Jumat, 04 Maret 2011

MERENUNGKAN/MEMBAYANGKAN PENDERITAAN NERAKA


Seseorang harus benar-benar mempertimbangkan dan merenungkan penderitaan yang akan dijalaninya di neraka. Sewaktu Sang Buddha masih hidup, Beliau pernah memberikan ceramah tentang penderitaan di neraka yang terasa nyata dan membuat para pendengarnya sangat takut. Akibatnya, mereka berlatih dengan sungguh-sungguh dan mereka merealisasi dhamma Mulia.
Suatu hari, Sang Buddha berdiam di hutan Jeta di Savatthi. Saat itu, ada seorang bhikkhu yang menyadari betapa bahayanya berada dalam lingkaran kehidupan (samsāra). Setelah meminta petunjuk tentang berlatih meditasi dari Sang Buddha, ia pergi ke hutan yang sunyi untuk berlatih. Walaupun telah berjuang dengan sungguh-sungguh selama 3 bulan, ia bahkan tidak memperoleh konsentrasi yang baik. Oleh sebab itu, ia tidak merealisasi dhamma Mulia. Frustrasi dan stress, dia kembali ke tempat Sang Buddha. Dia berkesimpulan bahwa dia bukanlah orang yg dapat merealisasi dhamma Mulia di kehidupan ini juga, menghabiskan waktunya dekat Sang Buddha, mengagumi dan memuliakan penampilan fisik dan suara Beliau. Hidup santai dan tidak berlatih sama sekali.
Melihat hal ini, teman-teman bhikkhu-nya bertanya, “Kamu tidak berlatih dan hidup santai seperti ini, apa karena telah merealisasi dhamma Mulia?” Belum, walaupun saya telah berlatih selama 3 bulan dengan sungguh-sungguh, makanya saya hidup santai seperti ini. Mereka kemudian berkata, “Kamu tidak bisa hidup seperti ini, selama kita berada dalam Buddha sāsanā, jika berlatih dengan sungguh-sungguh, pasti dapat merealisasi dhamma Mulia.” Kemudian, mereka mengajaknya menghadap Sang Buddha.
Setelah Sang Buddha bertanya, dia berkata, “Benar, Yang Mulia, saya telah berlatih selama 3 dengan sungguh-sungguh selama tetapi saya bahkan tidak dapat mencapai konsentrasi yang baik, jadi saya tidak dapat merealisasi dhamma Mulia. Saya tidak berlatih lagi sejak saat itu karena merasa frustrasi dan stress. Kemudian, Sang Buddha berkata padanya, “Oh bhikkhu!, jika kamu tidak berlatih saat ajaran-Ku masih ada, kamu akan terjatuh dan menjalani penderitaan di neraka pada salah satu kehidupan yang akan datangmu.” Kamu akan sangat menderita, kemudian kamu akan sangat menyesal, khawatir, dan sedih seperti si pedagang keliling yang bernama “Seriva.” Ketika para bhikkhu mendengar nama Seriva, mereka ingin mengetahui tentangnya dan meminta Sang Buddha untuk menceritakannya. Sang Buddha kemudian menceritakan secara lengkap tentang Seriva, si pedagang keliling.
Suatu hari, kira-kira lebih dari 5 masa dunia (kappa) yang lalu, calon Buddha Gautama (Bodhisatta) terlahir di suatu keluarga pedagang keliling. Saat melakukan perjalanan untuk menjual barang dagangannya, Bodhisatta bertemu dengan pedagang keliling lainnya bernama Seriva, seorang yang sangat serakah. Mereka berjalan bersama sampai di kota yang Aritha. Sebelum mereka memasuki kota, mereka menetapkan kesepakatan dalam berkeliling dan setuju untuk tidak melalui jalan yang sama sampai yang satunya selesai. Kemudian, mereka masuk ke dalam kota dan menjajakan baang dagangannya.
Saat itu, pedagang keliling seperti mereka membawa barang-barang kecil berupa barang perhiasan seperti manik-manik, rantai, gelang, jepitan rambut, dll., di sebuah tas besar yang mereka letakkan di punggung mereka. Mereka menukar barang-barang tersebut dengan jambangan, panci, tembikar, dll., atau menjualnya langsung. Saat ini, kita melihat mereka menukar barang dagangannya dengan koran, jambangan, dan panci (di beberapa daerah di negara kita, Myanmar, negaranya sayadaw).
Pada jalan tempat Seriva yang serakah berkeliling, tinggal seorang nenek dan cucu perempuannya yang merupakan orang kaya ketika kakeknya masih hidup. Ketika cucu nenek itu mendengar ada pedagang keliling yang lewat, dia memberitahukan neneknya bahwa ia menginginkan beberapa perhiasan. Neneknya bertanya, “Bagaimana kamu akan mendapatkannya? Kita tidak punya apapun untuk di tukar.” Cucuk perempuan itu menjawab, “Ada mangkuk tua yang saya temukan diantara keramik pecah peninggalan kakek. Kita bisa menukarnya dengan barang dagangan penjual tersebut.” Ketika neneknya setuju, dia memanggil pedangan keliling tersebut.
Nenek itu memberikan mangkuk tua yang kotor ke pedagang tersebut dan berkata, “Tolong ambil mangkuk ini dan berikan barang apapun yang kamu bisa kepada suadara perempuan mudamu ini.” Pedagang ini mengambil magkuk itu dan membuat goresan kecil dengan sebuah jepitan. Ia menemukan bahwa mangkuk itu terbuat dari emas yang bernilai 100.000 mata uang saat itu (selanjutnya menggunakan rupiah, penterjemah). Dikuasi oleh keserakahan, pedagang itu menginginkan mangkuk tersebut tanpa harus menukarkan apapun. Maka ia berkata, “Harga mangkukmu tidak sampai 2 rupiah. Saya tidak membutuhkan itu.” Kemudian ia melempar mangkuk itu ke tanah dan pergi.
Tidak lama setelah Seriva pergi, pedagang lain yang merupakan Bodhisatta berjalan ke jalan tersebut. Cucu perempuan nenek itu mendengarnya dan memberitahu neneknya bahwa pedagang keliling yang lain telah datang dan ia ingin mendapatkan suatu perhiasan. Neneknya bertanya, “Bagaimana kamu akan mendapatkannya.” Cucu perempuan itu menjawab, “Dengan mangkuk yang sama.” Lalu, neneknya memberitahunya, “Bukankah pedagang sebelumnya mengatakan bahwa mangkuk itu tidak sampai 2 rupiah?” Cucu itu menjawab kembali, “Tingkah laku pedagang sebelumnya terlihat kasar dan tidak baik. Pedagang yang ini terlihat baik dan ramah.”
Nenek itu memberitahunya untuk memanggil pedagang itu. Ketika pedagang (Bodhisatta) itu datang, nenek itu memberikan mangkuk dan berkata kepadanya, “Tolong berikan barang apapun yang kamu bisa kepada suadara perempuan mudamu ini dan ambil mangkuk ini.” Pedagang ini memeriksa mangkuk tersebut dan melihat goresan yang dibuat pedagang sebelumnya dan mengetahui mangkuk tersebut terbuat dari emas dan berharga Rp. 100.000. Bodhisatta mengembalikan mangkuk tersebut dan berkata, “Ini mangkuk emas, harganya Rp. 100.000. Saya tidak punya barang dagangan seharga itu. Barang dagangan saya hanya bernilai Rp. 1.000 seluruhnya. Jadi, saya tidak bisa membeli mangkuk anda.” Sebagai calon Buddha, tidakkah ia berkata jujur? (Ya, ia berkata jujur, bhante).
Nenek itu memberikan mangkuk itu kembali dan berkata, “Pedagang sebelumnya, Seriva, mengatakan harga mangkuk ini tidak sampai 2 rupiah. Mangkuk itu pasti berubah jadi emas karena karma baikmu. Kamu adalah orang yang berhak memilikinya. Silakan ambil dan berikan saudara perempuan mudamu ini apapun yang kau pikir pantas.” Bodhisatta memberikan semua yang ia punya, barang dagangannya senilai Rp. 500 dan Rp. 500 tunai yang ia dapat dari berjualan. Ia hanya meminta kembali Rp. 8 untuk bayar naik perahu dan timbangannya, lalu pergi dengan cepat ke dermaga untuk menyebrangi sungai guna kembali ke rumah.

Tidak lama kemudian, Seriva datang kembali dan bertanya, “Mana mangkukmu? Saya mungkin akan memberikan sesuatu sebagai penukarnya. Nenek itu berkata padanya, “Kamu adalah pedagang yang sangat serakah. Tuanmu, pedagang lain telah membayar mangkuk tersebut seharga Rp. 1000. Pergilah.” Seriva yang serakah diliputi oleh kesedihan karena tidak mendapatkan mangkuk itu. Ia sebenarnya dapat memilikinya, tetapi sekarang pedagang lain yang mendapatkannya. Ia menjadi diliputi perasaan sedih yang mendalam, lalu pingsan. Ia juga menjadi gila dan melemparkan semua barang dagangan dan uangnya di pintu rumah nenek itu.
Sambil memegang gagang timbangannya dan tanpa baju, ia berlari mengejar Bodhisatta untuk mendapatkan mengkuk tersebut. Ketika ia sampai di dermaga, dia melihat Bodhisatta telah berada di tengah sungai. Dia berteriak kepada tukang perahu, “Oh, tukang perahu, saya ingin naik perahu, tolong kembali ke dermaga.” Bodhisatta berkata kepada tukang perahu, “Oh, tukang perahu, tolong sebrangkan saya secepat yang kamu mampu.” Tukang perahu tidak kembali, tetapi meneruskan menyebrangkan Bodhisatta ke sisi sungai yang dituju.
Melihat tukang perahu tidak kembali, tetapi tetap menyebrangkan Bodhisatta, Seriva menjadi diliputi kesedihan yang mendalam, kena serangan jantung dan langsung meninggal di dermaga. Ketika kalian sangat sedih, tidakkah kalian akan mendapatkan serangan jantung? (Ya, kami akan, bhante). Pedagang keliling Seriva sebenarnya adalah calon Devadatta. Dia memendam niat jahatnya kepada Sang Buddha sejak saat itu. Artinya sejak kira-kira 5 masa dunia yang lalu.
Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, “Seperti Seriva, si pedagang keliling, yang diliputi kesedihan dan meninggal karena serangan jantung, Oh, bhikkhu, jika kalian tidak berlatih saat sāsanā masih ada, kalian akan mengalami penderitaan neraka dan akan diliputi oleh kesedihan dan penyesalan yang mendalam.”
Kemudian Sang Buddha melanjutkan pembabaran dhamma-Nya dengan melantunkan syair sebagai berikut, “Ketika berada di sāsanā ini, jika kalian tidak berusaha untuk berlatih, setidaknya sampai merealisasi Sotāpatti Magga, yang seperti perahu yang membawa kalian ke pantai seberang (Nibbāna), di salah satu kehidupan yang akan datang kalian, kalian akan terlahir di neraka dan kesedihan tidak akan ada hentinya. Seperti Seriva, yang sangat menderita karena kesedihan yang tiada tara hingga meninggal, kalian juga akan bersedih tanpa henti.” Sang Buddha memberikan cerita yang mencerahkan para bhikkhu yang dilanjutkan dengan instruksi berlatih meditasi.  
Penderitaan neraka menjadi sangat jelas pada bhikkhu yang berhenti berlatih meditasi. Diliputi oleh ketakutan yang akan menimpanya, ia berlatih dengan gigih dan akhirnya merealisasi Sang Jalan dari Sotāpanna, Sakadāgāmi, Anāgāmi dan Arahatta, dan menjadi Arahat.
Para yogi perlu merenungkan hal ini ketika semangatnya rendah, keteguhan hatinya turun, dan terserang rasa bosan. Seriva, dia sebenarnya dapat memilikinya, karena dia yang pertama kali menemukannya. Bukankan dia dapat memilikinya, jika saja ia mau berusaha dan memberikan penawaran yang layak? (Ya, dia dapat, bhante). Bukankah para pendengar di sini berada dalam Buddha sāsanā yang seperti seratus ribu mangkuk emas yang diliputi oleh Magga dhamma dan Phala dhamma? (Ya, kami berada, bhante). “Ketika berada di sāsanā, jika kalian tidak merealisasi setidaknya satu Magga, Sotāpatti Magga, yang seperti perahu yang membawa kalian ke pantai seberang (Nibbāna), kalian akan bersedihan tanpa henti seperti Seriva, si pedagang keliling.

Dikutip dari "Sharpening The Controlling Faculties" by Sayadaw U Kundala.
============================================================================
Semoga setelah membaca atau mendengar hal ini, semua makhluk dapat mengikuti, berlatih, dan berkembang sesuai parami (kesempurnaan) masing-masing. Semoga semua makhluk dapat merealisasi dhamma Mulia dan kedamaian serta kebahagiaan Nibbāna, padamnya semua penderitaan, yang telah semua makhluk cita-citakan dengan latihan yang mudah dan cepat.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Metta untuk semua….
Tangerang, 03 April, 2009
Andi Kusnadi
Andinadi@hotmail.com

Catatan kaki:
Kappa (aeon) = masa dunia atau siklus dunia. Antarakappa = waktu yang dibutuhkan dari proses umur seorang manusia dari 10 tahun sampai ribuan tahun, lalu kembali sampai 10 tahun lagi. Asankheyyakappa = 20 antarakappa. Mahakappa = 4 asankheyyakappa.

Tidak ada komentar: