Minggu, 19 Agustus 2012

Makam Eyang Jugo & Pesugihan Gunung Kawi Oleh : Jaka Kumara

Malang, metropuncaknews.com – Nama Eyang Jugo sangat erat kaitannya dengan Pesugihan Gunung Kawi di Malang Jawa Timur. Dapat dikatakan, Gunung Kawi termasuk lokasi pesugihan paling populer di Indonesia dan Asia Tenggara. Meskipun belum ada data valid seputar orang yang berhasil kaya setelah melakukan ritual pesugihan di sana ataupun orang yang gagal menjadi kaya setelah ritual.

Dalam hal ini, dibutuhkan kehati-hatian untuk mereka yang datang dengan tujuan ritual. Jika Anda berkunjung sebagai seorang wisatawan yang hendak menikmati keindahan panorama Gunung Kawi, tentu tidak menjadi masalah.

Di sisi lain, daun dewandaru yang menjadi harapan diri ingin kaya, juga sering menjadi permainan orang tertentu. Daun itu sengaja dilemparkan orang hingga menjadi rebutan. Jadi bukan daun yang jatuh dari pohon. Informasi ini penulis dapatkan dari orang yang pernah ke Gunung Kawi.

Sesuatu yang mungkin sudah difahami bagi orang yang berziarah ke Gunung Kawi adalah adanya sebuah Padepokan yang menjadi rumah tinggal Eyang Jugo semasa hidupnya. Padepokan itu terletak di desa Jugo, Kesamben, Blitar.
Ada banyak orang yang mengetahui Padepokan Eyang Jugo ini, namun tidak banyak peziarah yang mengunjunginya.

Dengan kata lain, para peziarah Gunung Kawi, khususnya yang bertujuan mencari pesugihan tidak serta merta mengunjungi padepokan ini di Blitar. Melainkan langsung menuju makam keramat Eyang Jugo di Gunung Kawi, Malang.
Inilah yang kemudian menjadi problematika tersendiri bagi peziarah yang datang langsung ke Gunung Kawi tanpa menyempatkan diri mengunjungi padepokan Eyang Jugo.

Sementara itu, bagi para peziarah yang pernah datang ke Padepokan Eyang Jugo justru mengaku merasa lebih mantap saat berziarah ke Gunung Kawi. Terutama menyangkut tata cara dan prasyarat ritual yang harus dipenuhi.
Betapa tidak, ada banyak cerita seputar peziarah yang kehabisan bekal hingga tidak dapat pulang ke daerahnya masing-masing. Hal ini tentu sangat menyedihkan. Semua itu terjadi disebabkan orang tersebut tidak mengetahui banyaknya calo yang menjerat dirinya dengan biaya selametan yang besar dan tidak masuk akal.

Bahkan yang lebih menyedihkan adalah upaya orang-orang tertentu yang dengan sengaja mengambil keuntungan dengan cara yang tidak wajar.Ambil contoh, adanya prasyarat hewan kambing kendit (hitam) yang di tumbalkan secara hidup-hidup. Maksudnya, seorang peziarah Gunung Kawi yang ingin mengikuti ritual pesugihan diharuskan membeli seekor kambing kendit untuk kemudian dilepas dalam keadaan hidup ke arah hutan.

Pada kenyataannya, kambing kendit tersebut disemir cat warna hitam lalu dilepas ke hutan. Jadi bukan asli kambing berwarna hitam. Ketika kambing itu dilepas ke hutan, tentu tidak berapa lama kemudian akan kembali ke kandangnya atau diambil kembali oleh pemilik kambing tersebut.Harga hewan tersebut ada yang mencapai puluhan juta rupiah per ekornya. Di atas harga pasaran yang umum berlaku.Daun Dewandaru Menjadi kaya berarti harus kejatuhan daun dewandaru. Jika tidak kejatuhan daun dewandaru, maka Anda tidak akan pernah menjadi kaya. Inilah salah satu mitos penting di Gunung Kawi.

Daun dewandaru berasal dari pohon dewandaru. Di Gunung Kawi, daun ini menjadi harapan seseorang yang ingin kaya. Dikisahkan, apabila seseorang tirakat di bawah pohon dewandaru dan kejatuhan daun dewandaru, maka dapat dipastikan dirinya akan kaya raya. Inilah mitos yang sudah berurat akar bagi para peziarah dengan tujuan pesugihan.
Akan tetapi, tidak semua orang kejatuhan daun dewandaru tersebut. Padahal mereka sudah berharap penuh kejatuhan daun tersebut. Uniknya, ada orang-orang tertentu yang dengan sengaja melemparkan daun tersebut hingga menjadi rebutan. Seolah-olah daun itu jatuh dengan sendirinya.

Kisah Singkat Daun Dewandaru
Meskipun demikian, penulis pun mendapat cerita menarik seputar daun dewandaru ini. Seorang kawan penulis bercerita seputar keunikan kisah daun dewandaru ini.
“Saya mendapat cerita ini dari ayah saya. Kisah tentang daun dewandaru yang membuat seorang perempuan menjadi kaya raya,” kata Bayan.
Bayan menceritakan bahwa saat Ayahnya berusia remaja (sekitar akhir tahun 1960-an), memiliki seorang teman sekolah yang ekonominya tergolong kaya. Keakraban Sang Ayah dengan temannya yang bernama Darto membuatnya sering bermain ke rumah Darto.
Orang tua Darto terbilang kaya pada masanya. Selain memiliki areal persawahan yang luas, penggilingan padi dan kendaraan lebih dari satu. Padahal, pada masa itu masyarakat sedang berada dalam tingkat ekonomi yang memprihatinkan.
Suatu ketika, Sang Ayah berkunjung ke rumah Darto dan bermain seperti biasanya. Ketika itu, orangtua Darto berada di rumah dan sedang berbincang dengan kerabat-kerabatnya.
“Saat itu, ayah saya mendengar ibunda Darto berbicara tentang daun dewandaru. Inilah yang membuat ayah saya tertarik dan ikut mendengarkan semua cerita ibunda Darto,” kata Bayan.
Dikisahkan, ibunda Darto hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Suaminya hanya petani biasa, sama seperti masyarakat lain di desanya. Karena itulah, perempuan ini pun pergi ke Gunung Kawi untuk mengadu peruntungan. Dia ingin mengikuti ritual pesugihan semata-mata demi meningkatkan ekonomi keluarganya.
Tentu saja niat mengubah nasib patut dipuji dan dihargai. Sebagaimana terjadi pada masa sekarang, ada banyak isteri yang mengadu nasib ke negeri orang menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI).
Ibunda Darto pun pergi ke Malang dan melakukan ritual di Gunung Kawi. Bagian penting dari ritual itu adalah tirakat di bawah pohon dewandaru. Ibunda Darto tidak sendirian berada di bawah pohon itu. Ada banyak peziarah yang juga melakukan hal yang sama. Mereka bersama-sama duduk di bawah pohon sambil menunggu jatuhnya daun dewandaru.
Entah doa apa yang dibaca Ibunda Darto di bawah pohon keramat itu. Tiba-tiba saja, dia merasa ada selembar daun dewandaru yang jatuh ke pundaknya. Tetapi, pada saat yang bersamaan, sejumlah orang yang berada di dekatnya pun melihat daun dewandaru itu jatuh di pundak Ibunda Darto.
Mereka pun berteriak,” Daun dewandaru jatuh, daun dewandaru jatuh!”
Tentu saja mereka mendekati Ibunda Darto dan berupaya merebut daun dewandaru itu. Beberapa orang, kebanyakan kaum pria, menggeledah pakaian Ibunda Darto untuk mendapatkannya.
Ibunda Darto hanya bisa menangis pilu saat pria-pria rakus itu meraba tubuhnya, membuka BH secara kasar, mengangkat gaun pakaiannya. Bahkan membuka celana dalamnya hingga nyaris telanjang bulat, seolah hendak diperkosa. Memeriksa dengan teliti dimana daun dewandaru itu berada.
Tetapi upaya pria-pria rakus itu gagal mendapatkan daun dewandaru di tubuh Ibunda Darto. Mereka pun mencari-cari di tanah di tempat Ibunda Darto duduk tirakat.
Selanjutnya, Ibunda Darto pulang ke rumahnya di Blitar sambil menangis tersedu-sedu sepanjang jalan. Dia tidak menyangka dirinya akan mendapat perlakuan tidak senonoh dari para peziarah lain yang juga sama-sama ingin menjadi kaya. Betapa beratnya dirinya menerima perlakuan semacam ini.
Lantas dimana daun dewandaru itu?
Inilah yang tidak diketahui para pria rakus itu. Setiba di rumah, Ibunda Darto masuk ke dalam kamar dan membuka celana dalamnya. Lalu dia mengambil daun dewandaru itu dari dalam vaginanya.
Rupanya, sesaat setelah daun dewandaru itu jatuh menimpa pundaknya, seketika Ibunda Darto mengambil daun dewandaru itu dan memasukkannya ke dalam kemaluannya.
Itulah sebabnya tidak seorang pun para pria rakus itu menyadarinya. Padahal, para pria jahanam itu sudah berhasil menelanjanginya


Asal Usul Pesugihan Gunung Kawi
Bayan mengisahkan bahwa pada awalnya makam Eyang Jugo di Gunung Kawi tidak dikenal sebagai tempat pesugihan hingga datangnya sosok pria dari daratan Cina bernama Tamyang
Bayan mengaku mengenal Tamyang. Tentu saja saat dirinya masih kecil. Tamyang ini biasa datang ke padepokan Eyang Jugo menemui ayahnya yang saat itu menjadi juru kunci.
Dikisahkan, Eyang Jugo pernah melakukan perjalanan ke daratan Cina. Suatu ketika, dia bertemu dengan seorang perempuan hamil yang kehilangan suaminya. Lalu Eyang Jugo membantu ekonomi janda yang hidup dalam kemiskinan ini.
Tentu saja perempuan ini sangat senang dan berterima kasih dengan bantuan Eyang Jugo. Sesuatu yang sudah menjadi tabiat Eyang Jugo dalam membantu sesama.
Ketika Eyang Jugo hendak kembali ke Pulau Jawa, dia berpesan kepada janda itu agar jika anaknya sudah besar kelak disuruh datang ke Gunung Kawi di Pulau Jawa. Anak dari janda miskin inilah yang diberi nama: Tamyang.
Pada era tahun 40-an, datanglah Tamyang ke Gunung Kawi. Tentu saja dia hanya melihat makam Eyang Jugo, sebab Eyang Jugo sudah wafat beberapa tahun sebelumnya.
Tamyang ingin membalas jasa Eyang Jugo yang telah berbuat baik kepada ibunya di daratan Cina. Itulah sebabnya, dia merawat makam itu dengan baik.
Pria Cina yang biasa berpakaian hitam-hitam mirip pendekar silat ini merawat makam Eyang Jugo dan membangun tempat berdoa dengan gaya Cina.
Sejak itulah, peziarah semakin ramai mengunjungi Gunung Kawi. Tetapi anehnya dengan tujuan mencari pesugihan dan bukan belajar bagaimana menjadi orang bijak seperti Eyang Jugo.

Tidak ada komentar: