia terlahir dari seorang ibu yang kaya raya dan baik. Ia tidak dapat
dicemooh karena kelahirannya dengan mengatakan, “Orang ini lahir dari
golongan rendah sampai tujuh generasi leluhurnya.” Ia adalah orang yang
tak dapat diremehkan atau dicela. Ia adalah seorang dengan darah
Brahmana murni dengan fisik yang menarik perhatian setiap orang.
Sehubungan dengan kekayaannya: Ia memiliki harta yang tersimpan dalam
gudang harta dalam jumlah yang sangat besar dan sejumlah besar hasil
panen serta barang-barang kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Ia
memelajari tiga Kitab Veda: Iru, Yaju, dan Sàma. Menguasai kitab-kitab
ini dan dapat menghafalnya tanpa cacat. Tanpa kesulitan ia menguasai:
1. Nighandu, buku yang menjelaskan berbagai istilah,
2. Ketubha, buku mengenai literatur-literatur yang berisi bermacam literatur yang
ditulis oleh para peneliti terpelajar,
3. Vyakarana (Akkharapabheda), buku Tata Bahasa yang berhubungan dengan
analisis kata-kata dan menjelaskan aturan-aturan tata bahasa dan istilah-istilah
seperti alphabet, konsonan, dll,
4. Itihasa (juga disebut Påraõa) yang merupakan Veda kelima yang menceritakan
tentang legenda-legenda dan kisah-kisah kuno.
Ia juga ahli dalam Lokayata, karya filosofis yang menentang
perbuatan-perbuatan yang dapat memperpanjang saÿsàra dan juga karya yang
berhubungan dengan orang-orang besar seperti: Buddha yang akan datang,
Pacceka Buddha yang akan datang. Ia juga seorang guru yang mengajarkan
cerita-cerita Brahmanis yang diajarkan dari generasi ke generasi.
Orangtua Sumedhà meninggal dunia sewaktu ia masih sangat muda. Penjaga
harta keluarga, membawa daftar harta, membuka gudang harta yang penuh
dengan emas, perak, batu delima, mutiara, dan lain-lain, dan berkata,
“Tuan muda, sebanyak inilah harta yang engkau warisi dari pihak ibu, dan
sebanyak ini dari pihak ayah, dan sebanyak ini dari leluhurmu.” Ia
memberitahukan Sumedhà tentang kekayaan yang diwarisinya dari tujuh
generasi leluhurnya, dan berkata, “Lakukan apa pun yang engkau inginkan
dari kekayaan ini.” Kemudian menyerahkannya kepada Sumedhà.
Sumedhà Pergi Bertapa
Suatu hari Sumedhà naik ke teras atas istananya, duduk bersila dalam keheningan, timbul pikiran berikut ini dalam dirinya:
“Sungguh menyedihkan kelahiran sebagai makhluk hidup; Demikian pula
kehancuran dari badan jasmani; Sungguh menyedihkan mati dalam tekanan
kebodohan dan di bawah kekuasaan usia tua.”
“Karena harus
mengalami kelahiran, usia tua, dan sakit, aku akan mencari Nibbàna di
mana usia tua, kematian, dan ketakutan padam.”
“Betapa
menyenangkan seandainya aku dapat bebas dari tubuh ini secara total,
karena tubuh ini penuh dengan benda-benda kotor seperti: air seni,
kotoran, darah, ludah, dahak, nanah, lendir, empedu, keringat, dan
lain-lain.”
“Pasti ada jalan menuju Nibbàna yang penuh
dengan kedamaian. Tidak mungkin tidak ada. Aku akan mencari Jalan menuju
Nibbàna sehingga aku dapat terbebas dari lingkaran
kehidupan..............................”
Mahàdàna
Setelah merenungkan hal-hal tadi, sekali lagi Sumedhà Sang Bijaksana
berpikir, “Dengan memiliki banyak kekayaan ini, ayahku, kakakku, dan
para leluhurku serta saudara-saudaraku selama tujuh generasi bahkan
tidak mampu membawa hanya satu keping uang pun pada saat mereka
meninggal dunia. Namun aku harus dapat menemukan cara untuk membawa
kekayaanku ke Nibbàna.” Kemudian ia menghadap raja dan berkata, “Yang
Mulia, karena pikiranku sangat terganggu oleh bahaya besar akan
penderitaan yang ditimbulkan oleh kelahiran, usia tua, dan lain-lain,
maka aku akan pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi
petapa. Aku mempunyai banyak harta kekayaan. Ambillah hartaku itu.”
“Aku tidak menginginkan harta kekayaanmu. Kamu dapat melepaskannya
dengan cara yang engkau inginkan” jawab Raja. “Baiklah, Yang Mulia”
jawab Sumedhà Sang Bijaksana. Kemudian dengan tabuhan genderang besar,
ia mengumumkan di seluruh kota Amaravatã, “Kepada siapa pun yang
menginginkan kekayaanku, silakan datang dan ambil.” Dan ia mendanakan
kekayaannya dalam suatu mahàdàna kepada semua orang tanpa membedakan
status miskin atau kaya.
Melepaskan Keduniawian
Setelah melakukan mahàdàna, Sumedhà yang Bijaksana, Bakal Buddha,
melepaskan keduniawian dan pergi menuju Pegunungan Himalaya dengan
tujuan ke Gunung Dhammika pada hari itu juga. Dewa Sakka melihat Sumedhà
mendekati Pegunungan Himalaya, memanggil Vissukamma dan berkata,
“Pergilah, Vissukamma, Sumedhà, Sang Bijaksana telah melepaskan
keduniawian dan bermaksud menjadi petapa. Buatkan sebuah tempat tinggal
untuknya.”
“Baiklah Yang Mulia,” jawab Vissukamma. Kemudian ia
membuat rancangan sebuah pertapaan yang di dalamnya terdapat sebuah
bangunan gubuk beratap daun-daunan dan dilengkapi jalan setapak yang
nyaman dan tanpa cacat. (Penulis menjelaskan bahwa jalan ini tanpa cacat
karena bebas dari lima macam cacat yaitu:)
(1) jalan yang kasar dan tidak rata,
(2) ada pohon-pohonan di jalan tersebut,
(3) tertutup oleh semak-semak,
(4) terlalu sempit, dan
(5) terlalu lebar.
Mulai Bertapa
Sesampainya di kaki Pegunungan Himalaya, Sumedhà, Sang Bijaksana
berjalan di sepanjang perbukitan dan mencari tempat yang sesuai di mana
ia dapat tinggal dengan nyaman. Di sana, di lekukan sungai di wilayah
Gunung Dhammika, ia melihat sebuah pertapaan yang indah yang dibangun
oleh Vissukamma atas perintah Dewa Sakka. Kemudian ia berjalan
perlahan-lahan menuju jalan setapak, namun ia tidak melihat jejak kaki
di atas jalan setapak itu, ia berpikir, “Mungkin, para penghuni
pertapaan ini sedang beristirahat di dalam pondoknya setelah
mengumpulkan dàna makanan yang melelahkan di pemukiman sana.” Dengan
pikiran seperti itu ia menunggu beberapa saat.
Namun tidak
terlihat tanda-tanda keberadaan orang di sana setelah waktu yang cukup
lama. “Aku telah menunggu cukup lama, aku akan menyelidiki apakah tempat
ini ada penghuninya atau tidak.” Ia membuka pintu dan masuk ke gubuk,
melihat ke sana kemari, kemudian terlihat tulisan di dinding dan
berpikir, “Perlengkapan ini cocok untukku. Aku akan menggunakannya dan
menjadi petapa.” Setelah memutuskan demikian, dan setelah merenungkan
sembilan kerugian memakai pakaian orang biasa dan dua belas keuntungan
memakai jubah, kemudian ia mengganti pakaiannya dengan memakai jubah
tersebut.
Meninggalkan Gubuk dan Tinggal di Bawah Pohon
Setelah ia menanggalkan pakaiannya yang mewah, Sumedhà, Sang Bijaksana,
mengambil jubah yang berwarna merah seperti bunga amoja yang
ditemukannya terlipat rapi di atas pasak bambu, siap untuk dipakai, ia
melilitkan jubah itu di sekeliling pinggangnya. Di atasnya ia memakai
jubah lain yang berwarna emas, yang juga menutupi bahu kirinya. Ia
memakai penutup kepala dan mengencangkannya menggunakan penjepit rambut
berwarna putih, mengambil sebuah pikulan untuk membawa perlengkapan yang
di satu ujungnya digantungkan jaring tempat ia meletakkan tempat air
berwarna batu karang, dan di ujung lainnya digantungkan gancu panjang
(dipakai untuk memetik buah-buahan dari pohon), sebuah keranjang,
tongkat, dan lain lain. Kemudian ia menggantungkan pikulan perlengkapan
itu di bahunya yang sekarang penuh dengan perlengkapan petapa. Dengan
memegang tongkat di tangan kanannya, ia berjalan keluar dari gubuknya.
Sewaktu berjalan mondar mandir sepanjang jalan setapak sepanjang enam
puluh lengan, ia mengamati dirinya dengan penampilan baru dan merasa
gembira dengan pikiran:
“Keinginanku telah terpenuhi,
Indah sekali kehidupan bertapaku ini,
Kehidupan bertapa sangat dipuja oleh para bijaksana,
seperti para Buddha dan Pacceka Buddha,
Penjara rumah tangga telah ditinggalkan,
Aku telah keluar dengan selamat dari alam kenikmatan duniawi,
Aku telah memasuki kehidupan menjadi seorang petapa,
Aku akan berusaha melatih kehidupan suci,
Aku akan berusaha mendapatkan hasil dari latihan-latihan suci ini.”
Kemudian ia menurunkan pikulan perlengkapan dari bahunya, duduk diam
seperti patung emas di atas batu di tengah jalan setapak, ia melewatkan
hari itu di sana.
Pada waktu malam ia masuk ke gubuk, berbaring
di atas papan di pinggir dipan, ia menggunakan jubah sebagai selimut
dan tidur. Ketika ia bangun keesokan paginya, ia merenungkan alasan
mengapa ia ada di sana:
“Karena melihat bahaya dari hidup
berumah tangga, dan karena telah melepaskan harta kekayaan, aku masuk ke
hutan dan menjadi petapa dengan tujuan untuk mencari jalan yang dapat
membebaskan aku dari perangkap nafsu. Mulai saat ini, aku tidak boleh
lalai. Ada tiga jenis pikiran salah, yaitu yang berasal dari nafsu (kàma
vitakka) yang mengarah kepada kenikmatan indra, yang berasal dari
kebencian (vyàpàda vitakka) yang mengarah kepada pembunuhan, perusakan,
mencelakai; yang berasal dari kekejaman (vihiÿsa vitakka) yang mengarah
kepada melukai dan menyakiti makhluk-makhluk lain. Pikiran-pikiran ini
seperti lalat liar yang diberi makanan oleh mereka yang malas dan tidak
mau melatih batin agar terbebas dari kotoran batin dan kemelekatan fisik
terhadap nafsu indra. Sekaranglah waktunya bagiku untuk secara total
melatih ketidak-terikatan (paviveka).”
“Sebenarnyalah, setelah
melihat bahaya dari hidup berumah tangga yang menghalangi, merintangi,
dan merugikan latihan-latihan ini, aku melepaskan keduniawian. Gubuk
dari dedaunan ini sebenarnya sangat indah. Tanah yang baik ini kuning
cerah seperti buah yang matang. Dindingnya putih keperakan. Atap
dedaunan ini indah kemerahan seperti warna kaki merpati. Dipan rotan ini
memiliki corak bagaikan alas tempat tidur yang mewah. Tempat tinggal
ini sangatlah nyaman untuk ditempati. Kupikir, kemewahan yang dimiliki
petapa sebelumku di sini tidak dapat melebihi kemewahan dari gubuk ini.”
Dengan perenungan ini, ia melihat delapan cacat dalam sebuah gubuk
dedaunan dan sepuluh keuntungan dari tinggal di bawah pohon. Karena itu,
hari itu juga ia meninggalkan gubuk itu dan mencari pohon yang memiliki
sepuluh manfaat.
Bermeditasi Dengan Hidup Hanya dari Buah-buahan
Keesokan paginya, ia memasuki perkampungan untuk mengumpulkan dàna
makanan. Para penduduk menyediakan berbagai macam makanan. Setelah
selesai makan, ia kembali ke tempatnya di hutan, kemudian duduk dan
berpikir:
“Aku menjadi petapa bukan karena kekurangan makanan.
Makanan yang lezat cenderung menambah kesombongan dan keangkuhan
seseorang. Kesulitan yang timbul dari kebutuhan mempertahankan hidup
dengan makanan tak akan berakhir. Baik sekali jika aku dapat
menghindarkan dari memakan makanan yang berasal dari hasil pertanian dan
hidup hanya dari buah-buahan yang jatuh dari pohon.”
Sejak saat
itu, ia hidup hanya dari memakan buah-buahan yang jatuh dari pohon.
Tanpa berbaring sama sekali, ia berlatih meditasi terus-menerus tanpa
putus hanya dalam tiga postur: duduk, berdiri, dan berjalan, hingga pada
hari ketujuh, ia mencapai Delapan pencapaian (delapan tingkat Jhàna)
dan lima kekuatan batin tinggi (Abhinya).
Buku Buddhavaÿsa
menceritakan kisah Sumedhà Sang Bijaksana, Bakal Buddha, mulai sejak ia
melakukan mahàdàna, sampai kepada saat ia menjadi petapa dan mencapai
kekuatan batin dan Jhàna. Pada saat kemunculan Buddha Dipankara di dunia
ini, Pertapa Sumedha tengah mendalam di dalam tapa (keadaan Jhana)
sehingga beliau tidak mengetahui munculnya seorang Samma SamBuddha,
namun setelah selesai bermeditasi Jhana akhirnya beliau mendengar dari
penduduk desa tentang kemunculan Seorang Samma Sam Buddha, mendengar
kata Buddha batinnya terpenuhi dengan rasa kegiuran (piti) yang sangat
mendalam dan berusaha mencari keberadaan Buddha Dipankara melalui
kesaktiannya. Dengan cara terbang beliau pergi menuju keberadaan Buddha
Dipankara.
Sumedha mengorbankan dirinya
Sumedha
menatap tanpa berkedip pada sosok Buddha, yang dianugerahi dengan 32
tanda besar seorang manusia luar-biasa ( Mahapurissa ), dan 80
tanda-tanda kecil lainnya. Ia menyaksikan sosok Buddha yang indah dan
bercahaya, seperti terbuat dari emas-murni, dengan aura terang di
sekeliling-Nya dan enam sinar memancar dari tubuh-Nya, seperti kilat di
langit biru.
Kemudian Sumedha memutuskan sebagai berikut, “Hari
ini, aku akan mengorbankan diriku untuk Buddha. Agar Ia tidak menginjak
lumpur dan mengalami ketidaknyamanan, biarlah Buddha beserta 400.000
Arahanta menginjak punggungku dan seolah-olah berjalan di atas jembatan
kayu berwarna batu delima. Dengan menggunakan tubuhku sebagai jembatan
oleh Buddha dan para Arahanta, aku pasti akan mendapat kesejahteraan dan
kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama.”
Setelah mengambil
keputusan demikian, ia melepaskan sabuknya, menggelar matras kulit macan
dan jubahnya di atas tanah becek kemudian berbaring tiarap diatasnya,
bagaikan jembatan yang terbuat dari kayu berwarna batu delima.
Aspirasi Sumedha untuk mencapai Ke-Buddha-an
Sumedha, yang sedang bertiarap, seketika muncul keinginan untuk menjadi
Buddha, “Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta
yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa
untungnya ? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah
Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna dari Buddha
Dipankara ? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai
ke-Buddha-an.”
“Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran
kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang
memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha
mencapai ke-Buddha-an dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa
dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”
“Setelah mencapai ke-Buddha-an sebagai hasil dari perbuatanku yang tiada
bandingnya dengan bertiarap dan menjadi jembatan untuk Buddha
Dipankara, aku akan menolong banyak makhluk keluar dari lingkaran
kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”
“ Setelah
menyeberangi sungai samsara dan meninggalkan tiga alam kehidupan, aku
akan menaiki rakit Dhamma Jalan Mulia Berfaktor Delapan dan pergi
menyelamatkan semua makhluk termasuk dewa.” Demikianlah pikirannya
bercita-cita untuk menjadi Buddha.
Sumitta , Kelak Menjadi Yasodhara
Sewaktu Sumdedha sedang memikirkan cita-cita untuk mencapai
ke-Buddha-an, seorang Brahmana perempuan muda bernama Sumitta bergabung
dengan para penduduk menyambut Buddha. Ia membawa delapan kuntum bunga
teratai untuk dipersembahkan pada Buddha Dipankara. Sewaktu ia sampai di
tengah-tengah keramaian dan begitu matanya menatap Sumedha, ia
terpesona dan seketika jatuh cinta kepadanya. Ia ingin mempersembahkan
sesuatu pada Sumedha, tapi ia tidak memiliki apa-apa kecuali delapan
kuntum teratai. Kemudian ia berkata kepada Sumedha, “Yang Mulia petapa,
aku berikan padamu lima kuntum bunga teratai, agar engkau dapat
mempersembahkannya sendiri kepada Buddha. Sisa tiga kuntum ini adalah
sebagai persembahanku kepada Buddha”. Kemudian ia menyerahkan lima
kuntum bunga teratai itu kepada Sumedha, kemudian menyampaikan
keinginannya, “ Yang Mulia Petapa, selama waktu yang akan engkau jalani
dalam mencapai Ke-Buddha-an ; semoga aku dapat selalu menjadi
pendampingmu.”
Sumedha menerima bunga teratai dari Sumitta dan
di tengah-tengah keramaian, mempersembahkannya kepada Buddha-Dipankara,
yang datang menghampirinya.
Ramalan Pasti dari Buddha Dipankara : Sumedha kelak akan menjadi Buddha
Mengamati apa yang sedang terjadi antara Sumedha dan Sumitta, Buddha membuat ramalan di tengah-tengah keramaian :
“ O… Sumedha, perempuan ini Sumitta, akan menjadi pendampingmu dalam
berbagi hidup, membantumu dengan semangat dan perbuatan yang sama dalam
usahamu mencapai ke-Buddha-an, ia akan membahagiakanmu dalam setiap
pikiran, perkataan dan perbuatannya, ia akan berpenampilan cantik dan
menyenangkan, manis tutur katanya dan baik hati. Dalam usahamu mencapai
ke-Buddha-an, dalam kelahiranmu yang terakhir, ia akan menjadi murid
perempuan yang akan menerima warisan spiritual darimu, menjadi seorang
Arahanta, lengkap dengan kemampuan batin tinggi.”
Pada saat
Buddha-Dipankara menyatakan hal tersebut diatas, Petapa Sumedha memang
telah memenuhi kedelapan faktor yang diperlukan untuk menerima ramalan
kepastian bahwa kelak ia akan menjadi Buddha. Kedelapan faktor tersebut
adalah :
1. Ia adalah manusia
2. Ia adalah laki-laki
3. Telah memenuhi semua kondisi seperti Kesempurnaan yang diperlukan untuk
meraih tingkat ke-Arahatta-an dalam kehidupan itu juga
4. Dia harus bertemu muka dengan muka dengan seorang Buddha yang hidup.
5. Dia harus menjadi seorang Petapa yang percaya hukum karma (Kammavadi) atau
pernah menjadi anggota Sangha dalam masa kehidupan seorang Buddha.
6. Dia harus memiliki kekuatan-batin / mencapai keempat Rupa-Jhana dan keempat
Arupa-Jhana ( yang dikenal sebagai “Attha-Samapatti-Jhana-Labhi” ).
7. Berusaha keras untuk mengembangkan kesempurnaan tanpa memperdulikan
hidupnya .
8. Dia harus memiliki kebulatan tekad yang kuat untuk menjadi seorang Buddha
meskipun dia tahu bahwa dia akan menanggung penderitaan sebagai binatang,
setan, dan lain-lain di dunia yang menyedihkan. Dengan kata lain, dia harus
mencegah dirinya untuk mencapai tingkat Arahat, dengan tekad bulat dan tetap
berdiam di dalam samsara untuk kepentingan umat manusia dan para dewa.
Mengetahui bahwa Sumedha memiliki persyaratan ini, Buddha Dipankara
menghampiri Sumedha dan berdiri di dekat kepalanya, selagi ia masih bertiarap,
dengan kekuatan batin-Nya, melihat jauh ke masa depan untuk mengetahui apakah
Sumedha, yang sedang berbaring tiarap di atas lumpur, yang berkeinginan untuk
menjadi Buddha, dapat tercapai keinginannya atau tidak.
Buddha Dipankara mengetahui semua tentang masa depan Sumedha, dan
berkata,” Sumedha akan menjadi Buddha, bernama Gotama, setelah 4
Asankkheyya-Kappa dan 100.000 Kappa sejak saat ini.”
Setelah
mendengar ramalan Buddha Dipankara yang tiada bandingnya di tiga alam,
dewa dan manusia bersorak gembira, “Dikatakan Sumedha Sang petapa,
adalah benar-benar seorang Bakal Buddha.” Mereka menepuk lengan kiri
atas mereka dalam kegembiraan ( pada masa itu mereka tidak bertepuk
tangan untuk menyatakan kegembiraan, tapi menepuk lengan kiri dengan
telapak tangan kanan ). Dewa dan Brahma yang datang dari sepuluh ribu
alam semesta bersama-sama dengan manusia mengangkat tangan memberi
penghormatan.
Mereka juga mengungkapkannya lewat pengharapan,”
Meskipun sekarang kami gagal dalam melatih ajaran Buddha Dipankara, raja
dunia, kami akan bertemu lagi dengan petapa mulia ini yang kelak akan
menjadi Buddha; saat itu kami akan sungguh-sungguh berusaha keras untuk
mencapai pengetahuan Dhamma yang lebih tinggi.”
Setelah Buddha
Dipankara membuat ramalan, Ia pergi dengan menginjakkan kaki kanan-Nya
di sebelah Sumedha. Keempat ratus ribu Arahanta juga meninggalkan tempat
dengan Sumedha di sisi kanan mereka ( setelah mempersembahkan bunga dan
dupa ). Demikian pula dengan manusia, para Naga, musisi Surgawi (
Gandhabba ) meninggalkan tempat setelah memberi penghormatan kepada
Sumedha dan mempersembahkan bunga dan dupa.
Setelah Buddha
Dipankara dan keempat ratus ribu Arahanta menghilang dari pandangan,
Sumedha bangun dengan gembira dari posisi tiarapnya, dan dengan pikiran
dipenuhi kegembiraan dan kebahagiaan, ia duduk bersila diatas tumpukan
bunga-bunga yang ditebarkan untuk menghormatinya oleh para dewa dan
manusia, kemudian Pertapa Sumedha melakukan Bodhinyana (penyelidikan
terhadap Dhamma) Bumi pun bergoncang bergetar, sepuluh ribu alam semesta
dan alam para Dewa pun turut berguncang akibat kekuatan Penyelidikan
terhadap Dhamma yang dilakukan Pertapa Sumedha.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar