Pada Periode Musim Gugur dan Semi di China (770-476 SM), Negara-negara kecil dan besar saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Saat itu, ada dua Negara yang cukup dominan, Chu dan Jin. Negara Chu dengan kekuatan angkatan perangnya sangat akif merebut pengaruh dan berusaha mencaplok negara-negara kecil di sekitarnya.
Di tahun 585 SM, negara Chu mempersiapkan puluhan ribu tentaranya dan siap-siap menyerang negara Zheng yang selain kecil, kekuatan angkatan perangnya juga tidak sebanding dengan Chu. Melihat ancaman di depan mata, Raja Zheng tidak mau mengambil resiko dan segera meminta bantuan kepada Raja Jin.
Raja Jin bersedia membantu. Ia mengirim bala bantuan yang dipimpin oleh jenderalnya yang sangat terkenal, Luan Shu. Ketika pasukan Luan Shu sampai di negara Zheng, tentara Chu telah menarik diri dan membatalkan rencananya untuk menjajah negara Zheng.
Melihat musuh telah mundur, Jenderal Luan Shu ingin memanfaatkan momentum ini. Ia ingin menyerang dan menganeksasi negara kecil bernama Cai, sekutu negara Chu. Rencana dan gerak-gerik Jendeal Luan Shu tercium oleh Raja Chu. Melihat Jenderal Luan Shu sangat berambisi, raja Chu segera memobilisasi sejumlah pasukan dengan jumlah yang lebih besar lagi dan siap bertempur untuk membela negara sekutunya.
Pada saat ini Jenderal Luan Shu menghadapi dilema antara menyerang atau menarik mundur pasukannya. Ia berdiskusi dengan sejumlah senior dan para penasihatnya. Mereka serentak menyarankan menyerang, dan hanya tiga bawahannya yang mengatakan menarik diri sembari mencari kesempatan lain. Setelah mempertimbangkan berbagai argumentasi mereka, akhirnya Jenderal Luan Shu mengambil keputusan untuk mundur.
Ketika ia ditanya, “Kenapa mengambil keputusan mundur?” Luan Shu mengatakan, “Hanya saran yang terbaik, dan paling logis yang mewakili ‘mayoritas’”. Ia lalu melanjutakan “Menyerang sekarang akan sangat berbahaya karena mereka sudah mengerahkan sejumlah besar pasukan dan dalam posisi siap tempur. Lagi pula misi kita adalah menyelamatkan Zheng.” Akhirnya Jenderal Luan Shu menarik mundur pasukannya. Sambil menunggu momentum yang tepat.
Ada ungkapan yang mengatakan:
Menunggu bertahun-tahun menemukan momentum yang tepat untuk merealisasikan suatu rencana (pembalasan) tidaklah terlambat. Setelah dua tahun berlalu dan pada suatu saat yang tepat, Luan Shu dengan pasukannya menyerang negara Cai dan berhasil menaklukkan negara itu.
Sebelum mengambil keputusan, seorang pemimpin seharusnya mendengar pendapat, saran, dan masukan dari para bawahannya. Kemudian dengan kemampuan, keyakinan dan pengalamannya, ia dituntut untuk bisa mengambil langkah terbaik yang seharusnya dilakukan. Ia tidak boleh terjebak dengan isu-isu yang berkembang yang kadang-kadang tidak memiliki relevansi dengan masalah yang dihadapi dan misi-misi yang diembannya yang bisa membuat organisasi yang dipimpinnya melenceng dari tujuan awal.
Terkadang seorang pemimpin harus berani melawan arus, melawan pendapat umum, atau kelompok-kelompok yang lain. Ketika terjadi krisis keuangan di Asia Tenggara, Mahatir Muhamad adalah salah satu contoh pemimpin yang berani mengambil keputusan untuk berjalan sendiri menghadapi krisis tanpa perlu menggunakan bantuan IMF seperti negara-negara lainnya.
Oleh sebab itu, ia harus tahu mana yang merupakan saran atau nasihat yang terbaik, logis, dan memberikan manfaat dengan resiko yang terkecil serta mana yang tidak. Dengan menganalisis masukan semua pihak, historis, kondisi riil, fakta di lapangan serta tujuan dan misi-misinya.
Dalam kisah diatas, Jenderal Luan Shu, mampu mengambil keputusan terbaik dan tidak terjebak dengan pemberi saran hanya karena dari suara atau kelompok mayoritas. Ingat! Usulan dari suara mayoritas tidak selamanya merupakan jawaban terbaik.
Setelah memutuskan langkah yang akan dilakukan, seorang pemimpin juga harus bisa menjelaskan, dan mendorong mereka yang kontra atau orang-orang yang tidak setuju (oposisi), agar menerima dan berpartisipasi dalam keputusan baru dengan sepenuh hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar